Bab 16 : Ancaman

270 45 5
                                    

Pusing yang mendera kepala membuat Ria mengerjapkan mata. Ia berkedip-kedip untuk membiasakan diri dengan cahaya di sekelilingnya. Samar-samar wajah seseorang tampak di hadapannya.

“Oh, dia sudah sadar, Mas.“

Mata Ria memicing, kemudian melebar seiring dengan gelengan. Semuanya tampak jelas sekarang. Seorang wanita paruh baya berdiri di hadapannya sementara seorang lelaki dengan umur sama seperti wanita itu berjalan menuju ke arahnya.

Ia tak tahu sedang berada di mana. Suasana gelap dan hanya ada api unggun di dalam tong besi yang berada tak jauh di hadapannya.

Ria menggerakkan kepala dan tubuh yang terasa kaku, dan menyadari tubuhnya telah terikat, menyatu dengan kurai yang didudukinya.

Di mana dia? Kenapa ada di sini?

Memori Ria berputar mengingat kilasan kejadian beberapa menit sebelumnya. Setelahnya ia menyadari sesuatu saat ingatan itu mulai muncul membentuk kepingan puzzle dan menyatu satu persatu. Bayangan seseorang dengan pakaian hitam yang menyekap mulutnya tadi sangat jelas berada dalam benaknya.

Ia telah diculik.

“Sudah bangun kau rupanya?“

Alis Ria bertaut demi menatap wajah yang tampak familiar di hadapannya. Wajah dua orang yang ada di hadapannya saat ini seperti pernah ia lihat, tapi di mana?

Ah!

“Kau Tio dan kau Citra?“ ucapnya kemudian. Walau guratan usia yang tengah menua yang terlihat di wajah mereka sedikit membuatnya lupa. Namun, wajah itu ia tetap ingat.

Suami dan selingkuhan yang telah membunuh Alia dengan kejam dan tak berperikemanusiaan.

Kedua orang itu tampak kaget saat Ria tahu namanya. Namun dengan cepat menguasai diri. Citra mencengkeram pipi Ria hingga wanita muda itu meronta.

“Kau tak akan mengalami hal ini kalau tak ikut campur dasar gadis bodoh.“

“Kalian biadab, apa mau kalian sebenarnya?“ teriak Ria.

“Kami? Kami hanya ingin mahasiswamu yang sok pandai itu menghapus cerita yang ia buat. Gara-gara dia beberapa hari ini belakangan banyak yang mencurigaiku atas kejadian sepuluh tahun lalu yang menimpa Alia,” ucap Tio sembari mengelus kumisnya.

“Itu karena keserakahanmu dan kegilaanmu dengan selingkuhanmu itu,” jelas Alia menatap Tio dengan amarah.

“Diam kau wanita jalang!“ teriak Citra tak terima.

Ria berdecih. “Lebih jalang mana, aku atau wanita yang merebut laki-laki yang sudah menikah.“

Bugh

Bogeman mentah itu mengenai pipi Ria hingga sudut bibirnya terkoyak dan mengeluarkan darah. Rasa perih, kebas dan bau amis bercampur menjadi satu di mulutnya.

Rasa pusing akibat pukulan itu kini mendera, pandangannya mulai samar-samar.

“Berhentilah bicara gadis gila, kau berisik sekali.“ Tio mengusap-usap lengan yang ia gunakan untuk memukul Ria tadi, kemudian menatap arloji di tangannya. “Mahasiswamu itu lama sekali, kalau dia tak menepati janji bersiaplah kau akan mati menyusul Alia.“

Ria bahkan tak mampu lagi menangkap apa yang sedang dibicarakan oleh Tio. Telinganya berdenging akibat pukulan krras itu. Sementara Citra duduk di sampingnya seraya merapikan kuku-kukunya.

Ria tak lagi bisa melihat dengan benar, karena sesaat kemudian pandangannya menghitam dan ia tak sadarkan diri.

***

Sebuah pabrik kosong di dekat perkebunan tebu. Randy mematikan mesin motornya di depan gerbang yang sudah berkarat dan hampir runtuh tersebut.

Ia menatap layar ponselnya. Lokasi yang dikirimkan orang yang telah menculik Miss Ria memang benar berada di sini. Ia memasukkan ponsel itu ke dalam saku jaketnya kemudian melangkah masuk. Mendorong pagar berkarat itu dan berjalan menuju pabrik.

Lorong demi lorong ia masuki, namun tak ia temukan di mana keberadaan Miss Ria. Hingga ia sampai di ujung pabrik yang agak gelap dan tertutup.

Pendar cahaya kekuningan tampak jelas dari celah pintu tersebut. Sesekali terdengar suara dua orang saling bicara.

Randy memantapkan langkah menuju ruangan itu. Beberapa kelelawar terbang di atas kepalanya. Ia menghalau binatang itu dengan tangan. Bangunan pabrik yang sudah tua dan lama kosong ini sudah tak layak untuk ditempati.

Perlahan tangan Randy terulur membuka pintu dari besi tersebut. Bunyinya yang menyeret di lantai berpasir menimbulkan rasa ngilu.

Mata Randy terbelalak saat melihat Miss Ria tergolek tak berdaya di kursinya dengan pipi lebam.

Ia menatap kedua orang yang berdiri di samping Miss Ria. Satu orang perempuan dan satu orang laki-laki yang Randy perkirakan umurnya sudah lebih tua dari dirinya itu.

Tangannya terkepal erat apalagi saat kedua orang itu masing-masing memegang balok kayu berbara api. Matanya menatap nyalang tersirat dendam.

“Apa yang kau lakukan pada Miss Ria?“

“Bagus anak muda! Kau datang tepat waktu sekali. Aku baru saja berpikir akan membunuh wanita ini.“

Randy menggeram saat Tio menunjuk wajah Ria dengan balok kayu berbara api di tangannya. Ia berusaha menahan amarah agar tak terlalu kentara.

“Lepaskan dia!“

“Tak semudah itu, kau harus melakukan apa yang kuminta.“

“Aku akan melakukannya. Tapi lepaskan dia lebih dahulu.“

“Hahaha … kau pikir aku akan percaya? Kau lakukan lebih dahulu baru aku akan melepaskan wanita ini.“

Randy menggeram dengan gigi bergemeletuk. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu menghapus semua postingan yang ia upload di facebook tepat di depan Tio.

“Puas kau sekarang Pak tua? Sekarang lepaskan wanita itu.“

“Cih….“ Tio berdecih. “Kau pikir itu saja cukup?“ Ia berbalik menatap Citra. Seolah tahu apa yang diperintahkan laki-laki itu. Citra mengambil kayu yang sudah terbakar separuh hingga bara api itu berjatuhan ke bawah. Membawanya dan mengarahkannya pada Ria.

Wanita itu perlahan sadar dari pingsannya. Mulai mengerjap saat merasa hawa panas terasa dekat dengan pipinya.

Mata Ria terbelalak melihat bara api yang bergemeletukan di depannya. Mengalihkan pandangan ia menatap Randy berada di hadapan Tio. Matanya berbinar, mengharap pertolongan.

“Randy!“ panggilnya membuat Citra menatap ke arahnya dengan tajam. Menyodorkan bara api itu semakin dekat. Hawa panas membuat wajahnya berkeringat mendadak.

“Jangan! Kumohon jangan apa-apakan dia. Akan kulakukan apa yang kau mau, tapi tolong jangan sakiti dia.“

“Wah-wah! Pahlawan kesiangan rupanya. Tak kusangka anak muda sepertimu mau melakukan apa saia demi orang yang tak dekat denganmu. Bukankah dia dosenmu? Atau jangan-jangan kau menganggapnya lebih dari itu?“

“Tutup mulutmu!“ Randy berteriak, urat-urat di sekitar matanya mulai tampak. Ia  memejamkan mata sejenak. Rasa panik dan khawatir yang menjalar di sekujur tubuhnya saat melihat Miss Ria diperlakukan seenaknya itu membuat emosinya bangkit.

Ia mengatur nafasnya yang naik turun tak karuan. Memilih keputusan tepat saat menghadapi pilihan sulit, mengingat perjuangannya menulis cerita tentang kisah Alia juga tak mudah. Namun, demi keselamatan Miss Ria yang lebih berharga dari sebuah cerita, ia akan melakukannya.

Satu hal yang saat ini ia pikirkan adalah … yang penting Miss Ria selamat. Itu saja.

“Kalau begitu, katakan saja apa yang kau ingin untuk ku lakukan?“

“Aku ingin kau buat pernyataan dan video permintaan maaf.“

“K—kau….“

“Jangan banyak pertimbangan atau Miss Ria mu tidak akan selamat.“

Randy berdecak. “Baik, aku akan melakukannya.“

Lanjutkan Kisahku Onde as histórias ganham vida. Descobre agora