Bab 2 : Teror

541 72 2
                                    

Randy terbangun di lantai dalam keadaan tertelungkup. Saat membuka mata, ternyata sejak semalam ia tidak tertidur di ranjang.

Ia bangkit berdiri, berusaha menggerak-gerakkan persendiannya yang kaku. Namun punggung Randy terasa pegal luar biasa.

Berjalan tertatih menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar kos. Sembari meregangkan kedua bahu.  Nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. Barulah saat menggosok gigi ia teringat akan kejadian yang menimpanya semalam.

Terpaku menatap cermin, bulu kuduknya meremang. Kamar mandi yang gelap karena lampunya lupa ia ganti.

Ah, betapa sialnya menjadi orang pelupa.

Kamr mandi itu hanya mengandalkan ventilasi cahaya yang di dapat dari celah kecil kaca jendela.

Untungnya sudah jam delapan pagi dan matahari mulai terbit. Sehingga pencahayaan di kamar mandi yang ia tempati sedikit remang-remang.

Entah kenapa perasaannya mulai tak enak. Jantung Randy berdegup kencang. Kegiatannya menggosok gigi terhenti sejenak. Saat merasakan cipratan air. Yang berasal dari atas. Padahal … ia sama sekali belum membasuh tubuhnya dengan air.

Randy mendongak. Wajahnya kecipratan air lagi, kali ini yakin kalau asalnya dari kamar mandi sebelah.

Kamar mandi di kosan ini sambung-menyambung. Masing-masing punya kamar mandi di dalam kamar. Hanya di sekat oleh tembok yang tak sepenuhnya menyatu dengan plafon.

Bahkan bak air juga saling berbagi. Andai Randy taruh gayungnya sebentar saja di dalam bak air. Sudah pasti gayung itu akan berenang-renang menuju bak kamar mandi sebelah.

Lagi … ia merasakan cipratan air yang cukup banyak menerpa wajahnya.

“Jangan main-main, Di!“ ucapnya kesal sembari teriak. Adi, yang ia ketahui, memang menempati kamar kos di sebelah. Karena kamar kos Randy terletak paling ujung.

Tetangga sebelah kamarnya adalah Adi. Sementara sebelah lainnya adalah tembok yang sudah mengarah ke rumah orang lain

Hening, cipratan air itu juga tak lagi menerpa wajah. Randy menunggu beberapa saat. Takutnya Adi berbuat lebih jahil. Namun, yang ia tunggu tak datang. Alhasil Randy mulai menggosok gigi kembali.

Baru saja … ia berkumur-kumur. Air dari kamar mandi sebelah kembali menerpa wajahnya. Randy berdecak kesal. Mendekati tembok yang terbuat dari triplek itu dan mengetoknya keras.

"Kamu jangan main-main, Di! Gak lucu!“ ucapnya kesal. “Nanti aku balas tahu rasa kamu!“ ancam Randy kemudian.

Setahunya, Adi cowok pendiam yang tak banyak bicara. Tak pernah berbuat jahil juga. Jadi, agak aneh saat Randy merasa Adi yang menjahilinya.

Tok… tok… tok…

Bukannya berhenti Adi malah membalas ketukannya. Benar-benar anak itu.

“Di!“ teriakknya kembali dengan amarah.

“Hihihi….“

Degh!

Randy terdiam seketika.

Bulu kuduknya meremang. Suara tawa lirih itu terdengar sangat jelas di telingak. Entah kenapa, tiba-tiba ia teringat kejadian tadi malam yang 'agak' mengerikan.

Seperti sebuah deja vu.

Perlahan Randy mulai melangkah mundur dan keluar dari kamar mandi. Cipratan air itu masih belum berhenti. Jantungng berdegup semakin kencang dengan bunyi bertalu yang memekakkan telinga.

Perasaannya mulai tak enak.

Randy keluar dari kamar kos dan memperhatikan setiap pintu kos yang berjejer rapi bersebelahan dengan kamarnya.

Pagi ini para penghuni kos sudah banyak yang berlalu lalang. Karena sebagian dari mereka adalah mahasiswa seperti Randy. Sebagiannya juga seorang pekerja.

Terpaku menatap kamar kos Adi yang pintunya tertutup dengan rapat. Lampunya juga mati. Randy berjalan mendekat dan menggerakkan engsel pintunya.

Dikunci!

“Di!“ panggilnya nyaring. Tak ada sahutan dari dalam meski berkali-kali ia memanggil. Tepat panggilan kesekian, Bang Rahmat—penghuni kamar kos yang bersebelahan dengan kamar Adi. Muncul dari balik pintu. Lelaki yang bekerja di pabrik karet itu menyapanya dengan ramah.

“Adi pulang kampung, Ran.“

“Pulang kampung?“ Ia mengulang pernyataan Bang Rahmat. Pegangannya mendadak0 terlepas pada engsel pintu kamar kos Adi.

“Iya, kemarin. Tiba-tiba aja. Katanya, Ibunya sakit di kampung. Jadi dia buru-buru pulang. Memangnya gak bilang sama kamu?“

Randy menggeleng lemah. Setelahnya Bang Rahmat pergi meninggalkannya yang berdiri dengan lemas. Kakinya selayaknya jelly. Ia tak mampu bergerak dari tempat. Tanganya menggapai dinding untuk menopang tubuh.

Randy melirik kamas kosnya yang terbuka sedikit. Ingatan suara tawa lirih dan cipratan air yang menerpa wajahnya tadu mulai terbayang kembali.

Kalau bukan Adi … lalu siapa?

***

Pagi ini Randy datang ke kampus dengan lesu dan tatapan sayu. Setelah kejadian yang membuat dirinya takut untuk masuk ke dalam kamar kosnya sendirian. Ia memutuskan untuk tidak mandi.

Benar-benar pengalaman baru. Namun, itu lebih baik, ketimbang ia pingsan karena ketakutan.

Sembari berjalan menuju kelas. Randy meregangkan kedua otot lengannya yang terasa pegal. Berulang kali laki-laki berusia dua puluh tiga tahun itu memijat kedua bahu. Rasanya seperti sedang menopang benda yang begitu berat.

Kelas sudah ramai saat ia masuk. Hampir semua bangku sudah penuh. Kecuali beberapa bangku di bagian depan. Hal yang dihindari para mahasiswa.

Dan apesnya, Randy kebagian bangku depan kali ini. Padahal rasa tubuh seperti tak semangat untuk menerima materi. Apalagi mata kuliah pertama dibawakan Miss Ria.

Ia … benci bahasa inggris.

Randy melangkah menuju bangku paling pojok di depan. Tepat setelahnya. Wanita dengan rambut sepinggang, yang dijuluki sebagai Dosen termuda di Universitas Atmadja itu masuk ke dalam kelas.

Miss Ria mengenakan kemeja dan rok kembang sebetis. Di usianya yang masih sangat muda, wanita itu mampu menjadi dosen di fakultas ini. Umurnya, mungkin hanya berbeda dua atau tiga tahun dengan Randy.

Mengingat Randy menganggur selama tiga tahun sebelum masuk kuliah.

Di kursinya, Miss Ria memindai para mahasiswa dan menatap para mahasiswa itu satu persatu. Hal yang selalu ia lakukan sebelum memulai materi.

Awalnya tampak seperti biasa. Seperti hari-hari sebelumnya saat Miss Ria mengajar. Namun, entah kenapa tatapannya kini berhenti di tempat Randy duduk.

Miss Ria menatap Randy dengan intens tanpa berkedip juga tanpa ekspresi sama sekali. Hal yang jarang terjadi. Membuat lelaki itu sedikit salah tingkah.

Hingga Randy menoleh kanan dan kiri. Teman-teman yang lain juga mungkin penasaran dengan tingkah Miss Ria. Sehingga mereka menatap laki-laki itu dengan wajah penasaran.

Randy juga tak tahu ada apa dengan dosen bahasa inggris tersebut. Mengapa tiba-tiba memperhatikannya?

Apa jangan-jangan….

Karena ia belum mandi?

Lanjutkan Kisahku Onde as histórias ganham vida. Descobre agora