11. Beringin Tikungan

Start from the beginning
                                    

Lahya meletakkan kedua tangannya di telinga kiri bapaknya. "Bapak ini mas ganteng yang selama ini Lahya tunggu!" bisik Lahya cukup geli ditelinga kiri Yasin.

"Apa toh, Ndok? Bapak malah geli," ucap Yasin mengusap telinganya.

Alif menahan rasa gemasnya melihat Lahya yang cemberut. Astagfirullah. Jika begini terus bisa-bisa, besok pun jadi Alif melamar anak SMA ini. Ia semakin takut hawa nafsu mengendalikannya dan ia tak bisa mengalahkannya.

"Bapak memang pernah bertemu dengan saya sebelumnya, tapi sudah sepuluh tahun yang lalu. Saya anak Kiyai Ali, anak laki-laki yang pernah menolong anak Bapak di pasar malam sepuluh tahun lalu," jelas Alif.

"MasyaAllah. Allahuakbar. Ya Allah, kamu toh, Le?!" seru Yasin tiba-tiba memeluk Alif dengan erat. Pria paruh baya itu meneteskan air mata harunya bertemu dengan Alif.

Tidak banyak yang bisa Alif lakukan, hanya membalas pelukannya dan mengusap punggung bapak Lahya sebagai penenang. Alif bisa melihat senyum Lahya yang begitu teduh pada bapaknya yang tengah terharu. Senyum anak itu benar-benar membuat jantung Alif tidak aman sekarang.

"Kamu sudah sesukses ini sekarang, Le? MasyaAllah. Allahuakbar." Yasin menepuk lengan Alif dengan bangga seperti melihat anaknya sendiri yang sudah sukses.

"Alhamdulillah, Pak. Ini semua karena ridho Allah. Alif bukan apa-apa tanpa Allah," ujar Alif. "Pak! Perkenalkan ini adik perempuan saya yang sering saya ceritakan di rumah sakit dulu."

"Nama saya Ayasya Kanisya, pak Yasin."

"MasyaAllah cantik seperti Masnya yang ganteng."

Ayasya yang mendapat pujian itu hanya tersipu malu.

"ALLAHUAKBAR! ALLAHUAKBAR!"

Adzan berkumandang di tengah-tengah harunya pertemuan mereka setelah sekian lama. Yasin yang mendengarnya buru-buru menurunkan sarung yang tersampir di bahunya.

"Sudah maghrib, sebaiknya kita sholat dulu," ucap Yasin mengingatkan.

Alif mengangguk. "Saya tadi ada lewatin mesjid dekat sini, Pak. Kita sholatnya di sana, Pak?"

"Iya. Bapak sering sholat di mesjid sana. Ayok!" ajak Yasin buru-buru mengejar waktu sholat.

"Pak Yasin. Aya boleh numpang sholat di rumah pak Yasin, nggak?"

"Oh_ kirain mau ikut sholat dimesjid, itu ada Lahya. Lahya itu mbaknya ajak masuk, ya. Pinjemin mukenah punya ibumu."

"Nggeh, Bapaknya Lahya yang pualing ganteng," puji Lahya, mengangguk menurut.

'-'-'-'

Ayasya yang telah selesai menunaikan sholat maghrib lebih dulu, tak lepas memandangi tiap sudut kamar Lahya yang sungguh sangat sederhana. Tak ada meja belajar di sini. Hanya lemari berukuran sedang dengan kasur yang juga berukuran muat untuk satu orang.

Ayasya kagum. Meski kamar Lahya sangat sederhana, tapi kerapiannya mengalahkan kamar berukuran besar di ndalemnya. Ayasya memiringkan sedikit kepalanya melihat Lahya sedang khuysuk bertasbih. Anak jaman sekarang susah sekali untuk diajak sholat, tapi melihat Lahya yang sholat tanpa diperintah lebih dulu oleh orang tuanya, Ayasya kagum.

Tadinya Ayasya ingin marah pada kakaknya yang dengan cepat memutuskan ingin melamar perempuan lain setelah gagal lamaran. Namun, pertemuannya dengan Lahya, anak gadis yang akan kakaknya segera lamar itu membuat Ayasya yakin. Yakin akan menjadi orang yang berdiri paling depan mendukung kakaknya.

Lahya anak sholehah, cantik, lucu. Ayasya tidak sabar seseru apa hidupnya akan menjadi adik ipar Lahya. Ayasya yang berharap segera memiliki teman yang bisa diajak curhat dan main. Selama ini ia kesepian karena santriwati di ponpes abahnya tidak ada yang dekat dengannya. Dengan Ning Farah juga, mereka tidak sedekat itu, hanya beberapa kali bertukar cerita.

ALIFWhere stories live. Discover now