50. Hai Janu, Jani Tau Kapan Janu Mati?

17 4 0
                                    

Kotak itu terbuka, campuran antara rasa terkejut dan senang Anjani rasakan. Matanya menangkap alat pemutar tape jadul milik Renjanu, juga duplikat dari rekaman yang lelaki itu buat.

Ada satu kertas kecil dengan catatan. "Janu tau kalau Jani ceroboh, jadi Janu punya satu lagi," tulis lelaki itu di sana.

Ternyata password dari kotak itu adalah tanggal terakhir Renjanu membuat rekaman tape. Anjani tersenyum tetapi air matanya jatuh tanpa permisi.

Anjani merasa haru dan senang melihat isi kotak itu. Melihat alat pemutar tape dan rekaman yang Renjanu buat membuatnya merasa dekat dengan lelaki itu, meskipun Renjanu tidak berada lagi di dunia ini. Kata-kata yang ditulis Renjanu di kertas kecil juga membuatnya tersenyum meski sedih. Anjani menghargai perasaan Renjanu yang tetap ingin menyimpan kenangan bersamanya, bahkan setelah kepergiannya.

Anjani menatap Riana lama tanpa mengucap apapun. Riana tau apa yang dimaksud gadis itu. Kepala Riana mengangguk pelan. "Bawa pulang aja, pasti Janu buat itu untuk Jani," ujarnya sembari mengusap kepala Anjani.

Anjani merasa sedikit terhibur dengan kata-kata Riana. Ia memutuskan untuk membawa pulang alat pemutar tape dan rekaman tersebut sebagai kenangan yang berharga. Anjani tersenyum lembut pada Riana, merasa bersukur atas dukungannya.

Ia membawa benda itu pulang ke rumahnya bersama dengan kotaknya juga. Ia melangkah dengan yakin, semua jawaban akan pertanyaannya sudah terjawab. Yang tersisa hanyalah, bagaimana ia bisa memperbaiki masa lalu.

"Jani udah tenang?" tanya Sang Ibu menyambut Anjani. Ia melihat senyum Sang Anak yang mengembang lebar. "Jani mau cerita ke mama?"

Anjani memandang Sang Ibu dengan senyum lembut. Meskipun masih ada kesedihan dalam hatinya, ia merasa lebih tenang setelah berbicara dengan Riana dan menemukan kotak kenangan dari Renjanu. "Iya, Mama, Jani udah agak tenang sekarang," jawabnya. "Mungkin nanti Jani akan cerita, tapi sekarang ada hal penting yang harus Jani selesaikan."

Tibalah ia di kamarnya. Mengunci rapat pintu kamar agar tak seorang pun bisa masuk ke dalam sana. Anjani takut merusak barang Renjanu lagi.

Tangannya dengan perlahan mengambil kaset pita dari dalam kotak. Memasangnya pada alat pemutar kaset. Lalu menekan tombol. Telinganya mendengar suara Renjanu.

"Hai Jani, jantung Janu berdebar-debar. Kenapa Jani harus tercipta polos sekali? Jani gemes banget tau, kaya kucing. Bisa ngga Jani sehari aja ngga gemesin,Janu takut banyak yang suka sama Jani."

Anjani terkekeh mendengar pengakuan Renjanu yang sama anehnya dengan pengakuan-pengakuan lelaki itu sebelumnya. Kemudian, mata Anjani makin berat. Ini pertanda ia akan berhasil. Sesegera mungkin ia memejamkan matanya, hingga terdorong kembali ke masa lalu.

Anjani mendengarkan dengan hati yang hangat ketika suara Renjanu berbicara melalui kaset itu. Kemudian, dengan mata yang semakin berat, ia merenungkan kenangan indah bersama Renjanu dan, pada akhirnya, memejamkan matanya dengan harapan kembali ke masa lalu.

Momen ini seperti sebuah pintu menuju masa lalu yang penuh kenangan manis dan kasih sayang. Anjani berharap bisa merubah takdir dengan lebih baik saat ia tiba di masa itu.

"Jani datang dari masa depan lagi, kan?" pertanyaan yang langsung ia dapat setelah membuka matanya. Ia melihat sosok Renjanu yang berdiri dengan tangan menyilang di depan dada.

Kepala Anjani mengangguk kecil. Meski Renjanu akan marah mendengar ia kembali. Namun, Anjani yakin, kali ini dia tidak akan gagal lagi.

Anjani merasa lega melihat Renjanu yang tampak tenang dan tidak seperti pada pertemuan sebelumnya. Mungkin memang kali ini dia bisa berhasil dalam misinya untuk merubah masa depan.

"Jani, Jani benar-benar berusaha untuk merubah semuanya menjadi lebih baik," katanya dengan tekad. "Kita bisa menjalani masa depan yang lebih baik bersama-sama."

Kepala Renjanu menggeleng. Bukan tidak senang ia bertemu Anjani. Melainkan, khawatir mengapa gadis itu kembali ke tempat ini dan membahayakan dirinya.

"Kenapa Jani ke sini lagi? Janu kenapa lagi di sana?" tanya Renjanu. Suaranya rendah penuh penekanan.

Anjani menatap sendu Renjanu. Mulutnya terbuka kecil. "Janu pergi jauh, jauh sekali sampai ngga bisa Jani gapai."

Renjanu mengernyit mendengar alasan Anjani. Kekhawatirannya semakin bertambah. Mana mungkin setelah semua yang Anjani ceritakan,dirinya tetap memilih untuk mengakhiri hidup. Bahkan semua itu tidak pernah terlintas dipikiran Renjanu. "Jani ngga bohong, kan?"

Gadis itu langsung menggelengkan kepalanya kuat. "Ternyata Janu ngga bunuh diri," ujarnya. Ia menunduk, menatap lantai keramik. Kakinya bergoyang penuh keraguan.

"Terus? Janu dibunuh?" Mata Renjanu menelisik Anjani. Mencoba mencari kebohongan di sana. Namun, yang ia dapatkan hanyalah anggukan kecil dari Anjani.

Cerita Anjani kali ini malah semakin membuatnya khawatir. Jika ada seseorang yang berniat membunuhnya, bukankah akan sangat bahaya jika Anjani berada di sini? "Jani, ini berbahaya. Kita ngga boleh terus-terusan mencoba mengubah masa depan seperti ini. Bisa saja membuat semuanya semakin rumit."

Anjani mengangguk, menyadari bahwa tindakan mereka bisa berdampak buruk. "Jani cuma ingin semuanya menjadi lebih baik, Janu."

Renjanu menghela napas kasar. Sepertinya tidak ada cara yabg tepat untuk menasihati Anjani. Gadis itu tidak akan mendengarkan siapapun selain dirinya sendiri.

"Jani," panggilnya lirih. "Jani tau siapa yang bunuh Janu?"

Kepala gadis itu mengangguk. Namun, mulutnya tetap enggan mengatakan siapa orangnya. Pasti ada alasan kan mengapa Taraka membunuh Renjanu?

"Jani ngga perlu bilang. Janu udah tau orangnya." Lelaki itu berjongkok di hadapan Anjani. Menatap gadis yang terus menunduk itu penuh rasa khawatir.

Tangannya terulur mengusap lembut kepala Anjani. "Janu bisa jaga diri, Jani ngga perlu ke sini lagi," jelasnya.

"Bohong!" sanggahnya cepat. "Waktu itu Janu juga bilang gitu. Nyatanya Janu tetep pergi, Jani ngga suka sendirian." Gadis itu mulai menangis. Tubuhnya bergetar, rasa takut itu kembali datang.

Renjanu segera memeluk Anjani dengan lembut. "Sshh, Jani, Janu nggak akan pergi. Janu akan menemukan cara agar semuanya baik-baik saja di masa depan tanpa harus terus-terusan kembali ke sini. Janu janji." Ia mencoba meyakinkan Anjani bahwa ia ada untuknya.

"Kenapa ngga kita coba sama-sama? Kenapa Janu mau ngelakuin semuanya sendiri?" Nada suara Anjani naik satu oktaf. Ia sungguh marah pada Renjanu. Ia ingin memperbaiki semuanya. Namun, lelaki itu selalu menghalanginya.

"Janu cuma khawatir sama Jani," ujarnya lembut. Ia tau Anjani sekarang sangat marah padanya. Karena itu, ia tidak ingin amarahnya ikut terpancing.

"Kalau Janu khawatir harusnya Janu bantu Jani, kita perbaiki semua sama-sama." Gadis itu makin penuh emosi. Tangisnya makin pecah.

"Jani tau kapan Janu mati?" tanya Renjanu. Manik matanya menatap Anjani penuh dengan rasa penasaran. Jika jawabannya iya, maka akan semakin mudah untuk membuat strategi.

Hai Janu || Enerwon ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang