6

7.9K 653 47
                                    

Evano menyelimuti seluruh tubuhnya, saat pulang ia langsung mendapat omelan panjang dari Marvin dan jangan lupa Omanya sampai harus menginap karena kelakuannya, ia menyesali perbuatan kekanak-kanakannya. Evano merasa nyaman dengan hangatnya selimut.

Namun, kenyamanan itu harus terganggu saat ponselnya berdering. Evano meraba nakas, lalu mengangkat sambungan telepon itu.

"Hallo,"

"Evan, kamu sudah pulang?"

"Dari mana kamu, Daddymu sampai menghubungiku? Apa ada masalah, katakan saja, Papa akan berusaha membantu."

Evano meremat ponselnya, helaan napas halus ia lakukan. Mendengar rentetan pertanyaan Papanya.

"Evan ... "

"Aku baik-baik saja Pa, tadi aku hanya bermain-main," sahutnya setelah diam sedari tadi. Terdengar helaan napas diseberang telepon.

"Evan Papa mohon jangan membuat khawatir Daddy dan Papa oke, jika ada masalah ceritalah eumm," ucap Samuel.

Evano sangat ingin bercerita dan dekat dengan Samuel, tapi kesempatannya hanya sebulan sekali dan itu hanya sehari ia bisa bertemu dalam sebulan dengan Samuel.

"Eum, maaf Pa. Aku tak akan melakukan hal itu lagi,"

"Baiklah setelah ini istirahat jangan sampai demam ... "

"Sam, cepatlah! Bukankah kita akan makan diluar!"

"Ya, sebentar .... Evan, kau masih dengar Papa? Maaf, Papa tutup dulu teleponnya ya."

Sebelum Evano menyahut sambungan telepon sudah terputus. Samuel memiliki urusannya sendiri, bahkan untuk bertelepon lebih lama pun tak bisa. Suara Kai yang memanggil Papanya itu membuat Evano sadar diri, seharusnya ia tak melakukan hal-hal yang membebankan orang tuanya.

Evano rasa ia harus berdiri sendiri tanpa mengharapkan penopang, Marvin terlalu banyak menanggung beban, dan Samuel juga memiliki tanggungan lain.

Evano tertidur dengan ponsel digenggamannya, walpaper yang sengaja ia edit foto Samuel, Marvin dan dirinya ditengah-tengah, terlihat betapa bodohnya ia dalam hal mengedit karena hasilnya yang tak mulus, bahkan dengan editanpun masih terlihat jika ketiga orang itu tak bersama, itu hanya tipuan belaka untuk menipu pikirannya agar tenang sejenak.

______

Ini hari libur, biasanya Jeano akan datang karena pemaksaan Evano. Hal wajib jika hari libur, keduanya kencan. Seperti sekarang, Jeano sudah duduk manis disofa rumah besar klasik dengan desain kuno ala-ala bangunan eropa tua.

Jeano menunggu Evano yang baru saja bangun tidur, ia mengotak-atik ponselnya.

"Wahh ... kau sudah di sini saja." Evano menuruni tangga dengan wajah yang jauh lebih segar.

"Sejak kapan?" tanyanya, menghampiri Jeano.

"Yeah ... jika aku tak lebih dulu datang kan akan melakakukan spam chatt dan itu mengganggu," cetus Jeano, ia memasukan ponselnya ke dalam saku. Evano hanya terkekeh saat mendengarnya.

"Dan juga, aku mau meminta maaf pada ayahmu jika aku tak bisa mengembalikanmu pulang tadi malam," lanjut Jeano, yang hanya diangguki Evano.

"Hari ini mari pergi berpetualang!" Evano memeluk tangan kanan sang dominan, "aku ingin melihat alam bebas," lanjutnya.

"Tak bisa," tolak Jeano, membuat kening Evano mengerut. "Aku akan mengajakmu ke rumah Ola, aku akan membantu dia pindahan ke rumah ibunya." Evano beringsut menjauh dari sisi Jeano.

"Tapi aku tak mau," bantah Evano dengan segala kekeras kepalaannya.

Jeano menghela napas. "Ikut atau tak ada kencan hari ini? Itu terserah pada pilihanmu." Jeano berdiri dari duduknya, ia menatap Marvin dengan segan yang baru masuk rumah dengan pakaian khas olah raganya.

"Pagi Pak," sapanya.

Marvin tak menyahut ia hanya diam dan menatap dingin pada pria muda dihadapannya.

"Eum soal semalam saya minta maaf tak bisa membawa Evano pulang, saya ... "

"Aku yang menyuruhnya pulang Dad, berhenti menatapnya seperti itu kau sudah seperti pria cabul saja," sela Evano, membuat Marvin terkekeh.

"Eum, yasudah. Kalian akan pergi sepagi ini?" Marvin mengusap peluhnya dengan tisu diatas meja.

"Ya Dad, aku dan Jean ada urusan diluar. Kami pamit pergi sekarang ya," ucap Evano.

Marvin mengangguk, ia membiarkan putranya pergi bersama orang terkasihnya.

Keduanya pergi dengan mobil, Evano terpaksa ikut ke rumah Ola ia tak mau sampai kencannya batal karena gadis itu. Ini pertama kalinya ia akan datang ke rumah Ola.

Selama perjalanan tak ada perbincangan sama sekali, bahkan Evano yang selalu berisik memilih diam dengan melihat jalanan.

Hanya butuh waktu setengah jam sampai Jeano memarkirkan mobilnya dihalaman rumah minimalis gadis pujaannya.

"Sudah sampai," ucapnya.

Evano langsung saja turun, matanya mengedar melihat halaman yang jauh lebih kecil darinya, ia mengekor mengikuti Jeano.

Saat beberapa kali Jeano mengetuk pintu, pintu dibuka oleh Ola dengan senyuman lebar miliknya.

"Eh, Evan?" Ola tampak terkejut saat menyadari ada Evano dibelakang Jeano.

"Dia ikut, tak apa kan?" tanya Jeano pada Ola.

"Tentu saja tak apa, ayo masuk." Ola membuka pintu lebih lebar, membiarkan kedua pria itu masuk.

Evano hanya diam disamping Jeano yang asik berbincang dengan Ola, apa kencannya akan membantu Ola pindahan rumah? Memangnya siapa Ola sampai harus ia bantu? Evano terus menggerutu dalam hati, bahkan tak segan memaki Jeano dalam hatinya.

"Jean lebih baik aku sendiri saja tak apa, lihatlah Evano sepertinya tak suka," cetus Ola tiba-tiba.

"Tahu apa jika aku tak suka? Kau suka sekali memancing keributan." Evano mendengus, Ola menunduk sendu menatap kaki telanjangnya yang tanpa sandal.

"Evan dia bicara baik-baik dan kau membalasnya dengan kejam? Apa itu tak keterlaluan?" Jeano berucap menatap Evano tajam.

"Aku bahkan hanya diam sedari tadi, dia yang menyenggolku dengan ucapannya lebih dulu!" sentak Evano tak terima.

"Sudahlah Jean tak apa, Evano benar aku yang salah. Kalian bisa berkencan, maaf mengganggu waktu kalian, seharusnya aku tak meminta bantuanmu Jean, apalagi aku tahu kau ada jadwal kencan dengan Evan jika hari libur," tutur Ola, terdengar sangat pasrah.

Evano memutar matanya malas, Ola itu seperti ular berbisa yang banyak drama, jelas sudah ucapannya seperti sengaja memojokkan dirinya.

"Pulanglah naik taxi, tak ada kencan hari ini. Aku akan membantu Ola," ucap Jeano tiba-tiba. Evano mengepalkan tangannya, ia sangat benci saat Jeano memilih Ola dibanding dirinya.

"Baik, pergilah dengan Ola! Tapi aku tak akan menjamin jika dana ditoko Bibi akan tetap mengalir." Evano pergi setelah mengatakan itu, ia tak sungguhan dalam mengatakannya ia hanya menggertak. Hanya ini yang bisa ia lakukan untuk menjerat Jeano.

Jeano dengan cepat menghentikan langkah sang submisif yang sudah diluar.

"Apa?" Evano menepis tangan Jeano yang menahannya.

Jeano menghela napas, ia harus banyak mengalah dari Evano.

"Oke maaf, kita pergi sekarang. Kau mau ke alam bebas 'kan?" Jeano berucap lembut, ia harus bisa merayu Evano agar tak melakukan hal yang ia takutkan. Jeano menatap Ola, memohon meminta pengertian dari gadis itu.

Alhasil keduanya pergi ketempat yang Evano inginkan, hanya dengan sedikit gertakan ia sudah bisa mengendalikan Jeano.

Rain [sekuel Astrophile]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ