3

8.4K 747 40
                                    

Jangan siders ya, supaya gue semangat up nya. Bukan penggila vote ataupun komen, cuman kalau yang votment rame bawaannya seneng.

_______

Evano pulang, tidak bukan kerumah sang Daddy melainkan ke rumah Papanya. Tadi Samuel mengirim pesan padanya untuk datang, sebagai bentuk penebusan bulan kemarin ia tak bisa bertemu dengan Samuel.

Sedari tadi Evano hanya diam menatap Darel yang asik bermain game sambil disuapi Samuel. Usianya dan Darel berbeda satu tahun, ia lebih tua itu berarti ia adalah seorang kakak. Kapan terakhir ia disuapi Marvin? Evano sudah lupa, karena jika dekat dengan Daddynya ia hanya akan bercerita sambil memijat kaki sang Daddy untuk merayu agar permintaannya dikabulkan, Apa ia pernah di suapi Samuel? Tidak, pernah Samuel menawarinya untuk makan disuapi, tapi ia menolak bukan tak mau tapi takut terbiasa, jika ia nyaman disuapi lalu siapa yang akan menyuapinya dirumah? Evano memang kekanak-kanakan.

Darel satu sekolah dengannya, ia masih duduk dibangku kelas sepuluh. Darel cenderung siswa yang tak mencolok tak seperti Evano yang terlihat glamor bahkan Evano sehari-hari pergi ke sekolah dengan mobilnya, tak lupa barang yang dipakai Evano bukanlah barang yang biasa.

"Shit! Pa, lihat aku jadi kalah." Darel berdecak kesal, ia tak bisa fokus karena Samuel terus menyuapinya yang sulit makan.

"Omongannya Rel," tegur Samuel ia tak menyukai umpatan sang anak.

"Lagian Papa, aku 'kan sudah bilang aku sudah kenyang. Jadi aku kalah, aish ... "

"Seharusnya kamu berhenti dulu bermain, jangan menyalahkan Papa." Evano berucap dingin, mata kelamnya menatap dingin pada adik tirinya itu.

"Tak usah ikut campur, kau siapa mengaturku?" Darel membalas dengan tajam, membuat tangan Evano mengepal. Lihat betapa tak bersyukur adik tirinya ini, seharusnya ia tak menyia-nyiakan waktunya bersama sang Papa, ia saja hanya diberi kesempatan sebulan sekali untuk bertemu Samuel.

"Darel, Papa tak ingin kamu mengumpat lagi. Dan ya, Evano Kakak kamu, jangan sampai Papa mendengar ucapan kasarmu lagi," tutur Samuel.

"Eumm ... sorry Pa," ucap Darel.

Samuel menghela napasnya, ia segera menyimpan piring bekas ke dapur, meninggalkan kedua putranya.

"Harus kukatakan, kau keterlaluan berani sekali kau mengumpat di depan Papa," ucap Evano, membuat Darel mendengus.

"Sebenarnya kau siapa berani bicara seperti itu padaku?" Darel tak mau kalah.

"Dengar, kau mungkin tak menganggapku sebagai kakakmu, tapi pria tadi adalah Papaku juga, berani kau menyakitinya akan ku hancurkan ponsel sialanmu itu," ucap Evano penuh penekanan. Darel memutar bola matanya malas, keduanya memang tak memiliki hubungan baik.

Darel cenderung anak nakal dan banyak tingkah, bahkan Samuel sudah sering dipanggil guru konseling karena kelakuan Darel. Evano pikir kenakalan Darel ada untungnya, karena ia bisa melihat Samuel disekolah beberapa kali. Evano terlalu malu dan tak berani hanya sekedar meminta bertemu diluar jadwal atau sekedar melakukan video call bersama Samuel.

"Evan kamu ada sesuatu yang ingin diceritakan?" Samuel kembali lalu duduk disamping Evano, ia mengusap tangan sang putra yang tengah menunduk.

"Ada apa?" tanyanya, saat merasa tubuh Evano menegang disampingnya.

"Tidak, tak ada yang ingin aku ceritakan," ucap Evano, ia selalu tak berani menatap Samuel. Wajahnya dan Samuel sangat mirip, seperti copyan.

"Pa, dia ... dia sangat memalukan, dia mengejar pria yang tak mencintainya, kau tau Pa? Dia bahkan mau saja diperbudak oleh orang itu," cetus Darel, membuat Evano mendongak dan menatapnya bak mengibarkan bendera perang.

"Evan, Papa rasa Jean memang harus dilepaskan. Ini sudah satu tahun kalian bertunangan, dan lihat Jean belum bisa menerima kamu," ucap Samuel berusaha memberi pengertian, karena ia tahu cinta bertepuk sebelah tangan itu menyakitkan.

"Jean pasti berubah sama halnya Daddy, dia juga berubah." Kedua mata kelam anak dan Papa itu beradu saling menyelami, Evano mengatakan itu agar Samuel tahu jika Daddynya tak seburuk dimasa lalu, bahkan ia sering memergoki Marvin menangis tengah malam diruang kerjanya.

"Eum ... kau benar." Samuel tertawa sumbang merasa tersindir, seakan ia tak sabar menunggu Marvin.

"Tak usah membawa-bawa Daddymu, sekarang Papa milik Daddyku," timpal Darel. Evano tersenyum tipis lalu mengangguk, ia tahu walaupun jujur dalam hati terdalamnya ia berharap Papa dan Dadynya bersama lagi, tapi ia tak mau egois.

Papa sudah bahagia bersama paman Kai

Evano membatin sendu, ia iri pada Darel yang bisa hidup dengan keluarga yang lengkap. Daddy yang baik, Papa yang selalu lemah lembut mengingatkannya dan menyuapinya, Evano hanya merasakan sepi, katakanlah ia tak bersyukur padahal ia juga memiliki Oma dan Daddy, hanya saja entah kenapa rasanya berbeda.

"Evan, kenapa melamun?" Samuel lagi-lagi bertanya dan ditanggapi gelengan oleh Evano. Evano si cerewet akan menjadi pendiam jika dirumah Papanya, bak anak pendiam yang hanya bisa berkata 'iya dan tidak'. Evano terlalu takut, jika ia terlalu dekat dengan Samuel ia akan merebut Samuel dari Darel, ia tak mau menyakiti Darel karena ia tahu hidup tanpa orang yang melahirkannya bak hidup diruangan gelap.

"Pa, sebenarnya setelah lulus nanti Daddy berencana akan menikahkan ku dengan Jean, dan kami akan berkuliah ditempat yang sama," tutur Evano pada akhirnya, Samuel mengerutkan keningnya karena ia baru mendengar kabar ini, bagaimana bisa Marvin mengambil keputusan tanpa persetujuan dirinya, bukankah Evano juga putranya?

"Benarkah? Sayang, Papa harap sebelum pernikahan itu dilangsungkan Jean sudah menerima Evan dengan baik," ucap Samuel. Ia sungguh tak setuju jika sampai Evano merasakan apa yang ia rasakan.

Darel mendengus saat mendengarnya, ia sungguh tak menyukai Evano, menurutnya dia terlalu bodoh dan menyedihkan.

"Daddy pulang!"

Darel dan Samuel tersenyum tipis saat melihat Kai pulang, di depan mata Evano Samuel menyambut hangat sang suami bahkan Kai dengan manis memberikan ciuman singkat dipipi sang Papa.

"Bermain game terus boy?" Kai beralih pada Darel, bocah itu tak mengubris ucapan sang Daddy.

Ini yang Evano takutkan, ia selalu melihat bagaimana cemaranya keluarga sang Papa.

"Wah ... ada Evan, hallo Evan. Kamu sudah makan?" Kai menatap Evano, ia baru menyadari ada putra pertama Samuel.

"Hallo Paman." Evano menyapa balik dengan sopan.

"Sam, kau sudah masak bukan? Apa Evano sudah makan?" tanyanya pada Samuel.

"Tentu sudah, hanya saja Evano menolak untuk makan. Ia mengatakan sudah makan diluar," ucap Samuel. "Kau sendiri mandilah, aku akan menghangatkan makanan," lanjutnya.

"Baiklah. Evan aku akan mandi dulu, dan Darel jangan terus bermain game berbincanglah dengan Evan kalian harus saling menyayangi, nanti jika kau bermain game terus, Daddy akan menyita ponselmu," ucap Kai.

Darel mendengus. "Iya Dad." Ia menyimpan ponselnya diatas meja, ancaman Kai sangat menakutkan dan tak main-main.

Evano hanya menyimak, ia sudah tak nyaman dan ingin pulang ia merasa ia bukan siapa-siapa dikeluarga ini.








Rain [sekuel Astrophile]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang