49. Hai Janu, Jani Menyesal

16 5 0
                                    

Anjani membereskan kekacauan yang Taraka buat. Ia sudah mencari ibunya ke sekeliling rumah tetapi tidak ada. Sepertinya beliau tidak ada di rumah setelah membiarkan Taraka masuk. Atau mungkin mereka berpapasan di depan. Anjani juga tidak tau pasti.

Gadis itu masih menangis sembari membuang pemutar pita tape yang sudah tidak berbentuk itu. Anjani merasa kebingungan dan hancur, terjebak dalam kenyataan mengerikan yang Taraka ciptakan.

Anjani merasa seakan dunianya runtuh. Taraka telah mengungkapkan hal yang sangat mengerikan, dan saat ini ibunya pun hilang. Ia mencoba mengatasi kekacauan yang ada di kamarnya. Puing-puing pemutar pita tape berserakan di lantai, dan Anjani tak punya kekuatan untuk membersihkannya saat ini. Air mata terus mengalir dari matanya.

Rasanya seolah-olah dia berada dalam mimpi buruk yang tak berujung. Ia mencari teleponnya untuk mencoba menghubungi ibunya, namun tidak mendapatkan jawaban. Semua terasa semakin suram dan gelap. Anjani hanya bisa merasakan ketakutan dan kebingungannya yang mendalam.

Dia sudah mempunyai jawaban bahwa selama ini Renjanu tidak mengakhiri hidupnya sendiri. Betapa malangnya nasib Renjanu. Dan Anjani menyesal telah kembali dan mencoba menyelamatkan Taraka.

Anjani merenung dalam kegelapan kamarnya. Semua yang terjadi begitu rumit dan membingungkan. Dia merasa bimbang tentang tindakan apa yang seharusnya diambil selanjutnya. Hati Anjani terasa terluka, penuh penyesalan, dan penuh ketakutan. Ia merasa bertanggung jawab atas banyak hal yang telah terjadi, bahkan atas kepergian Renjanu.

Pilihan yang ada di depannya adalah apakah ia harus mencoba kembali ke masa lalu atau mencoba meresapi kehidupannya sekarang tanpa campur tangan di waktu. Semuanya menjadi semakin rumit dan sulit, dan Anjani merasa seperti terjebak dalam labirin emosi yang tak berujung. Ia tidak tahu harus mengambil langkah apa selanjutnya.

"Jani, ada apa ini?" Sang Ibu baru saja tiba di kamarnya dan mendapati Anjani yang tengah menangis. Mata gadis itu kosong menatap nanar pada sebuah kantung plastik hitam.

Anjani mencoba menghapus air mata dan menjawab ibunya dengan suara gemetar, "Ini semua salah Jani, Ma. Semua bermula dari keputusan Jani sendiri." Ia merasa sangat bersalah dan hancur akibat semua yang telah terjadi.

Ibu Anjani memeluknya erat. "Jani kangen Janu lagi?" pikir Sang Ibu.

Kepala gadis itu heran membuat Sang Ibu mengernyit bingung. Lalu apa yang membuat gadis itu menangis jika bukan merindukan Renjanu?

"Jani ... Jani ... Jani udah ngga bisa nolong Janu, Ma," ujarnya parau. Suaranya serak, tubuhnya gemetar memeluk Sang Ibu.

Ibu Anjani mencoba memberikan dukungan dan kenyamanan sebisa yang ia bisa. "Jani, apa yang terjadi? Ibu di sini untuk mendengarkanmu," katanya dengan lembut. Ibu Anjani ingin mendengar seluruh cerita Anjani dan mencoba membantu mengatasi perasaan yang sedang melanda anaknya.

"Taraka hancurin barang dari Janu," tangisnya makin pecah bersamaan ingatan tentang semua kalimat Taraka muncul di kepalanya.

Ibu Anjani mengangguk, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. "Taraka merusak barang dari Janu? Kenapa dia melakukannya?" Ibu Anjani ingin mendengar lebih banyak lagi tentang situasinya, sehingga ia dapat memberikan dukungan yang tepat kepada anaknya.

Kepala Anjani menggeleng. Tidak mungkin ia menceritakan masalah itu pada ibunya. Terlebih, pengakuan Taraka yang telah membunuh Renjanu.

"Mama, Jani boleh keluar bentar buat nenangin diri ?" Mata Anjani menatap Sang Ibu penuh permohonan.

"Tentu, sayang. Pergilah dan carilah ketenangan. Mama selalu ada di sini jika kamu ingin berbicara atau butuh dukungan." Ibu Anjani mengusap lembut kepala anaknya memberikan ketenangan.

🅷🅰🅸 🅹🅰🅽🆄

Anjani terus melangkah, langkah-langkah kecilnya membawa ia makin jauh dari rumah. Secara sengaja membawa dia pergi ke rumah Renjanu. Rumah yang tak terlalu jauh dari kediamannya.

Anjani berdiri di depan gerbang rumah itu. Ragu-ragu untuk menekan bel. "Jani," suara yang sangat Anjani kenal masuk ke dalam indera pendengarannya. 

Anjani menoleh lalu berlari. Memberikan sebuah pelukan erat pada wanita itu yang tak lain adalah Riana. "Kak Ana." Anjani kembali menangis.

Riana memeluk Anjani dengan hangat. "Anjani, apa yang terjadi? Kenapa Jani menangis?" Ia mencoba menenangkan Anjani.

Anjani mencoba menjelaskan sembari menangis. "Kak Ana, Jani udah ... Jani udah ngga bisa nolong Janu." Gumpalan-gumpalan air mata semakin deras mengalir.

Riana mengernyitkan alisnya. Dia mengusap punggung Anjani mencoba menenangkan gadis itu. "Jani, Janu udah tenang di sana," jelasnya lihir.

Kepala Anjani menggeleng kuat. Bagaimana Renjanu bisa tenang di sana jika semua hal yang berjalan di sini tidak benar? Bagaimana Renjanu bisa tenang di sana kalau selama ini orang-orang salah mengiranya?

Riana mencoba memberikan dukungan. "Jani, Janu selalu akan ada di hatimu, di ingatanmu. Apa pun yang terjadi di masa depan, kalian akan selalu memiliki kenangan bersama."

Anjani mencoba memahami kata-kata Riana. Meski dia tahu bahwa Renjanu tidak benar-benar ada di sana, kenangan bersama akan selalu ada dalam ingatannya. "Tapi ini semua salah Jani," ujarnya penuh amarah kepada diri sendiri.

"Jani," panggil Riana lembut. "Kita masuk dulu yuk," ajaknya. Suasana di jalan depan rumahnya sedikit ramai. Akan tidak nyaman jika Anjani menangis menjadi tontonan orang-orang.

Anjani mengangguk dan mengikuti Riana masuk ke dalam rumah. Entah bagaimana, ketika dia melihat Riana, rasa sedihnya terasa lebih ringan. Dia merasa berada dalam tempat yang nyaman di dekat kakak perempuannya itu.

Di dalam rumah, mereka duduk di ruang keluarga. Riana masih mencoba memberikan dukungan pada Anjani, mencoba membuatnya merasa lebih baik. "Jani, tidak ada yang salah denganmu. Ini semua adalah pilihan yang Jani buat dalam situasi yang sulit. Semua orang selalu berusaha untuk yang terbaik."

Keduanya sudah masuk ke dalam rumah. "Jani mau ke kamar Janu?" tawarnya.

Lalu mereka melanjutkan langkah sampai di kamar Renjanu. Pintu terbuka membuat Anjani dengan leluasa melihat kamar Renjanu.

Lelaki pecinta barang klasik dan semua koleksinya masih tersimpan rapi. "Ada satu kotak yang ngga bisa di buka," ujar Riana sembari mencari benda itu di kolong kasur.

Riana menyeret kotak itu hingga nampak jelas di mata Anjani. "Ada pinnya dan semua orang ngga tau itu," ujar Riana. "Maaf Kak Ana baru ngasih tau sekarang."

Benda itu juga sudah ditemukan 3 tahun lalu, tetapi Riana juga baru menemukan benda ini beberapa hari yang lalu saat membongkar isi kolong kasur Renjanu.

Anjani mencoba mengotak-atik pin tersebut. Dari tanggal lahir Renjanu, tanggal lahirnya, hingga tanggal jadian mereka di waktu itu. Sayangnya tak ada yang berhasil untuk membuka kotak itu.

Anjani terdiam dan berhenti sejenak. Lalu memikirkan angka apa yang mungkin bisa menjadi penentu.

0101

Hai Janu || Enerwon ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang