44. Hai Janu, Janu Udah Tau

16 6 0
                                    

"Taraka ngga suka Janu," ucap Anjani lirih. Dalam lubuk hatinya, jujur tidak ingin mengatakan hal itu. Takut Renjanu sakit hati dan berbalik membenci Taraka.

Sayangnya, Renjanu bukanlah sosok seperti yang Anjani pikirkan. "Janu tau," ujarnya dengan nada santai. Seperti itu bukan masalah besar baginya.

Mata Anjani yang semula terpejam rapat, menjadi terbuka lebar. Ia menatap Renjanu, lelaki itu tidak ada amarah sedikitpun. Malahan ia menangkap sosok Renjanu yang menatapnya sembari tersenyum. Wajah Anjani langsung panas dan pipinya memerah. Detak jantungnya pun ikut berdegup kencang.

Anjani langsung menenggelamkan wajahnya. Rasanya terlalu memalukan untuk menatap Renjanu sekarang. Namun, ada banyak hal yang juga ingin ia tanyakan. "Janu tau darimana?" tanyanya meski wajahnya tak nampak.

Terdengar suara tawa kecil keluar dari mulut Renjanu. "Emangnya gak bakal sadar kalau ditatap kaya orang ngajak baku hantam?" Renjanu berbalik tanya. Tiap kali bertemu dengan Taraka ia selalu mendapat tatapan sinis dari lelaki itu. Mana mungkin jika ia tidak sadar bahwa Taraka membencinya.

"Janu udah tau dari lama," tambahnya. "Jani ngga sadar?"

Kepala Anjani menggeleng. Ia saja tau Taraka membenci Renjanu karena ia berasal dari masa depan. Kalau bukan karena itu mana mungkin Anjani tau.

Anjani merasa sedikit lega mendengar jawaban Renjanu. Ia memang merasa bahwa Taraka tidak terlalu menyukai Renjanu, tapi ketika mendengar hal itu dari Renjanu sendiri, rasa khawatirnya sedikit mereda.

"Duh, maafin Jani ya, Janu," ucap Anjani dengan nada yang penuh penyesalan. "Jani ngga tau kenap Taraka ngga suka Janu."

Renjanu mengangkat bahu seolah menganggapnya sebagai hal yang biasa. "Gapapa, Jani."

"Kalau Taraka suka Janu nanti Jani punya saingan," canda Renjanu. Lelaki itu mengeluarkan tawa kecilnya. Lalu kembali mengelus belakang kepala Anjani.

Anjani tersenyum mendengar candaan Renjanu. Meskipun situasinya bisa jadi rumit kalau Taraka juga menyukai Renjanu, tapi dia ingin tetap menjaga hubungan yang baik dengan semua orang.

"Iya, nanti Jani saingan sama Taraka," kata Anjani sambil tertawa. Ia merasa lega melihat bahwa Renjanu tidak terlalu mempersoalkan masalah ini. "Sama Si Itu juga," ujarnya.

Renjanu tau siapa Si Itu. Sudah jarang sekali mereka membahas Si Itu. Renjanu pikir Anjani sudah tidak cemburu lagi dengan partner OSISnya.

Wajah Anjani yang tengah cemburu itu membuatnya gemas. "Masih cemburu aja sama Si Itu." Renjanu mencubit pipi Anjani. "Kan sekarang Janu udah jadi punya Jani," lelaki itu tersenyum tanpa dosa sudah membuat jantung Anjani hampir berpindah dari tempatnya.

Pipi Anjani memerah padam. Bukan karena cubitan dari Renjanu. Entahlah, tiap kali jantungnya berdebar saat bersama Renjanu, kupu-kupu itu datang dan membuat pipi Anjani memerah.

Tak terima hanya dirinya yabg dicubit. Anjani membalas mencubit lengan Renjanu. "Tapi, Janu bareng si itu terus!" marahnya.

Renjanu merasakan cubitan dari Anjani, dan dia hanya tertawa. "Iya, tapi Janu lebih senang bareng Jani." Lelaki itu menyentuh wajah Anjani dengan lembut. "Si Itu, cuma partner OSIS. Tapi Jani, pacar Janu sekarang."

Tangan Anjani mengepal memukul lengan Renjanu. Kepalanya sudah tidak merebah di atas meja yang beralaskan tangan Renjanu. "Janu belajar gombal dari mana sih?" kesalnya. Sebab sekarang jantungnya terasa makin tak normal.

Lelaki itu malah tersenyum bangga. Renjanu tertawa dan mencubit pipi Anjani lembut. "Gombal? Janu cuma jujur."

Anjani terdiam sejenak, matanya memandang tajam ke arah Renjanu. "Jujur?" gumamnya, lalu menghela napas. "Itu namanya gombal tau!" balasnya tak terima.

Renjanu tersenyum lebar. "Jadi, Jani ngga percaya sama Janu?"

Anjani merasa wajahnya kian memanas. "Ngga tau," sahutnya sambil memalingkan wajahnya. Suara Anjani kian melengking.

"Shtt, jangan teriak-teriak, Jani," ujar Renjanu. Suasana warung nasi goreng gila yang makin ramai. Dengan teriakan Anjani membuat beberapa orang di sana menoleh dan memperhatikan mereka. Bisa jadi omongan yang tidak-tidak sebab mereka masih mengenakan seragam sekolah.

Anjani menundukkan kepala dengan wajah yang memerah akibat malu. "Maaf, Janu, nggak sengaja." Ia berbisik lirih, mencoba meredakan kehebohan yang tadi sempat ia ciptakan.

Renjanu hanya tersenyum lembut, merasa bahwa momen tersebut bisa menjadi kenangan lucu di antara mereka berdua. "Gapapa Jani." Lelaki itu menenangkan Anjani. "Mau pulang sekarang?"

Gadis itu mengangguk. Mereka pun segera membayar makanan dan meninggalkan warung nasi goreng gila. Keheningan kembali mengisi perjalanan pulang mereka, tapi kali ini, mereka tidak terlalu keberatan dengan keheningan itu. Saat ini, candaan dan tawa mereka masih terasa hangat di dalam hati.

🅷🅰🅸 🅹🅰🅽🆄

Kali ini Renjanu tidak membawa motornya. Tentu sebab tak ada rapat OSIS hari ini dan keinginan Renjanu menyelamatkan bumi dengan mengurangi polusi.

Tak sendiri, ada Anjani yang ikut berjalan di sampingnya. Mereka berjalan beriringan. Tangan Renjanu bergerak mendekati tangan Anjani hingga tangan kecil Anjani berada di genggamannya.

Anjani menatap Renjanu kaget pada awalnya. Lalu menlihat reaksi lelaki itu yang hanya tersenyum. Mereka berjalan bersama di bawah sinar matahari yang sedikit temaram menjelang senja. Suasana yang tenang dan hangat memenuhi momen ini, dan Anjani merasa nyaman dalam genggaman tangan Renjanu. Dalam keheningan yang penuh makna ini, mereka melanjutkan perjalanan pulang bersama, tanpa kata-kata yang perlu diucapkan.

Perjalanan tak cukup jauh. Bahkan tak sampai setengah jam mereka sudah sampai di sekolah. Tentu bagi Anjani yang jarang berjalan kaki menjadi hal yang melelahkan. Namun, bagi Renjanu itu menjadi momen yang menyenangkan. Menghabiskan waktu dengan Anjani sembari berjalan kaki. Dua hal yang ia sukai dilakukan di waktu yang sama.

Saat mereka tiba di sekolah, Anjani merasakan sedikit kantuk dan lelah setelah perjalanan itu. Namun, melihat senyum Renjanu yang begitu tulus membuatnya merasa bahwa setiap langkah yang diambil adalah sebuah perjalanan yang berharga.

Suasana di depan gerbang makin ramai. Anjani memberontak mencoba melepaskan tangannya yang berada di genggaman Renjanu. "Janu lepas ih!" rintihnya.

"Kenapa?" Renjanu malah makin mengeratkan genggamannya. Ia menatap bingung pada Anjani.

"Malu tau!" ujarnya. Jika mereka sekarang adalah mahasiswa Anjani tak keberatan. Namun, saat ini statusnya masih siswa SMA. Pasti Bu Ayu sudah menunggu di dalam sana.

Renjanu memasang wajah sedihnya. Lalu perlahan ia melepaskan genggaman tangannya. "Hmm," keluhnya sedih. Ia memasang wajah memelasnya.

Sayangnya, Anjani tetap menolak dengan gelengan kepala. "Janu kalau kaya gitu kaya anak kecil," ejek Anjani.

Tak mau memikirkan hal itu. Renjanu masih tetap memasang ekspresi seperti itu. Hingga Anjani mencubit lengan lelaki itu. "Janu!"

Renjanu menghela napas panjang. Mereka meneruskan berjalan sampai masuk ke dalam lingkungan sekolah. "Jani belajar yang rajin ya," ujarnya. Ekspresi tak jauh berbeda dari sebelumnya saat ia berpisah dengan Anjani.

Kepala Anjani mengangguk lalu ia masuk ke dalam kelas. Dirinya sekarang adalah pacar Renjanu. Apa itu akan membuat masa depan semakin runyam?

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now