04. Hai Janu, Jani Datang

64 14 0
                                    

"Janu," teriakkannya menggema di seluruh ruangan, serak oleh kerinduannya yang lama terpendam

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Janu," teriakkannya menggema di seluruh ruangan, serak oleh kerinduannya yang lama terpendam. Gadis itu langsung terbangun dari tidurnya, matanya yang masih berat mencari sumber panggilan dalam kegelapan.

Badannya serasa remuk karena tidur sambil duduk di kursi. Namun, ia langsung berdiri, langkah-langkahnya ragu seolah merasakan jejak hangat yang dulu pernah ada. Ia mengobrak-abrik isi kotak kartonnya dengan cemas, tangan-tangannya gemetar saat menyentuh benda-benda yang pernah ditinggalkan.

"Janu." Derai air matanya mulai kembali, seakan menggambarkan betapa dalam kerinduannya pada sosok yang tak ada lagi. Dirinya langsung dihantam realita yang pedih, bahwa sosok Renjanu memang sudah tiada. Hanya barang-barang yang pernah mereka bagikan yang tersisa, menyisakan jejak perjalanan mereka bersama.

"Janu." Di sela tangisnya yang penuh dengan luka dan kehilangan, Anjani memanggil nama Renjanu dengan suara getar yang penuh dengan keinginan. Ia memeluk erat boneka berbentuk sponge kuning, salah satu tokoh kartun yang pernah mereka sukai bersama. "Janu janji untuk gak pergi, tapi Janu ingkar." Suaranya patah di tengah kalimat, diiringi pelukan yang semakin erat pada boneka itu seolah mencoba menyambungkan rindu dan kehilangan. Dalam pelukannya, ia merasakan sedikit kehangatan, seakan-akan Janu masih ada di sana.

"Astaga Jani," pekik mama Anjani kala mendapati anaknya tengah memeluk boneka sembari menangis. "Kamu kangen Janu lagi?" tanyanya.

Kepala Anjani mengangguk pertanda jawaban iya. "Jani pengen ketemu Janu, Ma," pintanya.

"Tidak bisa, Jani. Kamu ikhlasksn Janu, ya? Supaya dia tenang di sana." Itu bukanlah hal mudah, mengikhlaskan Renjanu yang meninggal secara tidak adil.

Meski semua orang percaya Renjanu bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari atap sekolah. Anjani tidak percaya kalimat itu sepenuhnya. Renjanu tidak pernah terlihat murung. Hidupnya juga berjalan dengan lancar, bahkan Anjani tidak pernah mendengar Renjanu mengeluh. Keluarga Renjanu juga baik-baik saja. Harmonis dan tidak pernah menuntut Renjanu yang macam-macam. Lalu mengapa pemuda itu memilih untuk mengakhiri hidupnya?

Anjani menggelengkan kepalanya. "Gak Ma, Jani gak bisa. Mana mungkin Jani bisa ikhlas jika Janu pergi dengan cara seperti itu," sangkalnya.

"Itu sudah pilihan Janu. Jani sudah besar harusnya tau." Mama Anjani mengusap punggung anaknya memberikan ketenangan.

"Gak, Mama gak ngerti, Janu gak mungkin seperti itu." Anjani menepis tangan mamanya.

Hal itu mengundang emosi mama Anjani. "Renjanu itu sudah meninggal 3 tahun lalu, Anjani. Dan semua orang tau kalau Renjanu memilih bunuh diri." Kata 'bunuh diri' yang di ucapkan Sang Mama cukup membuat Anjani merasa sakit hati.

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now