[56] - The Hidden Truth?

28.2K 1.8K 79
                                    

Nara merasa ini bukanlah hal yang benar. Matanya sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan kirinya, waktu yang tersisa kurang lebih sepuluh menit lagi. Pria itu akan datang menjemputnya. Namun, hingga menit-menit terakhir, Nara masih menimbang keputusannya untuk tetap pergi atau tidak.

Nara takut perasaannya akan semakin berlarut larut jika dia dan Dimas terus bersama. Menjauh selama bertahun tahun saja belum mampu menghapus perasaan Nara terhadap pria itu, lantas bagaimana jika mereka selalu bersama? Bukankah ini akan sangat riskan? Tidak. Ini tidak boleh. Nara harus mencegah hal ini sebelum terlambat.

Nara mengeluarkan ponselnya segera, hendak menelepon Dimas. Dia bisa beralasan sedang sakit. Nara yakin Dimas pasti akan mengerti. Namun, belum sempat Nara melakukannya, bunyi mesin mob yang berhenti tepat di depan kosannya terdengar oleh telinganya. Bersamaan dengan itu, terdengar nada dering dari ponselnya membuat Nara tersentak. Sial. Ini sudah terlambat.

"Halo? Saya sudah di depan."

"Di depan?"

"Iya. Kamu sudah siap?"

"Ah … iya." Nara bangkit dari duduknya. Nampaknya, dia sudah tidak punya pilihan. "Bentar, saya keluar dulu."

"Oke."

Nara menghela nafas sambil berjalan menuju pintu kosannya. Dimas sudah berdiri di samping mobilnya sambil menyilangkan tangan.

"Saya pikir kamu akan berubah pikiran," ucap Dimas, menyeringai.

Yeah, Nara sempat berpikir akan hal itu. Namun, tuhan tidak mengizinkannya.

Dimas kemudian mendekat dan membukakan pintu mobil untuk Nara. Di dalam mobil, Dimas mendekat hendak memakaikan seatbelt untuk Nara. Namun, sebelum itu terjadi, tangan Nara lebih dulu menarik tali tersebut.

"Saya bisa sendiri," Nara memasang seatbelt-nya segera membuat Dimas terlihat salah tingkah. Pria itu memundurkan tubuhnya segera kemudian mengangguk pelan. "Oh … oke?"

Jika Dimas melakukan hal ini tiga tahun silam Nara tentu tidak akan menolak. Hal ini sudah menjadi kebiasaan rutin pria itu ketika mereka berkendara. Namun, untuk saat ini tentu saja berbeda.

"Kamu mau brunch dulu atau…?"

Nara menggeleng. "Kita langsung ke sana saja."

"Oke. Saya singgah beli bunga dulu kalau gitu," ucap Dimas mulai menjalankan mobilnya perlahan.

Bersamaan denga lagu yang mengalun indah dari radio mobil, Dimas membawa mobilnya membelah kota Jakarta. Efek bepergian saat weekend,
arus kendaraan terlihat cukup lengang. Dimas sesekali bergumam kecil mengikuti beberapa lirik yang terdengar dari balik radio. Sedangkan Nara yang duduk di sebelahnya hanya diam sambil memainkan ponselnya.

"Kamu lagi pms ya?" Dimas menoleh sekilas.

Nara mengernyit. "No, kenapa?"

"Sejak tadi muka kamu ditekuk mulu. Saya jadi sungkan buat ajak ngomong."

"Saya kayak gini cuman sama kamu!"

Bukannya tersinggung, Dimas malah tertawa senang. "Kamu pernah mendengar perumpamaaan benci dan cinta hanya setipis kulit bawang? Mulut kamu memang mengatakan kamu benci saya, tapi hati kamu gak bisa bohong, Nara."

Nara hanya menggeleng heran. Enggan menanggapi guyonan Dimas. "Kamu berapa hari di Jakarta?" tanya Nara mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Besok saya bakal balik lagi ke Makassar."

Nara mengernyitkan alis. "Besok? Bukannya kamu baru balik kemarin?"

Dimas mengangguk. "Progress proyek di Makassar sudah berjalan hampir 80%, bentar lagi finishing. Saya mesti sering ke sana buat handle proses pengerjaannya secara langsung."

Married by AccidentWhere stories live. Discover now