Bab 17 : Hadirnya Alia

273 40 0
                                    

Randy membuka sesi live di facebook. Beberapa orang bergabung untuk menonton. Ia memejamkan mata sebelum memulai kata.

“Hai teman-teman, di sini saya ingin mengucapkan permintaan maaf atas cerita saya yang sempat viral di sosial media berjudul penunggu rumah kosong. Saya ingin mengatakan bahwa kisah yang saya tulis adalah kebohongan untuk keviralan semata. Kisah Alia yang saya tulis adalah murni hasil karangan saya sendiri. Sekali lagi saya minta maaf.“

Live Randy dibanjiri banyak komentar marah dan juga pertanyaan yang tak bisa ia balas satu persatu. Ia menutup sesi live itu dan menatap Tio yang kini mendekat ke arahnya.

“Bagus sekali, kau begitu penurut.“

“Sekarang lepaskan dia!“

“Baiklah! Santai!“ Tio menoleh ke belakang, menatap Citra. “Sayang, ikat wanita itu dengan kencang.“

“Hei! Apa maksudmu kau tidak menepati janj….“

Bugh

Balok kayu berbara api yang sedari tadi dipegang Tio, ia hantamkan pada kepala Randy hingga lelaki itu terkapar jatuh dan pingsan seketika.

“Hahaha….“ Tawa Tio membahana seiring dengan Citra yang juga menghantam kepala Ria. Keduanya tertawa terbahak-bahak di dalam pabrik kosong yang sunyi.

“Kita akan membuat sejarah Citra. Orang-orang akan terkejut saat tahu author Randy.P yang sedang viral saat ini telah ditemukan meninggal karena bunuh diri. Menyusul sosok arwah dalam tokoh ceritanya hahaha….“ Tio tertawa-tawa sembari menyeret tubuh Randy.

“Setelah itu orang-orang akan ketakutan membaca cerita itu karena takut bernasib sama dengan si author hahaha….“ Citra juga tertawa-tawa. Mengikat Randy pada kaki-kaki kursi yang di duduki Ria yang juga belum sadarkan diri itu.

Tuk… tuk… tuk….

Seketika Citra dan Tio saling menatap, suara tawa mereka berhenti seketika. Hening menyergap suasana pabrik kosong. Hanya suara gemeretuk bara api yang saling beradu.

“Suara apa itu?“ tanya Citra penasaran.

“Entahlah, mungkin suara kelelawar atau binatang  malam lainnya. Sudahlah cepat ikat sebelum mereka sadar kembali.“

Citra menautkan kedua alis, mengikat tangan Randy dengan erat sementara Tio mengambil tali tambang dari dalam tas yang sudah ia siapkan sedemikian rupa.

Tuk… tuk… tuk….

Suara itu terdengar lagi. Citra dan Tio saling menatap kembali. Kini keduanya menghentikan kegiatan mereka. Angis berhembus kencang di pabrik itu dan menghembuskan api unggun yang mereka bakar di tengah ruangan, membuatnya padam seketika.

Ruangan itu menjadi gelap gulita. Hanya cahaya rembulan yang menyusup dari sela-sela bangunan pabrik yang bolong yang menerangi ruangan itu.

“Mas,” ucap Citra seraya berjalan mendekati Tio. Tangannya meraba-raba sembari berjalan hingga tak sadar tetsendung dan terkena kayu yang telah terbakar.

“Akhhh… panas!“ keluh Citra mengaduh, mencampakkan kayu itu entah ke mana.

“Jangan bergerak, sayang! Tetaplah ditempatmu!“ Tio mengacak tasnya dalam gelapnya cahaya. Mencari senter dari tumpukan beberapa barang dari dalam tas yang ia bawa.

Hingga menemukan benda tersebut. Sialnya tidak mau menyala. Tio menepuk-nepuk senter tersebut. Tak lama kemudian sinar itu mulai muncul dan menerangi ruangan di pabrik kosong itu.

Ia menyorot wajah Citra yang tengah jatuh terduduk di bawah. Menggeleng, Tio menghampirinya dan membantunya berdiri.

“Kalau gelap begini, usahakanlah jangan bergerak ke mana-mana. Ada bara api yang baru saja padam. Kau bisa terluka.“

“Iya-iya maaf,” ucap Citra menepuk-nepuk kedua tangannya yang kotor.

Tio kembali menyorot senter di tangan pada dua muda mudi yang belum sadar dari pingsannya itu. Dengungan nyamuk dan udara dingin membuatnya seketika bergidik.

“Nyalakan lagi apinya!“

“Tapi anginnya deras, Mas. Kalau mati lagi gimana?“

Tio menatap ke luar pabrik dari celah atap yang berlubang. Angin kencang menerbangkan daun di pepohonan. Daun-daun itu meliuk-liuk dan berputar. Hingga Tio merasa ada yang salah dengan matanya.

Ada sesuatu yang tengah merayap di antara pepohonan itu. Diarahkannya senter itu ke sana.

“Kenapa, Mas?“

“Entahlah, aku seperti melihat sesuatu.“

Senter itu menyorot pohon kelapa yang meliuk karena tertiup angin. Hal yang dilihatnya tadi sudah tidak ada. Mungkin matanya agak bermasalah karena jarak pandang dan suasana gelap.

“Ya sudah gak usah dinyalakan. Lebih baik kita atur anak-anak ini agar tak semakin menyusahkan ke depannya.

Citra mengangguk, mengambil tali kembali dengan bantuan senter Tio. Ia menyerahkannya pada lelaki itu.

Tio memanjat menggunakan kursi untuk mengikatkan dua tali di tengah tiang. Sekali lagi untuk kedua kalinya ia akan melakukan hal yang sama.

Tuk… tuk… tuk….

“Suara itu lagi Mas,” ucap Citra yang tengah menyorot kegiatan Tio.

“Tak usah dipedulikan!“

Citra mengangguk, namun tengkuknya terasa dingin dan meremang. Ia mengusapnya perlahan.

Tep….

Citra tersentak saat senter di tangannya mati seketika. Ia berusaha menghidupnya, namun tak juga menyala.

“Kenapa senternya kamu matikan, Cit? Aku belum selesai mengikat tali ini.“

“Bukan aku, Mas. Senternya mati secara tiba-tiba.“

“Ah, kau ini. Mana ada senter mati secara tiba-tiba kalau bukan kau yang mematikannya.“ Tio turun dari kursinya berjalan menghampiri Citra yang sedang menepuk-nepuk benda penghasil cahaya di tangannya.

“Beneran, Mas, ngapain juga aku bohong.“ Citra masih menepuk senter itu dengan tangannya.

Deg

Matanya terbelalak saat merasa pergelangan kakinya dicengkeram oleh sebuah tangan. Perlahan ia menunduk untuk melihat.

Sosok kepala dengan rambut gimbal muncul di bawah kaki Citra. Mulutnya terbuka hendak berteriak, namun satu tarikan cepat membuat tubuhnya tersungkur dan jatuh ke lantai. Senter di tangannya terlepas begitu saja.

“Mas Tioo!“ teriaknya dengan tubuh terseret. Kukunya menancap pada lantai pabrik yang berupa tanah. Berusaha menahan tubuhnya agar tak terseret terlalu jauh. Namun tenaganya tak sebesar sosok yang tengah menyeretnya.

Tubuh Citra terseret jauh masuk ke dalam lubang kecil di dinding. Dua kakinya yang tak muat ditarik dengan paksa hingga lecet dan berdarah.

Erangan kesakitan Citra dan teriakannya membuat Tio berlari panik. Di sambarnya senter yang jatuh itu dan mengarahkannya pada Citra.

Tio mendekat, menyenteri. Namun, sontak terkejut saat melihat sosok yang menarik kaki Citra. Tubuhnya melemas dengan pegangan terlepas. Lagi, senter itu terjatuh dari tangannya.

Tuk… tuk… tuk….

Sosok itu merangkak mendekat. Jantung Tio berdegup   kencang dengan kaki tak mampu digerakkan. Keringat di dahinya mulai mengalir sementara tubuhnya gemetar hebat saat sosok itu mendekat ke arahnya.

“A—ampuni aku Alia!“

Tio jatuh terduduk saat sosok Alia yang tengah merangkak itu menarik kakinya. Sosok itu mengukung tubuhnya dengan mengarahkan kuku runcingnya pada mulut Tio.

Kraaak….

Suara robekan itu terdengar nyaring seriring dengan teriakan Tio yang menggema di seluruh ruangan pabrik. Darah mengucur dengan deras membasahi lehernya.

Bisikan lirih mulai terdengar di telinga Tio.

“Ini pembalasanku ….”

Lanjutkan Kisahku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang