Bab 22 : Perjanjian

22 1 0
                                    


Tok, tok, tok.

Randy mengerjap, menatap langit-langit kamarnya seraya menahan nafas. Beberapa saat terdiam sementara keringat mulai menetes di dahi dan lehernya. Ia terengah sembari menatap sekeliling dan bangkit perlahan  dari posisi tidurnya.

Ia bernafas lega saat menyadari ini adalah kamarnya. Mimpi yang ia alami tadi terasa begitu nyata. Sesaat setelahnya Randy melirik jam yang tergantung di dinding kamar. Sudah pukul delapan  pagi, pantas saja bias cahaya dari balik titai jendela kamarnya sudah tampak terang. Nasib baiknya, hari ini ia tidak ada  jadwal kuliah.

Tok, tok, tok.

"Randy!"

Pintu kamarnya diketuk kembali, ah bahkan ia hampir lupa kalau terbangun karena  mendengar suara ketukan itu. Perlahan laki-laki berusia dua puluh tiga tahun itu bangkit dari kasurnya.

"Adi," ucapnya begitu membuka pintu. Teman kos sebelahnya itu tampak sudah rapi dengan tas besar di punggungnya. "Ada apa?"

"Mau  titip kunci, Ran. Sorry ya, aku ganggu, kamu  masih tidur? Tadi rencananya mau titipin  Bang Eko atau Bang Rahmat, tapi mereka udah duluan pergi. Aku pikir kamu juga gak  ada di kamar, udah dipanggilin lima belas menit gak nyahut-nyahut."

"Gak papa, kok, aku begadang tadi malam jadi gak bisa bangun pagi. Kamu mau pergi ke mana emangnya?" Randy menerima uluran kunci dari tangan Adi lantas meletakkannya di atas meja belajar..

"Balik kampung, Ran, ibuku sakit lagi dan gak ada  yang nemenin."

"Oalah, ya sudah kalau gitu. Hati-hati di jalan, Di, salam buat ibumu."

"Ya, makasih Ran, aku pergi dulu."

Randy mengangguk, niatnya ingin menutup pintu kamar kosnya kembali setelah Adi hilang dari pandangan. Namun, perut yang keroncongan membuatnya mengurungkan niat. Setelah cuci muka ala kadarnya ia turun  dari kamarnya yang berada di lantai atas guna mencari sarapan.

Baru saja Randy hendak melangkah ke halaman kosan, ia tiba-tiba berhenti karena merasakan kejanggalan dan bulu kuduk yang tiba-tiba berdiri tanpa diminta.

"Ah, dia lagi, dia lagi," ucapnya hanya dalam hati saat melihat sosok hantu anak kecil berwajah gosong tengah mengintip dari balik pagar yang sedikit terbuka dengan separuh badan.

Kebimbangan meliputi keputusan Randy untuk pergi ke luar atau tidak. Ia tidak terlalu takut sebenarnya, hanya saja merasa risih, bagaimana kalau hantu itu mengikutinya sampai ke warung? Itu akan membuatnya risih.

"Apa sih maumu sebenarnya hantu kecil?" keluhnya sembari berbisik lirih, hendak berbalik dan mengurungkan niat, entah kenapa selera makannya menguap begitu saja.

"Tolong aku!"

Degh

Randy terpaku, suara lirih namun terdengar jelas di telinga. Ia menajamkan pendengaran dan melihat sekaliling, tidak ada seorangpun yang ada di sana selain ia dan sosok hantu berwajah gosong itu.

Randy terdiam sesaat, hening menyelimutinya sembari menatap sosok itu yangjuga tengah menatapnya dengan lekat.

"Kau bicara padaku?" ucapnya dalam hati sembari menunjuk diri. Terkejut saat sosok itu mengangguk seolah mendengar apa yang ia katakan. Randy memiringkan kepalanya, merasa sedikit aneh dengan kejadian yang baru pertama kali ia alami dalam hidupnya. Apakah ini yang namanya telepati?

"Aku mohon tolong aku!"

Ia mengerjap sembari menatap hantu berwajah gosong itu. Semilir angin yang berhembus tenang membuat tengkuknya terasa dingin seketika. Berurusan dengan hantu memang merepotkan, tapi diikuti terus lebih merepotkan.

Lanjutkan Kisahku Donde viven las historias. Descúbrelo ahora