5

8K 693 43
                                    

"Kau belum pulang?" Darel menatap sang Kakak dingin.

"Aku akan mengantar Jean untuk membeli perlengkapan melukis," sahut Evano, membuat Darel mendengus ini sudah pukul lima bahkan ia sudah selesai latihan basket, dan Evano masih menunggu si bajingan itu? Benar-benar submisif bodoh tanpa berkata-kata lagi Darel melengos dengan motornya.

Sedangkan Evano masih diam menunggu Jeano, tadi ia sudah mengirim pesan jika ia akan menunggu. Ini terlalu lama, Evano rasa jika ia tak datang ke ruang seni Jeano akan lupa jika ia sudah bersedia ingin mengantarnya. Darel saja sudah selesai berarti Jeano juga sudah selesai, mereka satu tim basket.

Alhasil ia terpaksa harus keruang kesenian, takut Jeano melipir ke ruang seni, saat sampai di sana hanya sepi yang ia dapati dan hanya peralatan lukis yang berantakan.

"Jean," panggil Evano, ia mengedarkan pandangannya melihat ruangan luas ini.

"Jeano," panggilnya lagi, hening tak ada suara apapun. Evano mengehela napas, ia beranjak pergi. Saat dilantai dua ia berpapasan dengan Jeano yang tengah memapah Ola. Tangannya mengepal menatap sengit pada gadis yang terlihat lemah direngkuhan Jeano.

"Apa kau lumpuh?" Lontaran kata itu, berhasil membuat Jeano terhenyak.

"Ola sakit, dia sedang tak baik-baik saja kumohon mengertilah," ucap Jeano enteng.

"Aku menunggumu selesai latihan basket, karena akan mengantarnu membeli peralatan lukis, ternyata kau hanya diam di ruang kesehatan bersama gadis ini?" ucap Evano darahnya mendidih, seakan akan meledak kapan saja.

"Kau ... "

"Aku berdiri diparkiran berjam-jam, hanya untuk menunggumu! Kupikir ... ya Tuhan Jean kau keterlaluan ... lihat saja!" Evano langsung pergi setelah mengatakannya tanpa mau mendengar penjelasan Jeano.

Sedangkan sang dominan menelan saliva-nya, ia kembali memapah Ola untuk mengantarnya pulang. Ia pikir Ola sangat membutuhkannya sekarang.

Evano memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia merasa lelah sekarang. Banyak hal yang selalu ia lakukan untuk jeano, tapi yang ia terima hanyalah air kotor, ia selalu berusaha menjadi yang terbaik dan selalu ada tapi nyatanya yang ada dalam pikiran Jeano hanya Ola dan Ola. Evano menepikan mobilnya di sisi jalan, ia menatap cincin perak dijari manisnya dengan nanar.

______

'Cari Evano, sekali lagi kudengar kau menyakitinya, akan kutarik dana ditoko ibumu'

Pesan yang berhasil menekan Jeano, setelah mengantarkan Ola ia segera mencari Evano. Kalimat ancaman dari ayah Evano lumayan membuatnya gentar, ia tak mau sampai ibunya kecewa.

Ini sudah pukul tujuh lebih, ditambah hujan deras dan ponsel submisif itu sulit dihubungi. Jeano menghentikan motornya, ia turun memilih untuk berjalan kaki, ini tempat terakhir yang ia tahu tempat dimana yang sering dikunjungi Evano. Taman kanak-kanak yang sudah lama terbengkalai.

"Evan ... " Jeano menghampiri pemuda dengan seragam yang sudah basah duduk ditepi kolam hias yang sudah kering dan sekarang di isi genangan air hujan.

"Ayo pulang, Pak Marvin mencarimu," ucap Jeano. Tak ada sahutan yang terlihat hanya punggung sempit dengan seragam basah yang diam tak bergeming. Jeano berusaha sabar, ia  duduk disamping Evano.

"Maaf." Akhirnya kata itu entah kesekian kalinya terucap dari bibir Jeano, "maaf aku lupa jika kita ada janji," lanjutnya.

Hujan semakin deras, dan mata Evano masih terpejam seakan menikmati tetesan demi tetesan air yang jatuh itu.

"Hujan tak pernah bosan terjatuh, tapi aku selalu bosan Jean," cetus Evano, matanya masih terpejam.

"Ayo pulang, hujan semakin deras dan ini sudah malam. Apa kau tak takut roh jahat disekolah kosong ini?" ucap Jeano, yang mendapat gelengen dari Evano.

"Tempat ini pernah memberikan tawa yang indah tanpa ada dusta, jika kau ingin pulang, pulanglah Jean. Aku tak memintamu datang," ucap Evano.

Jeano mengacak rambutnya prustasi, ia kesal dengan tingkah kekanak-kanakan Evano.

"Sialan! Berhentilah bertingkah seperti bocah, jika bukan karena ayahmu aku tak sudi untuk datang! Bisakah aku terbebas hah?!" Jeano menekan kedua bahu Evano, menatapnya tajam.

"Kau selalu mengadu, dan aku merasa kau merendahkanku aku seperti kuda yang diikat tak bisa berlari sebebas yang aku inginkan." Jeano meremas bahu Evano, tak peduli jika sang submisif kesakitan.

"Terserah kau mau pulang ataupun tidak! Tinggal saja di sini semaumu, Aku tak peduli!" Jeano beranjak pergi meninggalkan Evano yang hanya diam menatap kepergiannya.

Hujan.

Ia tak peduli jika hujan, karena akan semakin deras hujan turun itu akan membuatnya tenang, karena hujan ia bisa menyembunyikan tangisnya, karena hujan bisa meredam suara isakannya yang terdengar lemah, pria mana yang menangis seperti wanita? Evano terlalu lemah, hina saja ia, ia memang lemah dan terlalu berlebihan.

Hujan, sekolah terbengkalai, adalah hal yang sangat Evano sukai. Disekolah itu, dulu ia pernah berlarian dengan bahagia, tertawa kencang tanpa ada kebohongan.

"Oma Evan ingin cepat besar ... agar bisa membantu Daddy, biar Daddy tak kelelahan,"

Evano terkekeh ringan, ucapan yang selalu ia katakan dikala ia memergoki Marvin menangis diruang kerjanya, dulu keinginannya hanya ingin menjadi besar, tapi sekarang ia ingin kembali ke masa dimana ia belum tahu apa-apa.

Dilain tempat Jeano baru saja turun dari motornya, ia masuk ke rumah tak lupa mematikan ponselnya, karena muak dengan semua pesan dan panggilan dari Marvin. Ia tak peduli jika sampai Evano tak pulang semalaman, bukankah itu keinganan pria itu sendiri? Kenapa Jeano harus lelah merayunya untuk pulang, nanti juga jika Evano ingin pulang pasti akan pulang sendiri.

"Lohh Jean, kamu udah ketemu sama Evan?" Gress menghampiri anaknya yang basah kuyup.

Jeano mengidikan bahunya. "Dia mau mati kali," ucapnya.

"Jean, mama tak suka kamu seperti ini. Kamu dan Evano bukan hanya sekedar kekasih tapi kalian ... "

"C'mon Ma, aku dari dulu tak setuju. Ini semua paksaan, dan juga ini karena perbuatan si bodoh itu dengan ayahnya," sela Jean.

"Jika bukan karena Evan, usaha kita tak akan selancar ini Jean. Mama mohon mengertilah." Gress menatap Jeano sendu.

Jeano menghela napas, tak mau lagi berdebat ia segera pergi ke kamarnya, meninggalkan Gress yang hanya diam tak bergeming.

"Apa aku berlebihan?" monolog Gress, ia mengusap tangan kirinya, merasa bersalah karena memarahi sang anak.




Rain [sekuel Astrophile]Where stories live. Discover now