35. Hai Janu, Minyak dan Air

20 7 0
                                    

Perlahan Anjani membuka matanya. Benar saja, apa yang ia rasakan sama dengan kenyataan. Dirinya masih berada di tempat yang sama. Duduk di ruang tamu Renjanu. Hari masih gelap dan tidak ada yang terjadi.

Renjanu masih khusyuk menutup matanya. Meski Anjani telah menghela napas kecewa. Ada keinginan untuk menjahili Renjanu.

Sikunya menyenggol lengan Renjanu. Gadis itu berbisik, "Janu jangan buka mata dulu." Dan lelaki itu mengangguk, menuruti apa yang Anjani perintahkan.

"Janu diam aja di sini," ujar Anjani lalu perlahan dia beranjak dari kursi kayu menyebabkan suara decitan kecil.

Alis Renjanu bertaut bingung. Ia hapal sekali suara decitan ini. Tak ada lagi barang yang berbunyi seperti itu selain kursi reotnya. Mata Renjanu mengintip, mendapati Anjani yang berjalan pelan menjauh darinya.

Sekarang Renjanu sadar bahwa dirinya masih di tempat ini. Entahlah, mungkin percobaan pergi ke masa lalunya tak berhasil. Namun, melihat Anjani yang nampak asik mencoba menjahilinya terlihat menarik.

Renjanu tetap menutup matanya. Tak bergerak sesuai instruksi Anjani. Ia terus mengintip apa yang akan gadis itu lakukan. Anehnya Anjani malah mendekatkan mukanya di depan wajah Renjanu. Hingga hanya tersisa jarak beberapa senti di antara mereka. Bahkan Renjanu dapat merasakan hembusan napas Anjani.

Renjanu memundurkan kepalanya. Matanya memejam sangat kuat hingga dahinya merasakan perih saat Anjani menyentilnya kuat-kuat. Hal itu bersamaan dengan tawa Anjani yang terdengar memenuhi ruangan.

Saat mata Renjanu terbuka, ia sudah tak lagi melihat Anjani yang tertawa melainkan gadis itu penuh dengan kekecewaan. "Masa, tiba-tiba ngga bisa sih," gerutunya.

Renjanu mana mungkin tau alasannya. Bahkan cara kerja Anjani bisa kembali ke masa lalu saja dia tidak tau. Kalau dari film-film, kembali ke masa lalu itu lewat mesin waktu. Sedangkan Renjanu punya pita tape dan alat pemutar yang bahkan bukan ia beli dari toko barang antik. Dia hanya membeli dari toko barang bekas, lalu memperbaikinya sedikit.

"Itu tandanya Jani emang ngga perlu ke sana," ujar Renjanu sembari menepuk pelan kepala Anjani. Lagipula tak ada alasan penting untuk Anjani kembali membahayakan diri kembali ke sana.

Anjani nampak murung. Ia masih tak menyangka akan gagal ke sana. Padahal sebelumnya ia selalu berhasil. Apa karena dia sedang berdua dengan Renjanu? Kalau begitu, sekarang Anjani perlu mengusir Renjanu dari rumahnya sendiri.

"Janu pergi dulu." Anjani mencoba mendorong tubuh lelaki itu. Sayangnya, dia tidak punya tenaga sekuat itu, atau memang Renjanu saja yang berat seperti batu. Mungkin jawabannya adalah yang kedua.

"Buat apa?" Renjanu tetap diam tak bergeming. "Jani mau balik ke sana sendirian?"

Kepala gadis itu mengangguk penuh semangat. Memang Renjanu adalah orang yang sangat peka. Namun, lelaki itu malah memasukkan lagi alat pemutar dan pita tape itu ke dalam kardus. Membawanya masuk ke dalam kamar dan menguncinya rapat.

"Kok ..." Anjani menatap nanar pintu kamar Renjanu yang terkunci. Sedangkan lelaki itu tersenyum puas.

Tangan Renjanu kembali terulur, mengusap lembut kepala Anjani. "Sekarang udah malem, kalau Jani ngga pulang nanti dicari mama." Ucapan Renjanu bukan tanpa dasar. Malam semakin larut, dan Anjani bisa sampai di rumah tengah malam kalau tidak pergi sekarang.

Gadis itu menghela napas kasar. Tak ada kalimay lagi untuk menyanggah Renjanu. Ia pun berdiri dengan lemas sembari mulutnya bergumam tidak jelas. Ia mengucapkan banyak sampah serapan untuk Renjanu. Untungnya lelaki itu tak mendengar apa yang Anjani gumamkan. Malahan ia terkekeh sebab wajah Anjani yang nampak menggemaskan.

🅷🅰🅸 🅹🅰🅽🆄

Anjani pulang sendirian naik bus. Bukan karena Renjanu tak mau mengantarnya. Malah Anjani sendiri yang dengan tegas menolaknya. "Jani udah besar bisa pulang sendiri." Seperti itulah kalimat yang Anjani ucapkan.

Meski begitu Renjanu tetap saja khawatir. Jadilah ia dan Anjani terhubung lewat telepon sekarang. Jika ada sesuatu yang terjadi pada gadis itu, Renjanu akan dengan sigap datang ke sana.

Malam yang telah larut membuat suasana bus makin sepi. Banyak penumpang yang turun, menyisakan Anjani dan seseorang yang duduk di bangku paling belakang. Tubuh Anjani terasa merinding, ia merasa seperti di awasi.

Saat ia menoleh, lelaki itu tidak nampak jelas. Setengah wajahnya tertutup topi apalagi pakaian serba hitam yang menambah kesan misterius dari orang itu.

Telinga Anjani menangkap suara langkah kaki mendekat. Jantungnya berdegup kencang. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Berteriak meminta bantuan Renjanu? Atau langsung lompat keluar bus? Sayangnya Anjani tak dapat melakukan keduanya. Mulutnya terasa kelu, tubuhnya kaku menegang.

"Anjani," sampai suara itu membuatnya menghela napas lega. Lalu ia mengernyit bingung. Tunggu dulu, bukankah itu suara Taraka? Mengapa lelaki itu berasa di bus yang sama dengannya. "Kenapa dia ngga anter lo pulang?" Taraka bertanya tanpa banyak basa-basi.

Kemungkinan besar Renjanu mendengar ucapan Taraka sekarang. Anjanj menekan tombol untuk membisukan panggilan, meski sekarang sayup-sayup ia mendengar suara Renjanu memanggil. Maaf Renjanu, Anjani akan mengabaikanmu sebentar.

"Jani yang ngga mau," jawab Anjani diakhiri dengan sebuah tawa. Anjani tau Taraka akan terus mencari celah kesalahan Renjanu. Terlebih Taraka yang notabenya membenci Renjanu.

Taraka nerdecak kesal. "Lo suka sama dia?" Sebenarnya tanpa Anjani jawab oun Taraka sudah tau. Ia ingin memsatikan, dan sedikit menaruh harapan bahwa Anjani masih membenci Renjanu.

Namun, ia tidak mendapat jawaban. Taraka hanya melihat gadis itu yang terdiam. Wajahnya nampak sangat lelah. Ia sendiri tidak tau apa yang Anjani alami, malah terus menekan gadis itu.

"Maaf," ujar Taraka. Kenapa ia selalu tidak bisa mengendalikan emosinya saat membahas Renjanu. Lagi-lagi ia malah membuat Anjani sakit.

Kepala gadis itu menggeleng. "Taraka ngga bisa ya temenan sama Janu?"

Suara mesin bus yang melaju, angin malam yang dingin, dan musik yang mengalun di sana menambah suasana tegang di antara mereka.

Taraka ingin menolak keras permintaan Anjani. Namun, ia tidak mau menyakiti gadis itu. Ia terdiam seribu bahasa. Matanya menatap ke arah luar jendela. Melihat pepohonan yang seolah kabur darinya.

Tangan Anjani menarik pelan lengan baju Taraka. Pikirnya lelaki itu akan beralih menatapnya. "Taraka," panggilnya. Tak mengubah apapun, Taraka tetap berada di posisi yang sama. "Taraka ngga mau?"

Anjani memasang raut memelasnya. Siapa tau Taraka akan menoleh dan menjawab pertanyaannya.

Nyatanya, Taraka tak semudah meluluhkan Renjanu. Lelaki itu tetap diam hingga sampai ke tempat pemberhentian. Mereka turun di tempat yang sama. Taraka masih diam membisu. Lalu ia menghentikan langkahnya.

Anjani pun sama. Ia mengikuti Taraka yang berhenti. Menatap lelaki itu penuh harap.

"Gue ngga perlu temenan sama dia," putusnya tanpa basa-basi. Ia memilih arah jalan yang berbeda dengan Anjani.

Gadis itu terdiam, menatap punggung Taraka yang mulai menjauh. Sepertinya menyatukan Taraka dan Renjanu adalah hal yang mustahil. Seperti menyatukan minya dan air.

Hai Janu || Enerwon ||Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora