Theo melihat Moza hanya diam, memandang kosong ke arah depan, ke layar proyektor yang tengah menampilkan video intim gadis itu dengan Iddar yang direkam dua tahun silam.

Berengsek!

Tangan Theo mengepal. Ridan yang menyusul di belakang--yang turut melihat apa yang terjadi--pun merasakan kemarahan yang sama besarnya.

Iddar tersenyum miring ke arah Theo. "What a beautiful movie, right?" ucap Iddar, bibir lelaki itu lantas mendekat ke telinga Moza tanpa mengalihkan padangannya dari Theo. "Lo nggak mau nunjukin gimana desahan lo ke Theo, Za?"

Seketika itu juga, tubuh Moza luruh dengan mata terpejam. Iddar melepaskannya begitu saja, membiarkan tubuh gadis itu merosot dan ambruk menghantam lantai.

Iddar tertawa puas. Terutama saat melihat reaksi Theo yang kini melotot marah ke arahnya.

Ridan buru-buru menghampiri Moza yang tak sadarkan diri. Diambilnya jaket yang tergeletak tak jauh darinya untuk menutupi tubuh bagian atas Moza, lalu membopongnya keluar.

Sebelum pergi, ia melirik sengit ke arah Iddar yang masih menampilkan seringai kepuasan, lalu beralih menatap Theo. "Lo beresin urusan lo sama dia. Biar Moza, gue yang urus."

Begitu Ridan pergi, Theo menutup pintu lab, menyisakan dirinya dan Iddar di dalam ruangan itu.

Dengan bibir yang masih mengembangkan senyum, tangan Iddar melepas kabel sambungan ponselnya dengan proyektor. "Udah capek pura-pura bodoh selama dua tahun, Yo?"

Gigi Theo mengatup kuat, baru menyadari jika sejak awal Iddar sudah mengetahui kalau dirinya hanya berpura-pura tak tahu apa-apa. Sadar jika selama ini ia sedang dipermainkan.

"Kenapa lo ngelakuin ini ke Moza? Bukannya lo bilang kalau lo suka sama dia?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja.

Iddar mencoba menahan tawa, tapi akhirnya tergelak dengan keras. Lelaki itu bahkan mengusap ujung matanya yang berair seolah pertanyaan Theo adalah lelucon paling konyol yang pernah ia dengar.

"Suka? Gue? Ke Moza?" Iddar bertanya sambil menyunggingkan senyum miring. "Ah, maksud lo tubuhnya? Ya, gue suka. She's so sexy."

Theo mengambil kursi lipat yang berada di dekatnya lalu melemparkannya ke arah Iddar. Hatinya panas, kemarahannya meluap karena lelaki di hadapannya itu sama sekali tak punya rasa bersalah.

Iddar berhasil menghindar. Sebelah sudut bibir Iddar terangkat saat melihat kursi yang dilempar ke arahnya jatuh ke lantai. "Lo seharusnya bersyukur gue ngincer Moza, bukan ngincer Zita kesayangan lo itu."

Mata Theo membola. Iddar kian menyulut amarahnya. "Apa maksud lo?"

Iddar duduk di salah satu meja, bersikap santai tanpa rasa takut. "Lo ingat cewek yang namanya Zivana?"

Theo mengerutkan kening karena merasa tak pernah mendengar nama itu.

"Wah ...." Iddar menyenggih, tersenyum miring, terlihat kesal atas respon yang Theo tunjukkan. "Setelah lo baikin dia, lo sakitin hati dia, sekarang lo lupain dia? Lo bener-bener bangsat, ya."

"Gue nggak kenal sama Zivana," tegas Theo, "dan gue rasa ini nggak ada urusannya sama apa yang udah lo perbuat ke Moza."

"Oh, ya?" Iddar tersenyum mengejek seraya turun dari meja. "Yang terjadi sama Moza adalah balasan atas apa yang pernah lo lakukan ke Zivana lima tahun lalu."

Lima tahun lalu?

Theo mencoba mengingat, tapi sama sekali tak ada memori tentang seseorang bernama Zivana. Lalu ... jika lima tahun lalu, apa itu artinya pertemanan mereka selama ini hanyalah kepalsuan?

Theo menatap Iddar. "Jadi, selama ini lo cuma pura-pura jadi temen gue?"

Iddar hanya mengangkat sebelah alis sambil menyunggingkan senyum miring.

"Tapi, kenapa?" Theo masih tak mengerti. "Gue nggak tahu kesalahan apa yang udah gue buat ke Zivana, tapi ... kenapa Moza? Kenapa lo setega itu sama Moza? Kalau ini balasan atas kesalahan gue, harusnya limpahin semuanya ke gue. Moza nggak salah apa-apa. Lima tahun yang lalu gue bahkan belum kenal sama Moza. Kenapa lo--"

Theo tak sempat menyelesaikan pertanyaannya karena kursi yang sebelumnya ia lempar kini berbalik ke arahnya. Ia terlambat menghindar, hanya bisa mengangkat lengan untuk melindungi kepalanya dari hantaman benda itu.

Bibirnya mendesis kesakitan saat besi kursi membentur lengan kanannya. Tak cukup sampai di situ, Iddar dengan cepat menerjangnya, menjejakkan kaki ke arah perut hingga tubuh Theo terdorong mundur dan jatuh terduduk setelah punggungnya membentur tembok.

Iddar mendekat, duduk mengapit kedua paha Theo, lalu menarik kerah baju Theo agar wajah mereka berhadapan. "Tenang, kalau yang lo maksud adalah ngehajar lo, gue bakal kabulin sebentar lagi, tapi sebelumnya, lo harus dengerin gue baik-baik."

Iddar mengeratkan cengkeramannya di kerah Theo, tak peduli jika aksinya itu membuat lelaki di hadapannya kesulitan bernapas.

"Yang gue lakukan ke Moza adalah cara gue nunjukin ke lo gimana rasanya ngelihat cewek terdekat lo nangis karena dilukai orang lain," kata Iddar dengan garis rahang yang mengetat. "Lo tahu, gimana sakitnya gue ngelihat Zi yang gue sayang nangis karena cowok kayak lo?

"Gue mau buat lo menyesal karena berani nyakitin cewek yang udah gue jaga sepenuh hati. Semua yang terjadi sama Moza adalah imbas dari kesalahan lo. Seandainya lo nggak pernah nyakitin Zivana, Moza nggak akan ngalamin ini semua. Semua ini awal mulanya dari lo, dari kesalahan lo sendiri!"

...

Paham ya target utamanya Iddar tuh sebenernya siapa dan kenapa.

Paham ya target utamanya Iddar tuh sebenernya siapa dan kenapa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

011023

My True Me (END)Where stories live. Discover now