Bab 10 : Hilman (1)

298 50 0
                                    

Sore harinya bersama Miss Ria, Randy mengendarai motornya ke rumah kosong itu kembali. Senja di ufuk barat mulai tampak. Awalnya Miss Ria protes kenapa perginya harus menjelang magrib. Namun, Randy menjelaskan alasannya pada wanita itu.

Sebenarnya tak masalah bagi Ria mau pergi kapan saja. Namun, saat jam-jam seperti ini para arwah banyak yang menunjukkan entitasnya.

Jika tak sadar, Ria yang bisa melihat mereka mendadak menjadi buruan untuk berkomunimasi. Akibatnya tubuhnya melemah dan ia bisa saja kerasukan mendadak. Makanya saat maghrib ia tak pernah keluar dari rumah.

“Ini rumah dalam ceritamu?“

Randy mengangguk sembari celingukan. Ia menatap sebuah mobil di depan rumah tersebut. Seperti yang diceritakan Pak Dirman kemarin malam. Kemungkinan itu si pemilik yang bernama Pak Hilman.

“Ran, kau mau ke mana?“

“Masuk,” ucapnya enteng sementara Ria terlihat ragu. Karena sedari tadi ia melihat seorang wanita yang tengah merangkak dengan kepala terbalik di jendela lantai dua rumah itu. Sosok itu terus menatapnya tanpa henti sejak kedatangannya dengan Randy kemari. Bahkan tanpa perlu dijelaskan pun, Ria tahu siapa sosok itu.

“Miss mau ikut tidak?“

Ria menghembuskan nafas kasar. Menteralkan degup jantung dan kepalanya yang sekarang terasa pusing. Banyak suara-suara yang mampir di telinganya.

“Saya ikut,” ucapnya kemudian. Sudah susah payah ikut, rugi rasanya kalau ia tak ikut masuk. Bersama Randy, keduanya melangkah masuk.

Melewati mobil yang agak membuat Ria terperanjat. Karena ada sosok yang menampakkan wajahnya dari dalam mobil tersebut.

“Permisi!“ seru Randy pada pintu rumah yang terbuka itu. Berbeda dengan kemarin saat ia nyelonong masuk. Kali ini sepertinya ia harus izin lebih dahulu.

“Gak ada orang, Ran,” ucap Miss Ria celingukan. Kosong dan   banyak barang-barang tak terpakai di sana.

“Entahlah Miss, tapi mobilnya ada di depan rumah.“

“Permisi,” ucapnya lagi. Tak ada tanda-tanda orang atau bahkan jawaban. Randy berbalik, ia menatap sekeliling rumah, Pak Dirman yang ia lihat kemarin entah berada di mana. Kalau tidak, kan, ia bisa bertanya pada Pak tua itu.

“Ran!“ Miss Ria menyenggol tangan Randy saat seorang laki-laki brewokan muncul dari dalam rumah yang gelap.

Randy menoleh, lantas melihat laki-laki paruh baya yang usianya ia perkirakan lebih muda dari Pak Dirman, namun lebih tua darinya. Wajah itu tampak tak ramah dengan kedatangan keduanya.

“Permisi, Pak! Apa benar Bapak yang bernama Pak Hilman?“

Hilman diam, menatap kedua manusia berbeda gender itu dengan tatapan tajam. Lantas berdehem cukup keras mengagetkan Randy dan Ria.

“Mau apa kalian ke sini?“

“Kami hanya ingin bertanya sesuatu tentang pemilik rumah ini sebelumnya,” ucap Randy.

“Saya sibuk, maaf!“ Hilman melewati keduanya berjalan menuju pintu mobilnya.

“Ini tentang Alia, Pak,” tukas Randy membuat Hilman menghentikan gerakannya.

“Alia yang sebenarnya dibunuh, bukan bunuh diri. Apa Bapak tahu itu?“

Randy terperanjat dengan mata terbelalak. Dilihatnya Miss Ria mengatakan hal itu dengan enteng. Sementara ia tak enak sendiri, menatap laki-laki tua itu yang kini menatap Ria tajam.

“Apa maksud kamu sebenarnya?“

Ria melangkah maju, Randy menahan tangannya sembari menggelengkan kepala.

“Biar kita tahu kebenarannya, Randy. Kulihat Bapak itu tahu sesuatu.“

“T—tapi?“

“Katakan! Apa maksud kamu kalau Alia sebenarnya dibunuh?“

Hilman berjalan mendekat ke arah kedua orang anak muda di hadapannya dengan mata nanar. Sementara langit di cakrawala sana sudah berwarna jingga sepenuhnya.

.

.

.

“Jadi … apa yang ingin kau bicarakan, Man?“

“Aku, sebenarnya ….“ Hilman mengenggam erat cincin di balik saku celananya. Tangannya telah basah oleh keringat, gugup luar biasa.

“Oh, iya, mumpung kau ke rumahku ada yang ingin aku sampaikan, sebentar ya!“

Hilman mengangguk, lantas Alia beranjak dari duduknya masuk ke dalam rumah. Laki-laki itu mengusap peluh akibat rasa gugup yang mendera. Mengambil segelas jus jeruk yang terhidang di sisinya dan meneguknya hingga hampir separuh kandas.

Ia mengeluarkan cincin dari kantung celananya. Butuh waktu lama untuk mengumpulkan uang membeli cincin itu. Ia yakin, Alia akan suka.

Wanita itu tiba-tiba kembali ke arahnya. Buru, Hilman menyembunyikan cincin itu ke dalam saku celana.

“Aku mau memberikan ini, takut lupa.“ Alia menyerahkan sebuah undangan padanya.

Hilman terpaku menatap undangan berwarna biru pink itu. Tangannya bergetar mengambil dan membaca nama yang tertera di sana.

Alia dan Tio.

Sakit menusuk jantung, tajamnya pisau terasa menyayat-nyayat tubuhnya. Tak terperi rasanya melihat gadis yang ia  sukai dari lama sudah diambil orang lain.

“K—kau akan menikah?“

“Iya, datang ya jangan lupa!“

“Kenapa baru bilang sekarang?“ tanya Hilman. Lemas sudah tangannya tak mampu memegang cincin di kantung celana.

“Kan, sekarang  aku sudah bilang. Lagipula selama beberapa hari ini kau terus-terusan sibuk, Man. Setiap aku telpon kau jarang mengangkat.“

Hilman menunduk, ia punya alasan kuat untuk tak menghubungi Alia beberapa hari terakhir. Ia sibuk bekerja untuk membeli cincin guna melamar gadis itu.

“Oh iya, tadi kau ingin membicarakan sesuatu, tentang apa?“

Hilman menatap Alia dengan pandangan nanar. Matanya memerah menahan tangis yang kentara. Namun segera dialihkannya dengan mendongak ke atas. Menahan air mata itu agar tak tumpah.

“Tak jadi, aku lupa.“

“Yah, gimana sih? Udah nungguin.“

“Maaf, ya, nanti kalau ingat aku telpon kamu. Aku pulang dulu!“

“Loh, kok, cepat banget?“

“Ada urusan.“

“Ini undangannya gak sekalian dibawa?“

Hilman menerima uluran undangan dari tangan Alia.

“Datang, ya! Awas kalau gak datang loh.“

Hilman mengangguk, menaiki motor astrea yang terparkir di halaman rumah Alia. Ia melajukan motornya keluar dari gerbang rumah besar itu. Sesaat bersinggungan dengan sebuah mobil yang masuk ke dalam.

Seorang laki-laki tampan yang mengendarai. Turun dari sana dan merangkul Alia mesra.

Pantas! Bagai pungguk merindukan bulan. Seharusnya Hilman malu kalau sampai melamar anak gadis orang yang statusnya lebih tinggi dari keluarganya.

***

Dua tahun berlalu sejak saat itu. Hilman memutuskan untuk pergi merantau dan tak datang di pesta pernikahan Alia. Meski beberapa kali gadis itu menelponnya. Sama sekali tak ia angkat.

Hilman sibuk bekerja, demi penghidupan yang lebih layak agar kejadian di masa lalu tak terulang. Namun, seiring berjalannya waktu dan ekonomi yang semakin membaik Hilman tak pernah bisa lupa dengan Alia.

Gadis yang sudah menjadi istri orang itu tetap tertawan dalam hatinya untuk waktu yang cukup lama. Ia tak bisa berpaling ke lain hati.

Lalu, kabar mengejutkan itu terjadi. Saat Hilman pulang kampung untuk pertama kali. Ia malah mendapat berita duka.

Rumah Alia dibanjiri banyak orang. Berita simpang siur berseliweran. Orang-orang dari segala penjuru mulai membicarakannya.

Alia telah bunuh diri.

Lanjutkan Kisahku Where stories live. Discover now