Prolog.

689K 17.6K 301
                                    

"Sejauh apapun pengembaraanku, jika namamu yang tertulis di lauhul mahfudz-Nya untuk diriku, maka kamulah tempatku berlabuh."

-Rayyan Sankara Al-Khalifi-

***

"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkuur haalan."

"Bagaimana para saksi, sah?"

"SAHH!"

"Alhamdulillah."

Serentak dua keluarga itu mengucapkan kalimat hamdalah karena acara ini berjalan dengan lancar.

Sudah menjadi hal lumrah di lingkungan pesantren perihal perjodohan, sama halnya Gus muda yang satu ini; RAYYAN SANKARA AL-KHALIFI, seorang gus yang katanya dingin, galak dan suka menghukum, jangan lupakan parasnya yang membuat semua orang berdecak kagum karena mahakarya-Nya yang mendekati sempurna.

Lantas, dimana mempelai wanitanya?

ZHAFIRA AYRANIA AZKA MADEENA, seorang badgirl dengan sejuta keunikannya, bulu mata yang lentik, alis rapi, kelopak mata yang menawan serta bibir tipis yang menambah kesan kecantikannya membuat semua orang jatuh hati padanya. Nilai plusnya bertambah karena ia telah menjadi istri seorang Gus tanpa ia ketahui.

"Assalamualaikum, Gus, Ning." Rayyan menyalami Haikal dan Luna dengan takzim.

"Wa'alaikumussalam, panggil Ayah sama Bunda aja, Ray." ujar Haikal, pada Rayyan yang sudah sah menjadi menantunya.

"Iya A-ayah." balas Rayyan terbata, ia masih belum terbiasa dengan panggilan barunya itu.

Haikal menepuk pelan bahu Rayyan seolah memberikan tanggungjawab putrinya pada pria yang telah menjadi menantunya.

"Tolong jaga putri ayah, karena ayah yakin kamu mampu membimbing putri ayah dengan baik. Ayah percayakan semuanya ke kamu."

"InsyaAllah, insyaAllah Ray akan jaga dan bimbing Ayra dengan baik. Sekuat dan semampu yang Ray bisa."

***

"Sejauh apapun aku aku berlari, kamu adalah tempatku pulang. Karena-Nya dan karena mu, cinta ini terikat, yang takkan terbagi, dan takkan terganti."

-Zhafira Ayrania Azka Madeena-

Dasar Hukum :

Dalam kajian fiqih pernikahan, permasalahan tentang memaksakan pernikahan anak perempuan atau menikahkan anak perempuan tanpa seizin yang bersangkutan masuk dalam bab pembahasan wilayatul ijbar.

Wilayatul ijbar adalah hak bagi wali untuk menikahkan seorang perempuan yang masih gadis yang berada dalam kuasa perwaliannya tanpa harus mendapatkan izin dari perempuan yang bersangkutan terlebih dahulu.

Maka, dalam hal ini, walinya disebut dengan wali mujbir.

Dalam Mazhab Syafi’i, wali mujbir hanya ada dua orang, yaitu ayah dan kakek (ketika ayah sudah tidak ada). Sedangkan wanita yang boleh mereka nikahkan tanpa seizinnya hanyalah anak atau cucu yang masih gadis.

Imam Abu Syuja’ rahimahullah menyebutkan dalam matannya,an wanita itu ada dua macam; janda dan gadis. Diperbolehkan bagi ayah dan kakek ‘memaksakan’ pernikahan seorang gadis. Adapun janda, tidak boleh menikahkannya kecuali setelah ia baligh dan diminta izinnya.” (Al-Ghayah wa at-Taqrib, Abu Syuja’, 31)

Imam al-Bajuri rahimahullah dalam Hasyiyah-nya (3/374-375) menyebutkan syarat-syarat wali mujbir yaitu;

Pertama: Tidak ada permusuhan yang tampak (terlihat oleh orang-orang di sekitarnya) antara sang anak atau cucu gadis dengan walinya (ayah mau pun kakeknya)

Kedua: Calon suami hendaknya sekufu.

Ketiga: Calon suami mampu memberikan mahar.

Keempat: Tidak ada permusuhan yang tampak atau tersembunyi antara sang gadis dengan calon suaminya.

Kelima: Wali mujbir hendaknya menikahkan anak atau cucu gadisnya dengan mahar mitsl (mahar berupa mata uang yang berlaku dan kadarnya disesuaikan keumuman adat setempat), dan dibayar secara kontan (bila penundaan mahar bukan merupakan adat setempat).

Bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka akad nikahnya bathil alias tidak sah.

Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa wali mujbir berhak menikahkan anak atau cucu gadis mereka tanpa meminta izin terlebih dahulu. Hal itu karena ketulusan cinta dan kasih sayang seorang ayah atau kakek lebih bisa dipastikan dibanding orang selain mereka.

Meski demikian, para ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa meminta izin sebelum menikahkan anak atau cucu gadisnya tetaplah disunnahkan.

Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya :

“Janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan gadis itu dimintai izinnya, dan diamnya adalah izinnya.” (HR. Muslim No. 1421)

Imam an-Nawawi rahimahullah, seorang alim mujtahid mazhab Syafi’i, dalam Syarh Muslim (9/204) menjelaskan maksud hadits tersebut sebagai berikut :

“Asy-Syafi’i, Ibnu Abi Laila, Ahmad, Ishaq, dan selain mereka mengatakan: ‘Permintaan izin kepada seorang gadis sebelum menikahkannya itu diperintahkan (wajib). Adapun jika walinya adalah ayah atau kakek, maka permintaan izin itu disunnahkan. Meski andai keduanya menikahkan anak atau cucu gadis mereka tanpa seizinnya pun pernikahan tetap dinilai sah, sebab ketulusan kasih sayang mereka (lebih bisa dipastikan). Sedangkan para wali selain mereka berdua, tetap diwajibkan meminta izin wanita sebelum menikahkannya.

........

#ToBeContinued.

KIBLAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang