CHAPTER 26

421 62 10
                                    

Malam yang mencekam. Udara dingin menghiasi sekitar dengan beberapa suara hewan yang terjaga di antara keheningan. Setitik cahaya hadir, kemudian membesar dan perlahan membentuk sebuah portal yang membuka lebar. Menampakkan beberapa orang dari dalam sana. 

Melangkah keluar dari portal, sepasang netra kebiruannya tampak sibuk memperhatikan sekitar yang terlihat remang. Minim pencahayaan menimbulkan suasana di Planet ini sedikit menyeramkan. Hanya sebatas cahaya benda langit yang menggantung di antara kanvas langit. 

"Woah," Taufan berucap takjub. Kepalanya refleks mendongak menatap hamparan benda langit yang berkelip elok di atas sana. 

Sedangkan Maripos, dia ikut melangkah di belakang Taufan. Dengan tangan yang masih menggenggam senjata andalannya, Maripos menatap awas. Sesekali melirik ke kanan dan ke kiri sembari menyapu sekeliling mereka. Mereka harus tetap waspada di tempat ini, terlebih lagi Planet ini dicurigai sebagai tempat persembunyian Retakka dan para komplotannya yang lain. 

"Jadi, instingmu membawa kita ke Planet ini, Beliung?" mengalihkan pandangan kepada Taufan yang masih sibuk mengagumi keindahan alam, Maripos memutuskan untuk bertanya. Hanya sebatas memastikan bahwa orbit yang dimaksud oleh Taufan memang akurat dan tidak keliru. 

Taufan membalas tatapan Maripos, lantas mengangguk membenarkan. "Ya, aku bisa merasakan kekuatan Kak Hali di sekitar Planet ini. Tidak salah lagi, dia pasti berada di sini, Maripos." 

Maripos mengangguk, dia sepenuhnya percaya dengan insting Taufan. Walau terdengar seperti ngasal dan sedikit ngawur, namun Maripos akan tetap mempercayai hal itu. Sebagai bentuk pengabdian dirinya terhadap Tuanku Kuputeri dan sebagai bentuk pengabdian Maripos terhadap kuasa Elemental angin, dia rela melakukan apa pun untuk melindunginya.

"Baiklah, aku percaya." Timpal Maripos. 

Taufan mengulas senyuman, entah mengapa dirinya merasa bahagia walau hanya sebatas mendengar ucapan sederhana yang terucap oleh Maripos. Dari banyaknya orang yang ragu akan keputusan dan kemampuan yang dimiliki, hanya Maripos yang tetap merasa optimis dengan keputusan Taufan. Bahkan, dia rela ikut bersama Taufan hanya untuk memastikan bahwa dia aman dari kekejaman Retakka walau rencana ini memang hampir mirip seperti bunuh diri. 

Setelah mengetahui semua itu, Maripos tetap memaksa ikut. 

"Terima kasih, Maripos. Kau sampai terlibat ke dalam masalah ini hanya karena aku bahkan setelah tahu kalau rencanaku ini tidak akan berjalan lancar." Taufan bergumam, sorot matanya perlahan meredup. Terdapat secarik kesedihan serta keraguan pada hati Taufan saat ini. 

Pada kenyataannya, Taufan memang selalu ragu dengan rencana ini. Maka dari itulah Taufan memutuskan untuk menghadapi masalah ini sendiri. Jika Taufan mengalami kegagalan, setidaknya teman-temannya yang lain tidak akan merasakan risikonya juga. Biarlah Taufan sendiri yang menanggung seluruh kegagalan itu, biarlah hanya dirinya saja yang menerima seluruh rasa sakit itu. 

Taufan tidak mau menjerat seluruh orang-orang yang dekat dengan dirinya untuk jatuh bersamanya. Jika dirinya jatuh, maka cukup Taufan saja yang terjatuh. Jangan yang lain, cukup dirinya saja. 

Menghela napas pelan, Maripos memejamkan kedua matanya perlahan. Sekilas mengalihkan wajahnya ke arah lain, tepat mengarah kepada langit. Maripos tak suka melihat mata Taufan yang senantiasa dipenuhi oleh kesedihan. Walaupun bibir Taufan selalu memancarkan senyuman manis yang mempesona, tetap saja Taufan tidak akan mampu untuk menutupi kesedihan yang tersimpan di antara mata birunya tersebut. 

Setiap kali Maripos menatap manik biru itu, di saat yang bersamaan Maripos mendengar teriakan bisu milik Taufan. Anak itu selalu ingin bebas. Anak itu selalu ingin terbebas dari aturan yang mencoba tuk mengekang pergerakannya setiap saat. Layaknya angin yang berhembus, Taufan pun ingin terbang bebas tanpa keraguan. 

WHAT IF [ END ]Where stories live. Discover now