40. Hai Janu, Mari Bersama

17 6 0
                                    

Langkah Anjani belum seperti biasanya. Ternyata luka di lutunya mampu membuatnya kesulitan berjalan. Ia melangkah dengan pelan sembari satu tangannya mengalung di lengan Renjanu.

"Kok bisa tadi jatuh?" tanya Renjanu khawatir. Ia berjalan perlahan mengiringi langkah Anjani.

Gadis itu terdiam, mana mungkin dia menjawab tersandung karena pertanyaan yang Riana lontarkan. "Tadi ngga fokus terus kesandung deh," ujarnya.

Anjani memasang senyum lebar. Seolah lukanya bukan apa-apa. "Jani ngga apa-apa kok," jelasnya sembari melebarkan senyum.

Renjanu mengusak rambut Anjani gemas. "Ngga apa-apa kok sampe ngga bisa jalan sendiri," cibirnya.

Sebelah tangan Anjani yang bebas memukul lengan Renjanu. "Kalau ngga ikhlas nolongin mah, Jani bisa jalan sendiri." Anjani mendorong kasar lengan Renjanu membuat dirinya terhuyung sendiri.

Untungnya dengan sigap Renjanu menangkap Anjani. "Ada Janu, jadi Jani ngga perlu sendirian."

Wajah Anjani terasa memanas. Pipinya memerah dengan degupan jantung yang kuat. Jika dia punya keberanian, maka ia akan menjawab Riana dengan lantang 'iya'. Sayangnya nyalinya terlalu ciut untuk mengatkan itu. Apakah jika ia mengutarakan perasannya sekarang ia akan semakin menghancurkan masa depan?

Banyak ketakutan yang menghantui Anjani. Ia tidak ingin setiap hal yang ia lakukan sekarang menjadi imbas di masa depan. Anjani tak mau melakukan kesalahan lagi.

"Jani." Renjanu memanggil sembari mengibaskan tangannya. "Mau gini terus?" tanya Renjanu, posisi mereka diam saling bertatapan.

Koridor sekolah yang panjang dan terang benderang menjadi saksi dari momen saat Anjani dan Renjanu bertatapan. Dinding-dinding berwarna cerah dengan gambar-gambar karya siswa yang dipajang di sana-sini menambahkan keindahan pada koridor tersebut.

Seketika Anjani tersadar. Bisa malah semakin kacau kalau ia banyak melamun
"Ayo jalan lagi," ajaknya dengan semangat.

Ada beberapa pertanyaan di benak Renjanu. Lagi-lagi Renjanu memilih diam di dalam rasa penasarannya. Mereka berdua melanjutkan perjalanan. Hingga sampai di depan kelas Anjani.

Renjanu mengantarkan Anjani sampai ke tempat duduknya. Lalu ia duduk di depan Anjani untuk bisa mengobrol lebih banyak dengan gadis itu. Toh guru juga belum datang ke kelas itu.

"Lain kali jalannya hati-hati, ya?" Renjanu menatap Anjani penuh kekhawatiran.

Suasana kelas terasa damai dan hening, dengan bangku-bangku siswa yang tertata rapi dan papan tulis di depan yang belum digunakan. Renjanu duduk dengan perasaan cemas di hadapan Anjani, masih mengkhawatirkan kondisi gadis itu.

Anjani menatap Renjanu dengan senyum yang tulus. "Iya, Janu. Jani janji bakal lebih hati-hati lagi," ujarnya dengan penuh semangat, mencoba meyakinkan Renjanu

Namun, ada sesuatu yang tersirat dalam mata Anjani. Beban rasa bersalah yang masih menghantuinya dari perjalanan waktu yang salah dulu. Dalam hatinya, dia berharap bisa memberikan pengertian kepada Renjanu tentang perasaannya yang rumit. Tetapi saat ini, suasana kelas yang tenang dan tatapannya pada Renjanu membuatnya terdistraksi, dan dia memilih untuk menyimpan rasa tersebut untuk saat lain.

Tangan Renjanu terulur, menepuk pelan kepala Anjani. "Janu ke kelas dulu, Jani belajar yang rajin ya," pamitnya.

Anjani memberikan anggukan kecil. Ia melambaikan tangan sebelum Renjanu benar benar hilang. Anjani menyandarkan kepalanya di atas meja

Di tengah gelak tawa teman-temannya, Anjani merasa terisolasi. Dia hadir fisik di kelas, tapi pikirannya masih melayang pada momen bertemu Renjanu. Ruangan yang ramai ini terasa sangat sepi bagi Anjani, seperti banyak kekosongan di dalam hatinya.

🅷🅰🅸 🅹🅰🅽🆄

Anjani duduk di tempat yang biasanya ia pilih untuk menunggu Renjanu. Pemandangan di sekitarnya terlihat biasa saja, orang-orang di sekolahnya yang mulai meninggalkan sekolah, tapi di dalam dirinya, ada kerisauan yang terus menggelayut.

Saat menunggu Renjanu, ingatan-ingatan masa lalu mereka berdua datang menghampirinya. Kenangan-kenangan indah yang ia alami bersama Renjanu, tapi juga momen-momen sulit yang membuatnya merasa bersalah.

Sambil menatap koridor yang sibuk, Anjani menghela napas dalam. Rasanya seperti tidak adil bahwa hanya dirinya yang mengingat semuanya. Tapi dia tahu, ini adalah konsekuensi dari perjalanan waktunya yang telah mengacaukan segalanya.

Kepalanya perlahan mendongak, menatap langit yang nampak mendung. Lalu sebuah tangan menutupi penglihatannya. Renjanu berdiri di hadapannya dengan senyum manisnya.

"Pulang yuk," ajak Renjanu. "Itu udah mau ujan." Ia menunjuk ke langit yang sudah mulai menggelap.

Anjani tersenyum lega saat melihat Renjanu muncul di hadapannya. Senyum lelaki itu selalu mampu menghangatkan hatinya, bahkan dalam keadaan mendung seperti sekarang.

"Ayoo," jawab Anjani sambil mengambil tangan Renjanu yang ditawarkan. Mereka berdua berjalan bersama meninggalkan tempat itu, sambil berharap bahwa hujan tidak mengguyur mereka sebelum sampai di rumah.

Langit makin menggelap kala motor mereka melaju meninggalkan sekolah. Keheningan terasa selama perjalanan, hanya diiringi suara mesin motor dan gemericik air dari genangan di jalan.

Anjani memeluk pinggang Renjanu erat, merasa nyaman dalam pelukannya. Jalanan yang licin dan berlumpur karena hujan tadi membuat perjalanan agak lebih sulit dari biasanya, tapi Anjani merasa aman saat bersama Renjanu.

Mereka melaju dengan hati-hati, menghindari genangan besar yang bisa menyebabkan cipratan air kotor. Tetapi meskipun cuaca tidak mendukung, Anjani merasa hangat karena keberadaan Renjanu di sampingnya.

Perlahan Anjani menyandarkan kepalanya di pundak Renjanu. Sungguh, Anjani merasa nyaman sekarang. Renjanu sendiri tidak keberatan. Dia hanya heran dengan tingkah Anjani sekarang. Gadis itu tak banyak bicara tetapi nampak lebih manja dari biasanya.

"Jani sakit?" Suara khawatir Renjanu beradu dengan suara angin yang menerpa.

Anjani mendengar jelas pertanyaan Renjanu. Kepalanya menggeleng pelan, "Cuma pengen istirahat aja," jawab Anjani lirih.

Renjanu mengangguk mengerti, mengurangi sedikit kecepatan motornya. Dia memahami bahwa Anjani mungkin lelah setelah seharian beraktivitas. Meskipun cuaca kurang bersahabat, perasaan hangat dan perhatian dari Renjanu membuat Anjani merasa lebih baik.

Mereka terus melanjutkan perjalanan dalam hening yang nyaman. Sesekali, Renjanu memeriksa Anjani dengan pandangan singkat, memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja.

"Jani jangan tidur ya," ujarnya saat melihat Anjani telah memejamkan mata melalui kaca spionya.

"Ngga kok," suara Anjani makin lemas. Anjani tidak mengantuk, dirinya hanya lelah. Sampai matanya tak ingin untuk terbuka.

Renjanu makin khawatir dengan keadaan Anjani. Sejak tadi gadis itu terus menunjukkan keanehan. "Kita udah mau sampe."

Hati Renjanu kini makin was-was. Langit makin gelap, dan seakan sudah siap menjatuhkan airnya. Ia tidak ingin Anjani sakit sebab hujan.

Tak hanya Renjanu, Anjani sendiri bingung dengan keadaannya. Mengapa dirinya malah semakin lemas. Anjani mengeratkan pegangan tangannya. "Janu jangan ngebut ya," ucapnya kala ia merasakan motor Renjanu melaju lebih kencang.

Renjanu sebenarnya tak ingin melajukan motornya kencang. Tapi ia juga tak mau hujan turun sebelum mereka sampai di rumah. "Jani pegangan yang kenceng aja, biar kita cepet sampai di rumah."

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now