CHAPTER 38

429 63 37
                                    

Nih cerita kapan tamat sih:(

****

Sepasang iris ruby itu menyalak tajam lurus ke depan, membunuh siapapun di setiap kali seseorang memandanginya.

Pertarungan kembali berlanjut, disambut oleh kecepatan kilat Halilintar dan Retakka yang tengah meladeninya. Cepat sekali gerakannya, tak mampu diikuti oleh mata. Hanya kilat Halilintar dan cahaya Retakka yang terlihat.

Dari posisinya, Taufan hanya bisa terdiam. Menyimak pertarungan itu, menatap takjub kepada sang Kakak yang sedang bertarung mati-matian, menghiasi langit.

"Kak Hali hebat," Taufan bergumam pelan. Walau akhirnya dia tersadar dan kembali mencoba untuk meloloskan diri dari jeratan duri yang mengikat dirinya.

Taufan mendesis, menahan rasa perih. Di setiap kali Taufan mencoba untuk menarik tangannya dan melepaskan diri dari ikatan tersebut, semakin dalam pula luka tusukan yang Taufan rasakan. Semakin memperdalam, darah pun mengucur deras di antara pergelangan tangan Taufan.

Duh, bagaimana ini?

Taufan ingin membantu Halilintar. Keadaan sang Kakak sudah parah sekali. Sesekali Taufan melihat Halilintar yang muntah darah atau mimisan. Halilintar pasti tengah memaksakan diri sekarang.

Taufan harus membantu. Halilintar terluka parah juga karena dia selalu mencoba untuk melindungi Taufan dari Retakka. Kalau dibiarkan terlalu lama, maka Halilintar bisa....

"Kakak, hentikan!" Taufan berteriak tertahan, melontarkan tatapan ngeri sekaligus khawatir dikala ia mulai merasakan bahwa ada energi besar yang akan Halilintar gunakan untuk melawan Retakka.

Halilintar melemparkan pedang miliknya ke arah awan, memanipulasi langit.

Gemuruh perlahan terdengar, awan gelap mulai menghiasi seluruh penjuru angkasa. Menutupi cahaya menggunakan kegelapan. Kilat petir saling menyambar, saling bersautan antara satu dengan yang lain.

Gerakan Retakka terhenti, begitu pun dengan Halilintar yang mendarat di puncak pohon. Menatap datar serta dingin ke arah Retakka, tangan kanannya terangkat tinggi. Beberapa kali terlihat percikkan listrik yang mengalir di antara jemarinya.

"Kau terlalu memaksakan diri, Voltra. Apakah kau ingin membunuh dirimu sendiri dengan melepaskan kekuatan penuh seperti ini?" Retakka berucap, menyeringai lebar kepada Halilintar yang mematung.

"Kau tentu tahu apa risiko yang akan kau hadapi, bukan? Terlebih lagi, dengan kau yang sudah teracuni oleh obat itu. Aku kagum sekali disaat kau tidak terpengaruh dengan reaksi obat itu, seharusnya obat itu sudah menghancurkan ingatanmu. Tapi memandangi kau ini adalah Elemental yang kuat sekali, jadi hal yang wajar jika kau masih bisa bertahan sejauh ini."

Membuang napas pelan, Retakka sedikit menjeda kalimatnya. Halilintar pun sama sekali tak bereaksi, enggan menjawab apalagi menimpali. Terserah Retakka saja ingin bicara apa, Halilintar malas berbincang terlalu lama. Dia juga harus fokus mengumpulkan kekuatannya.

"Tapi jangan lupakan satu fakta yang harus kau perhatikan, Voltra. Kau mungkin masih bisa bertahan, tapi efek samping obat itu akan perlahan menggerogoti organ dalammu sedikit demi sedikit. Menghancurkan semuanya, maka dari itulah kau sedari tadi merasa kesakitan yang amat luar biasa kan? Itu karena tubuhmu mulai hancur."

WHAT IF [ END ]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora