Chapter 11

56 23 10
                                    

kau adalah sajak puisiku,
yang belum rampung kuramu.
kita adalah lembaran cerita,
yang belum usai, meski dipaksa untuk selesai.
...---...---...
----------

Jam kerja Giant Entertainment telah berakhir, semua karyawan satu-satu beranjak pulang, Tak terkecuali Adnan. Saat ingin segera pulang, hati Adnan tiba-tiba tergerak ke Cafetaria, memastikan apakah masih ada Areta disana. Apalagi sejak siang tadi, ia sudah cukup khawatir dengan Areta ketika Chef David mengatakan Areta tidak enak badan. Padahal ia tahu, Areta baik-baik saja ketika mengantarkan makan siangnya.

Benar saja dugaan Adnan, ternyata masih ada Areta di dapur cafetaria. Tapi ia hanya sendirian, sedang mencuci piring.

kenapa cuma dia sendirian mengerjakan tugas itu? bukankah ia sedang sakit?

Dibalik pintu, ia melihat Areta dari kaca kecil yang berada di tengah daun pintu itu. Sesaat Adnan terus memberi atensi, Areta mendadak menangis.

Areta? kenapa dia? pasti ada sesuatu yang terjadi padanya. kalau tidak bagaimana mungkin dia menangis seperti itu.

Tangis Areta membuatnya ngilu, ikut merasa perih.

ini pertama kalinya aku melihatnya menangis sekencang itu. Aku tidak tahu masalah yang kamu derita Areta. seandainya saat ini aku bisa memelukmu dan menguatkanmu.

Cukup lama Adnan menunggu kepulangan Areta, hingga tepat pukul 9 malam, Areta baru menyelesaikan pekerjaannya. Ia berjalan menuju halte bus dan terus diikuti Adnan. Hingga ia pun ikut naik bus yang sama, tanpa disadari oleh Areta. Bahkan setiba di dekat rumahnya, Adnan mengikuti Areta diam-diam dari belakang.

dia terlalu tenggelam pada pikirannya, sampe engga sadar kuikuti. lengkingan suara yang didengar Adnan membuatnya tersentak, begitu juga dengan Areta. ketika Areta berlari ke rumah, Adnan dengan cemas mengikutinya. lalu, Adnan berdiri dibalik tembok pagar rumah Areta, mencoba menguping pertengkaran yang terjadi.

"oh ini dia... akhirnya pulang juga anak yang kamu katakan tadi."

"Areta, cepat kasih uang kamu, bayar utang kita sebagian!"

"tapi Areta engga ada uang ma, baru aja kemarin dipakai untuk bayar uang sewa kita dan melunasi utang kita di tempat lain."

"yang benar saja, kamu pasti menyimpan uang di atm kan? sini pakai uangnya, dimana kamu simpan."

"e-engga ada ma, beneran engga ada."

Pekikan suara Areta membuat Adnan hampir ingin berlari dan membantunya, namun diurungkannya.

tunggu, Areta bakal berfikiran aneh kalau sampai tau aku ngikutin dia daritadi. trus gimana ini? aku ga bisa diam aja liat Areta kan?

"ahhhh!!!... berisik banget, kalau memang engga ada, gimana kalau anak ini saya bawa, lumayan bisa lebih berguna."

"maaa!! Nadira ga mau dijadiin tumbal ya."

"jangan dia, anak saya masih begitu muda, ia masih harus kuliah dan meraih cita-citanya. Kalau anda mau, saya bisa relakan anak saya ini,"

"maaa! bagaimana bisa mama begitu sama Areta?!"

"dia sudah cukup matang untuk anda, dia juga lebih berguna, bisa melakukan banyak hal, ia juga pandai mengerjakan pekerjaan rumah dibanding anak saya ini."

gila!!! ibu macam apa yang menjual anaknya begitu saja untuk membayar hutang?

"maa, tidak, jangan ma."

"boleh juga, kalau begitu saya bawa anak kamu yang ini."

"bawa dia pergi ke dalam mobil."

Areta?? Sial, bodo amat, aku harus menolong Areta.

Akhir Sebuah Kisah [END]Where stories live. Discover now