43. Hai Janu, Jani Bohong Ya?

17 4 0
                                    

Lagi dan lagi warung nasi goreng gila menjadi destinasi mereka. Seperti tak ada tempat lain yang mereka tuju. Juga tidak ada rasa bosan mereka mengunjungi tempat itu.

Sore yang bisa dibilang hampir malam. Matahari yang mulai tenggelam. Angin berhembus pelan, membuat rambut Anjani terkibas pelan.

Di warung nasi goreng gila yang menjadi langganan mereka, suasana mulai mengalami perubahan saat senja memasuki puncaknya. Lampu-lampu di sekitar warung mulai menyala, menciptakan suasana yang hangat. Bau nasi goreng yang menggoda mencampur dengan aroma udara senja yang segar. Anjani dan Renjanu duduk di meja sederhana di warung tersebut, menikmati nasi goreng favorit mereka sambil berbincang santai. Suasana senja yang indah ini menciptakan momen yang tak terlupakan dalam hubungan mereka.

Beberapa kali Renjanu mengeluarkan candaan-candaan kecil hingga Anjani tertawa. "Bisa-bisa pabrik gula tutup kalau Jani ketawa terus," celetuk Renjanu sembari menatap Anjani penuh perhatian.

"Kok bisa?" Anjani yang memang notabennya lemot tidak bisa menangkap ucapan Renjanu dengan cepat.

"Tanpa gula ini udah manis banget," ujar Renjanu sembari mengaduk es teh yang ia pesan.

Pikir Anjani es teh tawar Renjanu yang terasa manis. Padahal yang lelaki itu maksud adalah dirinya.

Renjanu hanya menggeleng heran sembari tertawa kecil. "Di masa depan hubungan kita gimana?" pertanyaan ini seharunya Renjanu tanyakan sejak tadi.

Pipi Anjani langsung memerah. Jantungnya berdegup kencang. Sebenarnya ada tiga peristiwa yang berbeda. Pertama ia kehilangan Renjanu, kedua ia menjadi pacarnya, dan terakhir dirinya bermusuhan dengan Renjanu. Tentu momen saat ia menjadi pacar Renjanu lah yang membuat pipinya memerah.

"Hayo mikirin apa?" goda Renjanu yang sangat yakin ada sesuatu di antara mereka. Wajah Anjani yang tersipu malu menjelaskan semuanya. "Jani jadi pacar Janu, ya?"

Langsung Anjani tersedak nasi goreng gila yang tengah ia kunyah. Tenggorokannya langsung terasa panas sebab pedasnya kini bercampur dengan rasa tersedak yang tak nyaman.

"Maaf Jani," pinta Renjanu sembari membantu Anjani minum. Rautnya nampak sanggat khawatir, itu juga bercampur dengan rasa bersalah.

Anjani menggelengkan kepalanya. Ucapan Renjanu tadi memang benar, tapi nada ucapan Renjanu tadi seperti mengajaknya berpacaran. Membuat Anjani terkejut.

"Tebakan Janu bener, kan?" Kepala Anjani memberikan anggukan kecil sembari terus menyesap es teh untuk mengurangi panas di tenggorokannya. "Daripada nunggu masa depan yang ngga pasti, Jani mau jadi pacar Janu sekarang?"

Mata Anjani membulat sempura tak percaya apa yang Renjanu katakan. Bukankan ini terlalu dini untuk Renjanu mengajaknya berpacaran? Bagaimana jika ia memilih jalan terlalu jauh kalau seperti ini? Jika Renjanu jadi pacarnya sekarang maka ia tidak akan mendapatkan pita tape milik Renjanu, kan? Bahkan sebagian dari pita tape itu belum di rekam.

"Janu punya pita tape kan?" tanya Anjani.

Renjanu sebenarnya kaget Anjani tau hal yang ia rahasiakan. Namun, ia sudah percaya bahwa gadis itu sungguh datang dari masa depan. "Jani tau itu?"

"Jani ke sini karena itu," jelasnya. "Kalau Jani jadi pacar Janu, apa Janu tetep bakal lanjut sampai pita tape ke tujuh?"

Renjanu mengangguk yakin, "Janu bakal tetep lanjut, kalau bisa malah Janu buat lebih banyak. Bukan buat Jani bisa ke sini lagi, tapi buat Jani abadi di dalamnya," jelasnya panjang.

Anjani menarik napas panjang sebelum memberikan jawaban. Ia mengulhrkan jari kelingkingnya. "Janu jani?" gadis itu menatap mata Renjanu serius.

Kelingking Renjanu kini bertaut dengan milik Anjani. "Janu jaji," ujarnya yakin.

Gadis itu langsung memasang wajah bahagianya. Buang dulu pikiran buruknya, mari menjawab ajak Renjanu lebih dahulu. "Jani mau," jawabnya.

"Mau apa?" Renjanu malah bertanya balik seperti orang yang tidak tau.

"Mau itu," jawab Anjani. Wajahnya semakin memanas dan pipinya merah padam.

Melihat reaksi Renjanu malah semakin ingin menjahili Anjani. "Itu apa hayo?" godanya.

Anjani yang sudah malu dan kesal langsung mengepalkan tangannya dan memukul tepat di kepala Renjanu. "Jadi pacar Janu!" sentaknya marah.

Meski Renjanu merasakan getir di kepalanya. Lelaki itu malah tertawa kencang. "Iya-iya, Janu paham kok," ujarnya.

Apa-apan ini? Mengapa bukan suasana romantis untuk mengutarakan perasaan. Mereka malah terlihat seperti hanya bercanda.

"Seberapa suka Jani ke Janu?" Lagi-lagi Renjanu memberi pertanyaan yang Anjani sulit jawab.

"Lebih besar dari Janu suka Jani," jawabnya. Mana mungkin ada yang lebih besar dari Anjani. Gadis itu rela bolak-balik ke masa lalu demi lelaki itu.

Wajah Renjanu mencibir tak percaya. "Buktinya apa?"

Anjani mengatur napasnya. Emosi membuat napasnya memburu. "Jani ada di sini buat Janu udah termasuk bukti."

Lalu keheningan melanda mereka. Hanya suara spatula dan wajan yang saling beradu. Suara kendaraan yang melintasi jalan raya ikut meramaikan suasana itu.

Renjanu percaya bahwa Anjani memiliki rasa yang lebih besar darinya. "Jani pasti sakit kalau ke sini?" ujarnya.

Anjani sudah pernah mendengar pertanyaan yang sama oleh Renjanu. Namun, hatinya terus terasa perih tiap mendengar pertanyaan ini. Perih, pedih sakit bercampur aduk hingga tak dapat Anjani deskripsikan lagi.

Memiliki ingatan, kalau itu ingatan bagus Anjani tak akan protes. Ingatan yang sangat menyakitkan itu membuatnya terus merasa semakin sakit tiap harinya.

Kepalanya memberikan anggukan kecil. "Cape juga," keluhnya lalu merebahkan kepalanya ke atas meja.

Sebelum kepala Anjani menyentuh meja, tangan Renjanu lebih dahulu menjadi alasnya. Tidak mau meja bercampur minyak dan debu itu menempel langsung pada wajah Anjani. "Terus kenapa Jani ke sini? Di masa depan Jani jadi pacar Janu kan?"

Tidak semudah itu untuknya di masa depan bisa berpacaran dengan Renjanu. Dan itu pun juga berubah setelah ia ke masa lalu. "Rumit," jawabnya singkat.

"Gapapa kalau Jani belum bisa jawab sekarang." Sebelah tangan Renjanu yang bebas mengelus lembut kepala Anjani mencoba memberi gadis itu ketenangan.

Mata Anjani memejam merasakan kenyamanan. Rasanya ini perjalanan waktunya yang paling nyaman. Namun, bagaimana jika ia tiba-tiba kembali dan Renjanu hilang lagi? Apa ia akan menemukan Renjanu di tempat yang sama.

Kepala Anjani malah makin terasa berdenyut. Sesusah itukah untuknya mendapat akhir bahagia? Apa kurang perjuangannya selama ini? Bahkan tidak melakukan kesalahan pun tetap membuat masa depan hancur.

"Jani," panggil Renjanu lirih. "Tadi siang Jani bohong ya?"

Anjani masih tetap berada di posisinya. Terlalu nyaman hanya untuk memindahkan kepalanya. Matanya pun masih terpejam. "Hmm?" ia berdehem pelan menyahut Renjanu.

"Janu sama Taraka ngga pernah jadi temen, kan?" Spontan kepala Anjani mengangguk. Kesadarannya menjadi menipis kala rasa nyaman semakin mendekapnya.

"Jani bohong supaya Janu sama Taraka bisa temenan?" tanya Renjanu yang sekali lagi Anjani jawab dengan anggukan. "Jani jangan bohong lagi ya," ujar Renjanu lembut sembari mengelus belakang kepala Anjani.

"Jani ngga perlu bohong," lanjutnya.

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now