30. No Sanctuary

12 1 0
                                    

Orang-orang dari Penjara adalah penyintas sejati. Mereka terlatih menghadapi kawanan zombi yang mematikan, dan tentu saja bukan orang bodoh. Mereka mengumpulkan benda-benda tajam di dalam gerbong, akan digunakan pada saat waktunya.

"Mereka tampak cukup baik," kata Eugene. "Tapi aku siap pergi."

"Kita baru tiba di sini, tapi sudah waktunya pergi," imbuh Bob.

"Saat aku ceritakan pada mereka soal D.C., kedipan dan anggukan dari pemimpin bajingan itu, mereka keluarkan senjata dan langsung kembali berkelahi seperti biasa." Eugene masih seperti biasa, radio dengan super baterai yang membuatnya terus mengoceh tanpa lelah.

"Sebelum kau ditaruh di sini, kau tidak bertemu Tyreese?" tanya Han pada Sonequa.

"Tidak," jawab Sonequa.

"Bagus," kata Han. Ia berharap Tyreese di luar bisa melakukan sesuatu untuk menolong mereka.

"Mobil hitam dicat salib putih," kata Norman pada Lauren. Ia menceritakan bagaimana kehilangan Emily. "Aku berusaha mengikutinya. Aku berusaha."

"Tapi dia masih hidup?" tanya Lauren.

"Dia masih hidup," jawab Norman.


Mereka bekerja siang malam menciptakan persenjataan baru. Norman mengintip keluar. "Ada empat bajingan datang ke arah kita."

"Kalian tahu harus bagaimana!" tegas Andrew yang kembali jadi pemimpin. "Serang mata mereka dulu. Lalu tenggorokan mereka.

Mereka semua berdiri dan bersiaga.

Lalu terdengar perintah dari suara laki-laki di luar, "Bersandar di dinding atau di ujung gerbong! Sekarang!"

Tiba-tiba atap gerbong terbuka, dan bom asap dilemparkan masuk.

"Cepat!" seru Abraham.

Mereka semua tiarap ke ujung gerbong. 

Entah apa yang terjadi kemudian, Bob, Andrew, Norman, dan Steven, juga orang-orang lainnya yang semuanya adalah pria itu diseret keluar dari gerbong dan dihajar. Dibawa ke sebuah ruangan, di mana mereka memutilasi tubuh manusia. Mereka semua dibuat menekuk lutut menghadap sebuah paralon panjang. Lalu, dua orang algojo berjalan ke deretan paling ujung. Pria berambut pirang di ujung itu ketakutan.

Sebuah pemukul bisbol dihantamkan ke kepala pria itu. Setelah pingsan, lehernya baru digorok. Tewaslah dia. Darahnya mengucur ke dalam paralon tersebut. Semua lelaki di deretan berikutnya menjerit-jerit ketakutan.

Hal yang sama terjadi pula pada pria-pria berikutnya.

Sampai tiba giliran Steven. Ketika pemukul bisbol itu hampir dipukulkan kepalanya, sebuah pintu terbuka.

Ternyata Gareth datang, sambil membawa buku catatan. "Tinggal kalian berempat, ya?"

"Hey, biar aku bicara padamu!" seru Bob yang mulutnya disumpal kain. "Biar aku bicara sebentar."

Gareth melepaskan kain itu dari mulut Bob. "Apa?"

"Jangan lakukan ini," kata Bob. "Kita bisa perbaiki ini."

"Tidak bisa!" kata Gareth, sambil mau menutup kembali mulut Bob dengan kain.

"Kau tidak harus lakukan ini," kata Bob lagi. "Kami bilang ada cara untuk keluar dari semua ini. Kau hanya harus ambil peluang. Kami punya pria yang tahu cara menghentikannya. Dia punya penangkal. Kita harus bawa dia ke Washington. Kau tidak harus lakukan ini. Kita bisa kembalikan dunia seperti sebelumnya."

"Tidak bisa kembali, Bob," kata Gareth, yang kemudian kembali menyumpal mulut Bob.

"Kita bisa!" seru Bob. "Kau tidak harus melakukannya." Mulutnya kembali tersumpal, dan kata-katanya sudah tidak berarti lagi.

Live vs DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang