9

7.4K 713 49
                                    

Hari ke delapan Evano baru membuka matanya, semua tampak senang tapi tidak dengan Evano. Pemuda itu harus menerima kenyataan jika kakinya lumpuh, dan harus melakukan terapi agar bisa berjalan kembali. Hal yang sangat buruk bagi Evano, sedari tadi Evano hanya diam tak bicara, sesekali ia membuka mulutnya menerima suapan dari Samuel, suapan pertama kali yang ia rasakan dari Samuel.

"Evan, katakan apa ada yang sakit?" Samuel bertanya sendu, ia tahu Evano terluka karena ia harus tak bisa berjalan untuk sementara. Samuel bahkan tak bisa menerimanya bagaimana dengan putranya ini?

"Apa aku tak bisa berjalan selamanya?" ucap Evano lirih.

"Tidak, kita akan melakukan terapi agar kakimu bisa berjalan kembali, ini hanya sementara. Tenang saja, ada Papa di sini." Samuel mengelus kepala Evano sirat akan sayang pada sang anak.

Marvin hanya menatap sendu orang dihadapannya dalam diam, menurutnya semua ini karenanya. Marvin yang bodoh, kenapa Tuhan mempesulit putranya kenapa tak semua dilimpahkan hukum tabur tuai itu padanya? Marvin jauh lebih terluka saat melihat wajah tanpa semangat Evano, ia jauh lebih sakit melihat wajah pucat putranya.

Evano menggulir matanya, ia memaksakan senyumnya saat melihat Marvin yang tertunduk menatap lantai, Marvin pasti tertekan karenanya.

"Maafkan aku Dad, aku tak akan seperti ini lagi. Aku berjanji," tuturnya, membuat Marvin mendongak mempelihatkan senyuman tipis.

Setelahnya hanya hening bak orang asing yang tak pernah berbagi kehangatan, entah Samuel, Marvin maupun Evano tak mau lagi memulai perbincangan. Membiarkan suasana tak nyaman ini tenggelam dengan pikiran masing-masing.

Lama hening, terdengar helaan napas halus dari Samuel.

"Maaf, sebenarnya aku ingin membicarakan ini jauh sebelum Evan terkena musibah, ini terkesan lepas tanggung jawab dan seakan aku tak peduli," ucap Samuel tampak ragu. "Aku hanya bisa menemani Evan sampai seminggu saja, maaf evan Papa harus ikut paman Kai pindah ke China, tidak seharusnya Papa pindah kemarin tapi karena musibah ini terjadi Papa memutuskan menyusul suami Papa itu minggu depan," jelas Samuel ia sungguh tak enak hati mengatakannya, seharusnya tak sekarang tapi kapan lagi? Bukankah lebih cepat lebih baik? Samuel tak bisa memberi tahu putranya mendadak.

"Pindah?" Marvin menyahut, entah kenapa ia tak suka saat mendengarnya lalu bagaimana dengan Evan jika ingin bertemu dengan Samuel? Apa harus memesan tiket disetiap bulannya.

"Iya, Kai membuka cabang perusahaannya di China mau tak mau aku harus ikut. Lagi pula Darel sudah memberikan izin," tutur Samuel.

Evano meremas selimutnya, bukankah tadi Samuel berkata ia akan menemani dirinya terapi?

"Tidak, kita akan melakukan terapi agar kakimu bisa berjalan kembali, ini hanya sementara. Tenang saja, ada Papa di sini."

Lelucon apa ini? Evano rasa ia tak bisa lagi percaya dengan hal ini. Ingin rasanya ia berteriak mengatakan jika dirinya membutuhkan Samuel, tapi keluarga Papanya juga membutuhkan pria itu, Evano tak bisa egois. Memangnya siapa ia? Ia hanya boleh bergantung pada Marvin, Samuel sudah memiliki keluarga.

"Evan, maaf." Samuel membuyarkan lamunan Evano, bocah itu tersenyum tipis menutupi kekecewaannya yang mendalam.

"Kenapa kau harus pindah? Maksudku apa mengurus cabang harus sampai pindah?" Marvin menimpali, ia merasa tak terima dengan ini semua.

"Kai membutuhkanku," sahut Samuel.

"Tapi Evano juga membutuhkanmu! Apa pria itu tak bisa hidup sendiri sampai beberapa bulan? Haruskah sampai menetap di sana walaupun mengurus cabang? Aku juga sama memiliki perusahaan dan beberapa cabang, apa aku pindah?" Marvin mengoceh tak peduli jika dianggap tak memiliki etika.

"Aku tak bisa menolak, Kai butuh aku ini bentuk balasanku padanya karena dia telah memberikanku segalanya," ucap Samuel seakan menyadarkan Marvin jika dirinya milik Kai bukan hanya Papa Evano.

Kembali hening, Evano hanya diam ditengah-tengah keributan yang tercipta.

"Baiklah maaf aku lepas kendali jika  berhubungan dengan Evano, tak seharusnya aku protes kau 'kan pasangannya, jika begitu aku yang akan meminta ibuku untuk menjaga Evano sementara waktu, maaf merepotkanmu Sam," ucap Marvin pada akhinya walaupun hatinya mengganjal.

Evano harusnya bersyukur dan tak meminta lebih di saat ada sang Daddy yang menyayanginya lebih dari cukup.

"Evan maaf." Lagi Samuel mengatakannya, Evano mengerti pasti berat juga menjadi papanya ini. Dia harus memilih antara keluarganya yang baru dan dirinya.

"Tak apa Pa, di sini masih ada Daddy dan Oma. Kau tak perlu khawatir, bukankah aku akan segera sembuh?" Evano menggenggam tangan Samuel, ucapannya itu selain agar Samuel merasa ringan itu juga bentuk menghipnotis dirinya agar tenang. Evano sudah tak bisa mengharapkan Samuel, ia dan Samuel berbeda walaupun ia putranya tapi Samuel juga memiliki putra lain dan tentunya memiliki suami yang harus dilayani layaknya istri yang baik.

Marvin membuang pandangannya, ini semua tak akan terjadi jika bukan karenanya. Evano tak akan ditinggalkan jika ia tak melakukan kesalahan, lagi-lagi rasa bersalah itu singgah dihatinya.

"Tak perlu menunggu seminggu, aku tak apa bersama Oma. Pasti paman Kai sudah menunggu Papa, Papa bisa menyusulnya besok pasti paman Kai senang," ucap Evano.

Samuel menggeleng pelan. "Apa Evan mau Nenek dan paman kembar menemani Evan juga?" tanyanya.

Evano menggeleng, entah kenapa ia selalu merasa asing dengan keluarga Papanya ini. Nenek Feny baik tapi karena jarang bertemu Evano merasa asing apalagi dengan kedua paman kembar.

"Mereka pasti sibuk, apalagi paman kembar. Bukankah mereka tengah kuliah saat ini? Aku bisa ditemani oleh Oma," ucap Evano tak mau membebani siapapun lagi, walau nyatanya ia masih membebani Marvin dan Trya tapi setidaknya mereka tak asing bagi dirinya.

Keadaan membuat Evano harus bisa berdiri sendiri seharusnya, namun entah kenapa ia selalu merasa sesak saat mengingat bagaimana hancur keluarganya ini, bahkan keluarga ini hancur sebelum dirinya hadir. Mau menjelaskan sampai mulut berbudahpun semua orang tak akan mengerti, karena orang tak akan paham jika belum merasakan.

Hari ini pertama kalinya ia disuapi Samuel, tapi ia harus rela melepaskan Papanya ini. Apa ini sebuah bentuk ganti dirinya yang tak bisa bertemu Samuel lama? hari ini Samuel menghabiskan waktunya bersama Evano. Ia bertingkah seakan hari ini sudah direncanakan walau nyatanya tidak, mendengar Evano yang tak keberatan akan kepergiannya membuat Samuel merasa sedikit lega, katakanlah ia orang tua tak bertanggung jawab yang meninggalkan putranya dalam keadaan buruk, tapi Samuel bisa apa? Ia juga bingung, ia sudah sering bertengkar dengan Kai karena masalah ini, dimana dirinya yang selalu menolak untuk pindah.

"Papa sayang kamu Van, Evan bisa menghubungi Papa kapanpun. Berceritalah jika ada masalah, Papa akan mendengarkan Evan, jaga kesehatan dan semangat menjalani terapi, doa Papa selalu bersama Evan."

"Terakhir kali Papa bilang akan ada disampingku saja Papa berbohong, Papa mungkin akan sulit membagi waktu Papa bersamaku, masih ada Darel yang akan menghubungi Papa karena ia juga sama merindukan Papa nantinya."

Evano membatin saat mendengar ucapan Samuel. Ia terlalu sadar diri akan posisinya, apalagi saar ini Darel juga ditinggalkan.



Rain [sekuel Astrophile]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora