Zita meringis saat merasakan buku jarinya memanas setelah melakukan satu tinjuan.

“Kalau sakit, lo bisa pakai ini.” Adifa membuka telapak tangan, menunjuk area tumit tangannya, kemudian mencontohkan pukulan yang menekankan kekuatan di area itu. “Jangan pakai dorongan lengan aja,” ucap Adifa sambil menunjuk lengan bawah dan atas, lalu menunjuk bahunya. “Tapi pakai bahu lo juga.”

Zita memperhatikan Adifa--terutama bahu--saat lelaki itu kembali melakukan tinjuan dengan mengerahkan kekuatan dari ayunan lengan dan bahunya.

Saat keduanya fokus berlatih, pintu masuk terbuka, memunculkan Ridan dan Moza yang menyusul ke tempat itu.

“Kok lo di sini?” tanya Theo yang belum beranjak dari tempatnya berdiri.

“Dijemput Ridan, katanya buat temen latihan Zita,” jawab Moza sambil melihat ke arah Zita yang tengah berlatih meninju samsak.

“Kenapa nggak bilang gue lebih dulu?”

“Emang lo siapanya?” Ridan menyahut sambil tersenyum mengejek. “Cowoknya? Wajib banget lapor sama lo?”

Theo menatapnya sinis

“Gue tahu bakal ketemu lo di sini.” Moza menengahi. “Terus, lo di sini cuma mau nonton aja? Nggak ikut latihan?”

Theo mengalihkan pandangan, pertanyaan Moza membuat rasa bersalah kembali menggelanyut dalam dada. “Gue udah berhenti latihan ... sejak hari itu.”

Moza menatap Theo. Bibirnya terbuka untuk menjawab, tapi Theo lebih dulu memotongnya.

“Nggak usah dibahas.” Nada suara Theo mendadak tak bersahabat. “Lo sendiri yang bilang untuk nggak bahas ini lagi.”

Lelaki itu lantas pergi begitu saja. Ridan melirik Moza. Gadis itu menatap khawatir kepergian Theo, kemudian bergerak menyusulnya.

What's wrong with you?” tanya Moza, mengejar Theo yang tengah menaiki tangga ke lantai satu.

Theo terus berjalan, mengarah ke area kolam renang di rumah itu, kemudian duduk di kursi santai tanpa menyahut pertanyaan Moza. Ia menumpu siku di atas paha, kepalanya menunduk dengan kedua tangan meraup wajah.

Moza menghela napas. Theo memang selalu sensitif jika mengungkit apa yang terjadi padanya dua tahun lalu. Hanya saja, kali ini sikapnya tampak berbeda. Alih-alih menunjukkan rasa sesal atau rasa bersalah seperti yang biasa ia lakukan, kini Theo justru terlihat marah.

Something happen?”

Theo menggeleng.

Moza tak percaya, tapi sadar tak akan ada yang bisa ia lakukan jika Theo memilih diam. “Then, take your time.”

“Sori,” ucap Theo saat Moza berniat pergi. “Gue cuma nggak suka lihat lo ada di sini.”

Alis Moza bertaut, menatapnya menuntut penjelasan.

Kedua tangan Theo saling mengenggam, matanya memandang keruh ke depan. “Semuanya kacau. Mila buat masalah, Zita jadi terlibat, Reinaldi diancam, lalu soal keberadaan Hazel--”

Wait!” potong Moza. “Apa maksudnya Reinaldi diancam?”

Theo menoleh, menatapnya penuh keraguan. “Please, lo pulang, ya. Cukup bantu Mila waktu itu, kali ini gue nggak mau lo terlibat lagi.”

Pengusiran halus itu membuat Moza curiga ada sesuatu yang Theo sembunyian dan itu berkaitan dengannya. “Just tell me.”

Theo menatap kedua mata Moza secara bergantian, menimbang untuk buka suara atau tetap menjaga mulutnya tertutup rapat, hingga akhirnya embusan napas berat lolos dari hidungnya.

“Lo benar soal Reinaldi,” jawab Theo pada akhirnya. “Ada yang pengaruhi dia. Tanpa gue sebutin, lo pasti udah bisa nebak siapa orangnya. Dia ngasih Rei doping dan obat perangsang.”

Theo lantas menceritakan isi surat pemberian Reinaldi, termasuk ancaman yang tengah temannya itu hadapi.

“Gue yakin orang yang ngancam Rei itu Hazel, dan berdasarkan apa yang Reinaldi tulis, kayaknya ... Hazel adalah orang yang kita kenal.”

“Siapa?”

Theo diam sesaat, lalu menjawab. “Iddar.”

Dahi Moza berkerut.

“Gue mungkin berpikir kejauhan, tapi ....” Theo menunduk, menatap kedua tangannya yang saling bertaut. “Yang dulu terjadi sama lo, yang hampir Rei lakukan ke Zita karena pengaruh obat, dan soal Hazel yang merupakan adik Galen, bandar dari semua obat-obatan itu, entah kebetulan atau bukan, semua masalah ini terhubung ke Iddar.”

Moza diam, tak menginterupsi semua konklusi yang Theo jabarkan.

“Kalau ternyata Iddar bukanlah Hazel, gue masih merasa dia tahu sesuatu tentang Hazel.” Theo mendesah frustasi. Menatap Moza seperti tengah memohon. “Benar atau salah dugaan gue itu, gue cuma nggak mau lo berurusan sama dia lagi.”

Moza terlihat tenang, sama sekali tak terusik dengan semua yang Theo sampaikan. “Gue nggak apa-apa. Gue cuma mau bantuin lo dan Zita. Masalah gue sama dia, biar gue urus sendiri. Lo nggak perlu khawatir.”

“Gue cuma mau lo aman, Za.”

Mendengarnya, Moza tersenyum sinis. “Aman yang lo bilang dua tahun lalu justru nggak gue dapatkan.”

Ucapan itu membuat napas Theo tercekat. Tumpukan rasa bersalah yang selama ini dibawanya semakin terasa berat.

Moza mengembuskan napas, sadar kata-katanya sudah kelewatan. “Ini udah lebih dari dua tahun, lo pikir gue masih sakit hati sama apa yang dulu terjadi?” Moza menggeleng. “Gue baik-baik aja.”

Tiba-tiba, Theo menyentuh tangan Moza. Gadis itu reflek menepisnya seraya berdiri, mengambil jarak, memasang wajah waspada.

“See?” ucap Theo seraya berdiri, menatap Moza yang tengah menatapnya dengan napas terengah. “Mau sampai kapan lo bohong sama gue? Lo nggak pernah cerita apa-apa soal ini, tapi sejak kita ketemu lagi, gue bisa lihat kalau lo selalu risih, panik, bahkan ketakutan setiap ada yang sentuh lo.”

...

Tbc

...

Ada apa dengan Moza?

Ada apa dengan Moza?

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

080923

My True Me (END)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt