Bab 14 : Pesan Tak Dikenal

287 45 0
                                    

Siang itu di Cafe Bermuda. Hilman, Ria dan Randy tengah duduk di meja yang sama. Di hadapan keduanya terdapat beberapa makanan yang sudah tak lagi bersisa.

“Jadi, ini tiga penerbit yang tadi saya katakan pada Ria.“ Hilman menyerahkan tiga selebaran kepada Randy dan meminta laki-laki itu untuk membacanya.

“Karena cerita yang kamu buat terlanjur trending dan ramai dibicarakan di sosial media, ketiganya berebut untuk mendapatkan cerita Alia. Silahkan, pilihan ada di tanganmu mau pakai yang mana.“

“Ehm….“ Randy menerima tiga selebaran itu, lantas melirik Miss Ria yang duduk di sampingnya. “Menurut Miss, yang mana?“

“Loh, kok, nanya saya?“

“Gak apa, saya bingung soalnya.“

Ria menatap Randy sejenak, lantas menerima uluran selebaran itu dari tangan Randy. Membaca satu persatu kelebihan penerbit itu.

“Yang ini aja, PC publisher. Sama sekali gak memberatkan buat kamu yang baru belajar menulis novel.“

“Kalau begitu saya pilih yang ini, Pak.“

Hilman mengambil selebaran yang sudah dipilih Randy. Memasukkannya ke dalam tas yang ia bawa.

“Kalau begitu saya akan menemui penerbit ini lebih dahulu. Oh, iya, apakah hari ini kamu akan upload bab tiga?“

“Kemungkinan iya, Pak. Bagaimana Miss?“

“Tergantung kamunya, Ran. Saya ikut saja.“

“Baiklah, kalau begitu saya tinggal dulu. Masih ada beberapa hal yang harus saya kerjakan.“

Keduanya mengangguk saat Hilman pergi dari hadapan mereka. Randy mengeluarkan laptop dari dalam tasnya.

“Miss bagaimana kalau saya kerjakan bab tiga di sini saja? Mumpung rame dan ini siang hari. Setidaknya kita tak perlu ketakutan seperti malam itu.“

“Ya, ide bagus saya akan temani mumpung tidak ada kerjaan. Tapi, saya mau ke toilet dulu sebentar. Tolong titip ponsel saya, Ran.“

Randy menerima ponsel Miss Ria dan meletakkannya pada tas terbuka yang ia sampirkan pada kursi yang Randy duduki.

Ia lanjut mengetik di laptopnya tanpa menyadari ada dua orang yang sedari tadi memperhatikannya dengan mata awas.

***

“Tak ada kendala apapun saat menulis. Besok-besok temani saya lagi, ya, Miss.“

Randy menutup laptopnya setelah memposting cerita di media sosialnya. Ia memasukkan benda itu ke dalam tasnya dan bersiap untuk pulang.

“Iya, kapan kamu butuh bantuan saya tinggal chat saja.“ Miss Ria juga tengah bersiap dengan tas selempangnya.

“Oh, iya, setelah ini Miss mau ke mana?“

“Pulanglah, ke mana lagi?“

Randy diam sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal. Mulutnya hendak terbuka namun menutup kembali.

“Kenapa, Ran? Kamu ingin bawa saya jalan-jalan?“

“Miss mau?“

“Ehm… sebenarnya saya ada janji dengan pacar saya,” Miss Ria mengigit bibirnya menatap Randy sembari menahan senyum.

“Miss punya pacar?“ tanya Randy, mimik wajahnya tak bisa ia sembunyikan kalau ia sedang kecewa.

Miss Ria mengangguk.

“Yah, ya sudah kalau begitu.“

“Hahaha….“ Miss Ria menepuk tangannya sembari tergelak. “Wajahmu lucu sekali Randy. Apa kau percaya aku punya pacar? Hei! Kalau memang iya, seharusnya beberapa hari ini pacarku marah karena aku lebih sering menghabiskan waktu denganmu.“

“Jadi…?“ Randy menatap Misa Ria dengan mata berbinar.

“Saya belum punya pacar Randy.“

“Serius? Se cantik Miss Ria?“

“Sekarang kau memujiku?“ Miss Ria menyibak rambutnya.

“Jangan geer, saya cuma bertanya.“

“Ya sudah kalau begitu. Kamu mau ajak saya ke mana?“

“Pasar malam, apa Miss mau? Ada pasar malam di taman kota.“

“Boleh, kebetulan dari dulu saya ingin naik bianglala.“

Randy tersenyum seraya mengacak rambutnya.

Ting

Denting notifikasi di ponsel Randy berbunyi. Ia menatap sekilas pada Miss Ria yang sudah berjalan jauh di depan sana.

Ia menarik layar pada bar ponsel. Muncul pesan dari sana.

[Hapus cerita itu atau orang-orang terdekatmu akan celaka]

Alis Randy bertaut, pesan dari nomor tak dikenal. Entahlah, ia tak ambil pusing. Mengendikkan bahu, memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas.

Lantas mengayunkan langkah mengikuti Miss Ria yang sudab terlebih dahulu berjalan.

***

“Hati-hati Ran!“ ucap Ria seraya melambaikan tangannya pada Randy yang melaju dengan motornya meninggalkan rusun tempat tinggal Ria.

Ia menghela nafas, berbalik hendak masuk. Namun sesuatu menarik perhatiannya. Tepat di balik pagar rusun ia melihat seseorang tengah berdiri di sana sembari memperhatikannya.

Mata Ria memicing, ia berjalan mendekat. Seketika sosok hitam-hitam yang ia lihat tadi berlari menjauh entah ke mana. Ria terdiam sesaat, sembari berpikir. Yang tadi dilihatnya manusia atau hantu?

Mengingat ia sama sekali tak bisa membedakan keduanya.

Tak ambil pusing, Ria melangkah menuju bangunan tempat tinggalnya berada. Sembari sesekali menoleh ke belakang. Kali saja sosok hitam itu muncul lagi.

Baru sampai di lift, ponselnya berbunyi. Notifikasi pesan masuk dari nomor tak dikenal.

[Miss, ini Randy pakai nomor orang lain. Miss bisa jemput saya? Saya kecelakaan di jalan]

“Astaga!“ Ria menutup mulutnya tak percaya. Lift yang sudah terbuka ia tinggalkan begitu saja. Berjalan cepat sembari mengetik di ponsel miliknya.

[Kau di mana? Aku akan segera ke sana]

[Dekat rusun Miss, di sebrang jalan]

[Tunggu saya]

Ria mencoba menelpon Randy, namun tidak diangkat oleh laki-laki itu. Rasa cemas mulai merasuk dalam dirinya. Ia keluar dari pagar sembari celingukan.

Posko satpam tampak sepi entah ke mana perginya mereka yang sedang berjaga. Ria menatap layar ponselnya kembali.

Ia mendongak, memicingkan mata seraya menatap barisan pohon ketapang yang tumbuh di sebrang rusun. Ada bayangan orang memakai pakaian hitam-hitam sedang melambaikan tangan di sana.

Ria berjalan menyebrang jalan yang sunyi karena malam ini hampir larut memang. Dan rusun yang ia tempati jalannya juga jarang dilalui orang-orang.

Randy berdiri di kegelapan dengan memakai pakaian serba hitam. Laki-laki tak bergerak sama sekali meski Ria menghampirinya. Membuatnya sedikit curiga apalagi saat melihat gerak-gerik laki-laki itu yang tak biasa. Satu tangannya tersembunyi di belakang tubuh.

“Randy!“ panggil Ria sembari berteriak. Tak ada jawaban dari lelaki itu. Juga, setelah diperhatikan dari dekat postur tubuh seseorang yang sedang berdiri di depannya cukup berbeda dengan Randy.

Degup jantung Ria berdetak tak karuan. Ia melangkah mundur secara pelan sebelum berbalik untuk berlari. Namun orang dengan pakaian hitam itu menarik tangannya dan membekap mulutnya dengan erat.

Ria meronta, tangan dan kakinya berusaha ia gerakkan untuk melawan orang tersebut. Namun apa daya tubuhnya tak cukup kuat untuk melawan orang tersebut hingga perlahan kesadarannya mulai hilang dan pandangannya menggelap seketika.

Lanjutkan Kisahku Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin