Ridan lantas menoleh ke nakas. Dua buah pigura mencuri perhatiannya. Satu pigura berisi foto Moza dalam versi lebih muda tengah tersenyum, berdiri diapit oleh dua orang yang Ridan perkirakan adalah orang tuanya. Lalu, satu bingkai yang lain memajang foto Moza bersama seorang wanita tua.

Ridan memang masih terbilang baru dalam mengenal Moza, tapi ia bisa merasakan perbedaan antara sosok Moza dalam foto dengan sosok Moza yang dikenalnya sekarang. Meski sesekali ia melihat Moza tersenyum ketika sedang bersama teman-temannya, tapi senyuman gadis itu tak pernah terlihat selepas atau sebahagia senyum yang ada di dalam dua foto itu.

Tanpa sadar Ridan menghela napas, mencoba meloloskan perasaan sesak yang kembali merayap dalam dada, sudah bisa menebak alasan di balik perubahan sikap gadis itu.

Matanya lantas beralih, menatap segelas air putih dan satu strip obat yang terletak di sebelahnya. Diambilnya strip yang dua ruang tabletnya sudah kosong. Alisnya berkerut saat menyadari jika itu adalah obat penurun demam. Ia menoleh ke arah Moza, tangannya bergerak hendak menyentuh kening gadis itu, tapi sontak terhenti karena teringat Moza punya ketakutan pada sentuhan.

“Gue nggak niat jahat, Za. Gue cuma mau cek kondisi lo aja,” ucap Ridan sebelum tangannya benar-benar menyentuh kening Moza.

Embusan napas lolos dari hidung dan bibirnya saat merasakan suhu tubuh Moza dalam keadaan normal. Setelah memastikan rasa khawatirnya terjawab, Ridan lantas berdiri. Ia tak mau berlama-lama karena takut dituduh macam-macam.

Saat sudah berada di luar kamar--usai menutup pintu kamar Moza--ia tak sengaja menoleh ke arah dapur. Kakinya melangkah ke tempat itu, melihat meja makan yang berantakan karena bekas peralatan makan yang belum sempat dibereskan.

Sebenarnya, selama seharian kemarin Ridan mencoba menahan diri untuk tak mendatangi gadis itu. Ia takut Moza merasa terbebani dengan kehadirannya. Namun, jika melihat keadaannya sekarang, Ridan jadi merasa bersalah. Jawaban 'gue baik-baik aja' yang Moza berikan jelas hanya omong kosong belaka. Seharusnya ia tetap datang untuk memastikan bahwa kondisi Moza memang benar baik-baik saja.

Ridan menghampiri meja makan, memasukkan sampah pada tempatnya, lalu memindahkan piring dan gelas kotor ke sink. Tangannya bergerak mencuci peralatan makan hingga suara Moza terdengar menyebut namanya.

“Dan?” Moza berdiri tak jauh darinya sambil merapatkan kardigan yang membalut tubuh atasnya. “Lo ngapain?”

Ridan menoleh sebentar, lalu melanjutkan aksi cuci piringnya. “Gue ngebangunin lo, ya?”

Moza hanya diam, memperhatikan Ridan yang kini meletakkan piring dan gelas kotor ke rak tiris, mengeringkan tangan dengan lap, lalu berbalik menghadap ke arahnya.

“Sori karena udah asal masuk dan sentuh barang lo.” Ridan mengusap tengkuknya merasa tak enak. “Lo nggak bales chat gue, telepon juga nggak diangkat, gue ketuk pintu juga--”

What are you doing here?” tanya Moza sekali lagi. “Gue udah bilang, gue baik-baik aja.”

Ridan menghembuskan napas. “Za ....”

“I’m fine.” Moza bersikeras.

“Jangan terlalu keras sama diri sendiri, Za. It’s okay not to be okay. Kalau lo sakit, bilang sakit. Kalau lo capek, bilang capek. Jangan memaksakan diri untuk terlihat baik-baik aja padahal aslinya nggak.”

Moza terdiam, menyandarkan setengah tubuhnya ke counter sambil memejamkan mata.

“Lo masih sakit? Mau gue anter ke dokter?” tawar Ridan.

Moza menggeleng. Matanya terbuka, menoleh kembali pada Ridan. Sorot matanya melunak. “Gue cuma nggak suka nerima bantuan orang lain.”

Ridan bisa memahami jika tindakan preventif yang gadis itu tunjukkan adalah efek dari hal yang dialaminya dua tahun silam.

“Terakhir kali gue menerima bantuan, yang gue dapat bukan bantuan,” jawab Moza.

“Za--”

“Gue tahu nggak semua orang membantu karena punya niat jahat," potong Moza, “but I can’t control this. Gue nggak bisa berhenti mikir kalau hal buruk bisa aja terjadi. Gue balik ke sini dengan harapan gue bisa sembuh.” Moza masih terus berbicara. “Gue berharap bisa menghadapi ketakutan gue, berdamai sama memori buruk yang ada di otak gue, bisa berhenti punya pikiran jelek, tapi apa yang gue dapat?”

Ridan terdiam, pembicaraan Moza mulai melebar. Menunjukkan jika pikiran gadis itu sedang kacau.

He almost raped me! Gue nggak bisa ngelawan dan mungkin nggak akan selamat kalau kalian nggak datang.”

Ridan bisa melihat kilat bening di mata Moza. Ingin rasanya ia merengkuh tubuh gadis itu, menenangkan, dan meyakinkan bahwa tak semua orang seberengsek Iddar. Namun Ridan sadar, memeluk gadis itu hanya akan menambah ketakutannya.

“Za ...,” panggil Ridan lembut.

Panggilan itu membuat Moza mengusap matanya sebelum kembali menatap Ridan.

“Terlihat kuat itu memang harus biar nggak ada orang yang ngeremehin lo, tapi saat lo capek dan merasa udah nggak sanggup buat berdiri tegap, lo boleh bersandar, lo boleh menunjukkan sisi lemah lo.”

Ridan mengulurkan tangannya ke depan Moza. Ia tak berharap uluran tangannya mendapatkan sambutan. Ia hanya ingin menunjukan pada gadis itu bahwa tak semua uluran tangan akan berakhir buruk.

“Gue nggak masalah lo jadiin sandaran sementara, sampai lo kuat berdiri tegap lagi. Gue nggak akan minta imbalan apa-apa.” Ridan tersenyum lembut. “Gue bakal dengerin semua keluh kesah lo, kemarahan lo, kebencian lo, ketakutan lo, atau apa pun yang sedang lo rasakan sekarang. Jadi ... gimana kalau kita duduk di sofa buat ngobrol sambil minum teh, kopi, susu, or whatever you want? Hm?

Moza menatap telapak tangan Ridan yang berada di depannya, menatapnya ragu-ragu.

“Gue janji, kalau pun lo nangis sampai mata lo sembab dan ingus lo meluber ke mana-mana, gue nggak akan komentar apalagi cerita ke siapa-siapa.” Ridan mengangkat sebelah tangannya, membentuk huruf V dengan dua jari sebagai bentuk kesungguhan ucapannya.

Moza tersenyum tipis mendengar candaan yang sempat-sempatnya Ridan lontarkan. Tangan Moza lantas bergerak pelan mendekati tangan Ridan.

Ridan bisa melihat adanya keraguan, juga setitik ketakutan di wajah Moza karena harus bersentuhan dengannya. Meski begitu, Ridan tak menarik uluran tangannya. Ia ingin melihat Moza mengatasi rasa takutnya.

“Kalau lo nggak suka atau nggak nyaman, lo bisa langsung balik badan dan jalan ke sofa lebih dulu,” ujar Ridan. Lelaki itu lantas menatap tangannya sendiri dengan mata menyipit. “Tangan gue udah biasa nggak ada yang gandeng.”

Tanpa sadar, Moza tertawa ringan mendengarnya. Keraguannya semakin berkurang, ia lantas menggengam tangan Ridan, membuat lelaki itu melebarkan mata tak percaya. “How it’s feel?”

Ridan mengerjap beberapa kali, lalu tersenyum lebar. “Amazing. Sepertinya, dibanding lo, gue yang lebih butuh tempat bersandar.”

Moza tersenyum. Ia tahu, candaan itu hanya cara Ridan menunjukkan padanya bahwa tak ada lagi yang perlu ia takuti, terutama pada sosoknya yang kini berdiri di hadapannya.

...

Tbc

...

Ridan jomblo dari lahir, wkwk

Ridan jomblo dari lahir, wkwk

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

071023

My True Me (END)Where stories live. Discover now