[23] - The (white) Lies?

28.3K 2K 31
                                    

Dimas menghela nafas, menatap pekarangan rumah orang tuanya. Hari ini, Dimas berencana menjemput Nara setelah meninggalkan wanita itu selama tiga hari di rumah orang tuanya. Dimas sudah sampai sejak sepuluh menit yang lalu. Namun, pria itu memilih berdiam di dalam mobil, berusaha mengulur waktu. Dimas tahu dirinya pantas mendapat kemarahan Nara. Perbuatannya malam itu pasti membuat wanita itu kebingungan.

Dimas memijat pelipisnya. Otaknya berusaha keras merancang rentetan kata pengampunan. Dimas bahkan rela jauh-jauh ke Depok untuk membeli kue pancong kesukaan wanita itu. Seperti saran Danu, wanita mudah luluh dengan dua hal, makanan atau bunga. Karena tidak bisa memilih salah satu, Dimas memilih keduanya. Dia juga menyiapkan sebuket bunga lily putih, bunga kesukaan Nara, sebagai pelengkap permohonan maafnya.

Dimas mengakui dia tidak terbiasa melakukan hal seperti ini. Dia juga bukan tipikal pria romantis yang akan selalu berkata I LOVE YOU kepada pasangannya. Oleh karena itu, Dimas meminta saran kepada Danu yang lebih berpengalaman dalam urusan percintaan dibanding dirinya.

Dimas menoleh saat mendengar ketukan pelan di kaca mobilnya. Pak Agus, tukang kebun rumahnya, berdiri di hadapannya dengan wajah kebingungan.

"Mas Dimas kenapa gak masuk? Lagi nungguin seseorang?" Tanya Pak Agus begitu Dimas menurunkan kaca mobilnya.

Dimas mengusap tengkuknya."Ah... nggak, Pak. Ini saya mau masuk, kok."

"Kirain lagi nungguin seseorang, soalnya saya lihat Mas Dimas gak turun-turun dari mobil."

Dimas tersenyum kecut. "Nggak, Pak."

"Ya, udah. Saya masuk dulu, Mas Dimas."

Dimas mengangguk.

Dimas menghela nafas. Tangannya meraih buket bunga dan box kue pancong yang dibelinya untuk Nara sebelum berlalu keluar mobil.

Bik Darmi adalah orang pertama yang Dimas dapati ketika memasuki rumah. Wanita berusia lima puluh lima tahun itu terlihat serius mengepel lantai ruang tamu sambil mengumandangkan lagu yang liriknya tidak terdengar jelas di pendengaran Dimas.

"Bik Darmi, liat Nara?"

Bik Darmi mengangkat wajahnya, terkejut dengan kehadiran dimas yang tiba-tiba. "Eh, Den Dimas. Non Nara ada di taman belakang sama Ibu."

Dimas mengangguk. "Terima kasih, Bik."

Dimas melangkahkan kakinya menuju taman belakang. Mendapati Mamanya berada di sana, sedang berkebun bunga. Mama punya banyak koleksi pot dengan berbagai jenis tanaman di halaman belakang. Tapi, akhir-akhir ini bunga aster putih tampaknya menjadi kesukaan Mama.

Semenjak kepergian Rion, Mama menyibukkan diri dengan banyak hal seperti berkebun bunga dan membuat kue. Dimas tahu ini salah satu cara Mama mengurangi kesedihannya. Kepergian Rion secara tiba-tiba sewaktu Mama masih menjalani pengobatan penyakitnya sempat membuat kondisi mama drop. Dimas bersyukur Mama bisa melewati itu semua.

Awalnya, Dimas merasa khawatir hobi Mama akan membuatnya mudah kelelahan dan berakibat fatal untuk kesehatannya. Mama juga baru sebulan yang lalu selesai melakukan rangkaian kemoterapi. Namun, dokter mengatakan tidak mengapa. Selama Mama melakukan hobi positif yang bisa membuatnya senang, itu akan berdampak baik untuk kesehatannya.

"Ma...," ucap Dimas, berdiri di belakang Mamanya.

Mama membalikan badannya. "Loh... kapan datang, Nak?" Mama melepas kaus tangan plastiknya dan memeluk Dimas. "Mama gak sadar kamu datang."

Dimas tersenyum hangat. "Barusan kok, Ma." Dimas mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari sosok wanita itu. Dimas tersenyum tatkala manik matanya menangkap sosok wanita yang dicarinya sejak tadi. Wanita itu duduk di kursi malas, fokus menatap kolam renang di hadapannya. Rambut panjangnya diikat asal-asalan, menyisakan beberapa helai anak rambut yang dibiarkan tergerai beras. Dimas penasaran hal menarik apa yang menarik perhatian wanita itu sehingga tidak menyadari kehadirannya. Dimas menoleh kembali ke Mama. "Papa lagi keluar, Ma?"

Married by AccidentWhere stories live. Discover now