23 | Sudah Jam Tiga

9.4K 1.8K 193
                                    

Sembilan delapan... sembilan sembilan... seratus.

Bas jatuh terkapar ke lantai, napasnya terengah. Keringat sebiji jagung mengalir dari pelipis sampai lengan yang setengah keram. Laki-laki itu menatap langit-langit kamar. Selarik cahaya matahari melesat masuk dari pantulan kaca jendela.

Tidak jauh dari sana, gemuruh roda kereta api menggilas rel terdengar.

Bas memejamkan mata. Seratus kali push-up ternyata tidak juga berhasil mengusir jauh-jauh memori tentang dua remaja pemberontak yang duduk bersebelahan di palang kereta api tua dari dalam kepalanya. Rasanya Bas ingin gegar otak saja sekalian supaya dia bisa lupa. Lupa pernah mendengar cerita apa dari Jakarta sebelah sana. Lupa pernah merasakan apa dengan siapa. Brengsek.

"BAS!"

"Woi, mana nih, jagoan kita?"

"Cuan kitaaa nih, brok!"

Seru-seruan konyol itu menembus telinga Bas sampai lantai atas. Laki-laki itu mendengus, membuka mata. Bas bergerak bangkit dan memakai bajunya. Dari bawah, Wulan berteriak memanggil. Pasti mengomel karena teman-teman Bas berisik.

Bergegas menuruni tangga, Bas sempat berhenti untuk menenggak air putih banyak-banyak dari gelas di meja makan. Wulan sedang menyapu. Bas naik ke atas kursi waktu wanita itu bergerak di dekatnya.

"Ini apaan, Teh?"

Wulan hanya melirik sepintas pada amplop cokelat yang Bas perhatikan di atas meja.

"Dari koperasi."

"Ibu minjem lagi?"

"Iya, lah. Mau bayar rumah sakit pake apa?"

Bas bungkam. Laki-laki itu meletakkan gelasnya. "Ibu tahu kan, kenapa gue nggak bisa kasih tabungan gue?"

Wulan menarik napas tajam. Sapunya disandarkan. "Ibu nggak tahu lo punya tabungan. Gue nggak bilang. Karena percuma juga dia tahu. Lo nggak mau kasih—"

"Nggak bisa."

"Sama aja!" desis Wulan. "Lo tuh, keras kepala, Bas. Lo boleh temenan sama anak-anak kayak Ale, tapi otak lo tuh jangan ikutan idealis mampus. Di sini kita yang penting hidup!"

Bas menggertakkan gigi. "Gue cariin duit lain, Teh. Bilang ke Ibu tenang aja."

"Lo mau cari duit gimana? Lo pikir gampang?"

"Lo nggak perlu tahu."

"Bas!"

"Gue cabut dulu."

Wulan hanya bisa menggeleng pasrah ketika Bas beranjak. Perempuan itu sudah akan membiarkan adiknya pergi ketika teringat sesuatu. "Kemarin Ale ke sini."

Langkah Bas otomatis berhenti. Wulan mungkin tidak sadar, tapi tubuh Bas yang sejak tadi berkeringat mendadak beku. "Ngapain?"

"Nyariin lo. Katanya nggak semua masalah hidup bisa dikelarin pake fight."

Satu kalimat itu meninggalkan Bas tertegun selama beberapa detik utuh.

Pandangan laki-laki itu perlahan jatuh ke amplop cokelat di atas meja, kemudian beralih pada gerombolan yang sedang mengobrol ramai di depan rumah.

"Gua kemarin taruhan di bawah lima menit, sih."

"Elah, udah pasti lebih! Lo kayak nggak tahu Bas aja, dikasih tipis-tipis dulu biasanya sama dia."

"Nah, lama-lamain lah, jarang ada tontonan seru gini."

Orang-orang yang sudah merogoh kocek dalam-dalam untuk Bas. Untuk hari ini. Untuk menyaksikannya menghabisi panglima perang Bina Indonesia.

Kita Butuh Kapasitas SemestaWhere stories live. Discover now