[17] - The Denial Phase?

27.7K 1.8K 15
                                    


"I think you love him, Ra " balas Nadia ketika Nara menyelesaikan ceritanya.

Mereka berbicara melalui loudspeaker telepon. Nara merasa perlu menceritakan apa yang dia rasakan beberapa hari terakhir soal Dimas dan Nadia adalah orang yang tepat. Nara tidak mempunyai banyak teman, khususnya teman untuk tempat berbagi seperti Nadia. Dulu, dia punya beberapa teman kecil. Namun, teman masa kecilnya berada di kampung dan kebanyakan mereka lost contact dengannya ketika Nara memutuskan kuliah di Jakarta.

"Gue?" Nara mengangkat wajahnya. Menatap untaian benang wol yang berserakan di hadapannya. Belakangan ini, merajut menjadi salah satu hobi Nara. Kandungan yang semakin membesar membuat Nara lebih sering menghabiskan waktu di rumah dan merajut adalah salah kegiatannya untuk mengisi waktu luang. Hasil rajutannya belum begitu banyak. Kemarin, Nara baru menyelesaikan dua buah kaus kaki berwarna biru tua, setelah mengerjakannya selama seminggu lebih. Untuk hari ini, Nara berencana membuat sweater dengan motif teddy bear.

"Iya, lo cinta sama Dimas. Lo cerita kan kalau lo gak suka liat Dimas dekat sama cewek lain. Itu kalau bukan cinta namanya apa coba?"

"Maybe... I just admire him?" Nara meletakkan hakpen dan sweater yang baru setengah jadi itu di atas meja. Perhatiannya kini tertuju sepenuhnya pada panggilan dibalik telepon. "You know the way he treats me, right?"

"I know!" Nadia menghela nafasnya di ujung telepon. "Tapi kalau cuman kagum, gak mungkin lo cemburu liat Dimas dekat sama cewek lain. Lagian wajar kali lo naksir sama dia. I mean.... He is Pratama Dimas Maheswara, Ra! He is 10/10! Gue kalau jadi lo, bakal dengan senang hati jatuh cinta sama Dimas."

"What?"

Nadia tertawa keras. "Sorry, I am joking. He is so lovable and the way he treats you, you know so... gentleman?"

Nara mengangguk, walaupun Nadia tidak bisa melihatnya. "But I think I can't fall in love with him, Nad!"

"Karena dia kakak Rion? Oh come on, Ra. Dimas itu suami lo."

"Bukan cuman itu!"

"Terus?"

Nara menghela nafas, ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dimas dulu.

Nara menundukkan kepala, menghindari tatapan pria di hadapannya. Berada di ruangan yang sama dengan Dimas setelah pembicaraan mereka tadi terasa sangat canggung baginya. Sampai saat ini, Nara belum memutuskan apa jawaban untuk tawaran Dimas tadi. Seperti kata Dimas, ini bukanlah keputusan yang mudah dan Nara akan memikirkan hal ini dengan matang. Nara ingin pergi terlebih dahulu, namun melihat pria itu masih menikmati kopinya membuat Nara menahan diri.

"Nara.... Mari membesarkan anak ini berdua. Saya tidak bisa janji akan menjadi suami dan Ayah yang baik, tapi saya akan berusaha." Dimas meletakkan cangkir kopinya di atas meja. "Dan juga, lupakan soal ucapan saya tadi, kalau cinta akan tumbuh karena terbiasa. Kalau bisa jangan jatuh cinta kepada saya karena jika itu terjadi semuanya akan menjadi rumit!"

Nara mengernyitkan dahi, bingung dengan ucapan yang keluar dari mulut pria itu. Pria itu mengajaknya menikah, namun di sisi lain pria itu juga memintanya untuk tidak jatuh cinta. Walaupun hal yang berurusan dengan cinta-cintaan memang bukan menjadi prioritas Nara saat ini, namun hal ini tetap saja terasa membingungkan baginya.

"Kenapa?" Nara membuka suara. Meskipun alasan Dimas mengajaknya menikah untuk bertanggung jawab terhadap bayi yang dikandungnya. Namun, tetap saja bagi Nara pernikahan adalah hal yang sakral.

Pria itu menatap Nara lekat sebelum berkata. "Saya tidak ingin menjadi orang ketiga dalam hubungan kamu dan Rion."

"Serius? Dimas bilang gitu ke lo?"

Nara menghela nafas. "Iya."

"Mmm... ini lebih rumit dari yang gue kira." Nadia terdiam lama sebelum melanjutkan. "But you can't control your feelings, Ra. You can't control who you fall in love with. Dan juga soal Rion, I think you don't love him anymore, right? After what he did to you!"

"Maybe?" jawab Nara ragu.

"Oh come on, Ra!"

"Gue juga bingung dengan perasaan gue gimana, Nad. Meskipun Rion udah gak ada, hubungan kami gak sesimpel itu. Lo tau kan gimana keadaan gue saat ini?" Nara menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. "This baby reminds me so much of him."

"Sorry, Ra. Gue gak bermaksud-"

"No. It's okay. Gue emang lagi sensitif akhir-akhir ini."

"Are you okay?"

"I am fine." Nara menghapus air matanya yang menetes. Beberapa hari belakangan, dia memang menjadi lebih sensitif dan mudah menangis. Seperti kemarin, Nara menangis seharian setelah menonton video rescue kucing jalanan, membuat Dimas khawatir dengan keadaanya. Nara sempat menanyakan hal ini kepada Giselle. Namun, Giselle mengatakan bahwa ini hal yang wajar karena perubahan hormon yang terjadi.

"Ra, are you still there?"

Nara tersadar. "Nad, I will call you later."

"Oh okay. Bye?"

"Bye!"

Nara melangkah menuju ruang tamu saat mendengar suara berisik. Dia hanya berdua dengan Bik Rum, jadi pasti ada orang lain yang datang ke apartemen saat ini. Di hadapannya, Nara melihat Tante Ajeng serta Mbak Dina, asisten pribadi Tante Ajeng sibuk mengatur bawang bawaan yang isinya Nara tidak tahu apa. Barang bawaannya sangat banyak. Nara menghitung ada sepuluh kardus berukuran besar hingga kecil yang memenuhi seisi ruang tamu yang tadinya luas terasa sempit.

Nara menghampiri Tante Ajeng yang sibuk berbicara dengan Mbak Dina. Kondisi Tante Ajeng yang terlihat lebih bugar membuat Nara tersenyum senang.

Nara meraih tangan Tante Ajeng dan menempelkannya di dahi. "Mama dari tadi datangnya?"

"Sepuluh menit yang lalu. Mama nelpon kamu, tapi telponnya sibuk. Kamu telponan sama Dimas? Mama telpon Dimas juga teleponnya sibuk."

Nara menggeleng. "Nara telponan sama teman, Ma."

"Dimas ganti password apartemennya, ya? Tadi Mama coba password yang dulu gak bisa."

Nara mengedikkan bahu. "Dimas gak pernah bilang soal itu, Ma. Tapi password apartemen yang sekarang memang pakai tanggal pernikahan kami." Nara menatap tumpukan kardus di hadapannya. "Mama bawa apa?"

"Mama bawa keperluan buat bayi kalian. Kamu pasti gak sempat buat beli, jadi Mama Minta tolong Dina buat beliin."

"Thank you, Ma. Nara jadi repotin Mama dan Mbak Dina," ucap Nara, tulus.

"Gak apa-apa, Sayang. Ini juga kan buat cucu Mama." Tante Ajeng menoleh ke Dina. "Apa kata dokter Frans, Din? Dia sudah di Jakarta"

"Katanya sudah di bandara, Bu. Setelah itu beliau langsung ke rumah sakit," jawab Mbak Dina.

"Mama mau pergi check up?" tanya Nara ikut menanggapi.

Tante Ajeng mengangguk. "Iya. Mumpung dokter Frans lagi di Jakarta." Tante Ajeng meraih Nara dan memeluknya. "Ya udah, Mama pergi dulu. Nanti bilang ke Dimas kalau Mama ke sini soalnya kita gak sempat ketemu."

Nara mengangguk.

"Rum, saya pergi Dulu," ucap Tante Ajeng ke Bik Rum yang berada di pantry. Letak pantry dan ruang tamu bersebelahan tanpa dinding pemisah sehingga suara dari ruang tamu dapat dengan mudah terdengar.

"Iya, Bu."

***

Bab 16 sudah di-update. Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca. Love peace and gawl💞✌

Married by AccidentWhere stories live. Discover now