3 | Jendela Kontrakan

15.1K 3.2K 182
                                    

Korek itu tidak mau menyala. Sebrutal apa pun Bas menggasak roda pemantik, percik temaramnya tidak disambut bara.

"Brengsek," sungut laki-laki itu sembari menurunkan rokok dari bibir, urung disesap. Wulan mungkin masih menyimpan korek lain, tapi selain dia masih tidur, Bas juga terlalu malas turun ke bawah.

Toh hari ini dia bakalan tidak masuk sekolah. Kena skors bersama segelintir pemuda sial yang diseret ke kantor polisi semalam. Ibu tidak banyak komentar, cuma tanya siapa yang meninggal. Bas bilang dia tidak kenal. Dia tidak bilang dia tidak peduli, walau kenyataannya begitu.

Tawuran paling berdarah sejak 8 tahun terakhir, katanya. Bas tidak tahu memang itu fakta atau judul beritanya dipelintir saja. Media sekarang makin bobrok. Dulu waktu masih zamannya, Bapak suka keliling kampung memungut koran tetangga di kisi-kisi pagar. Ujung-ujungnya dibakar di lapangan. Bas cuma tahu sekarang sudah tidak ada lagi warga sini yang langganan koran.

Bapak ikut membangun gang ini, makanya orang-orang jadi segan. Tapi Bas yakin bukan cuma perkara itu. Perkara mereka bisa mati kena hajar kalau berani melawan, lebih tepatnya. Bulan lalu aparat datang bawa upeti damai, pasalnya tanah ini mau diratakan jadi stasiun sentral. Tiga sedan ngebut pulang usai Bapak acung-acung golok dari pos ronda.

Sekarang, sejauh mata Bas memandang dari jendela lantai dua kontrakan yang kacanya pecah kena lempar bocah main bola, gang sempit ini penuh spanduk olok-olok pemerintah. Bapak tidak sudi digusur, jadi satu kampung mendukung. Ajudan walikota diludahi kalau datang ke sini. Meski Bas tidak yakin upaya rakyat seperti mereka akan ada hasilnya. Jakarta kebal kemanusiaan kalau sudah urusan pembangunan.

Selain harga diri Bapak, Bas sendiri tidak melihat masalah lain yang datang dari penggusuran. Kecuali Wulan. Mungkin.

Kepala Bas digeleng kasar. Pikirannya diusir waktu suara tangis bayi menabrak dinding. Merayap di tangga. Bas mau tidak mau menoleh, menguap akibat belum sempat tidur.

"Teteh! Bangun! Ganis nangis!" teriaknya.

"Udah denger! Emang Teteh budeg?"

Teriakan balasan dari bawah membuat Bas sedikit terkekeh. "Bagi korek, Teh! Di kamar ada, nggak?"

"Ada! Cari sendiri!"

Baru Bas bangkit. Dia jarang masuk kamar Wulan. Apalagi setelah Rengganis lahir.

Di keluarga mereka, privasi harganya murah. Tadinya Bas tahu semua tentang hidup Wulan. Rencana-rencana masa depan yang cicak di dinding pun tidak boleh dengar. Tapi sejak Wulan jadi ibu, Bas merasa mereka dipisahkan dunia yang berbeda. Meskipun Bas juga tidak mau banyak tanya.

Kamar itu hangat dan berbau Wulan. Bas ingat masa-masa kakaknya mendekam di sini. Mual-mual entah karena hamil atau karena digunjing tetangga. Ibu cuma mau ke pasar kalau diantar Bapak. Baru setelah Rengganis lahir, satu gang ikut minta menggendong.

Korek itu ada di laci paling atas. Di atas foto laki-laki berseragam angkatan.

Bas mendengus. Mungkin Wulan sengaja menaruhnya di sana. Berangan-angan membakar lembaran itu beserta kenangannya.

Hari itu, setahun lalu, bisa jadi hari paling aneh yang pernah Bas tahu. Bapak duduk di samping ranjang Wulan, memeluk anak gadisnya yang tersedu-sedu. Ibu di dapur, tidak mau berhenti menggoreng jatah telur satu minggu. Bas sudah siap jadi pembunuh kalau bajingan itu tidak duluan kabur ke luar pulau.

Kelahiran Rengganis jadi obat, meski tidak seluruhnya. Tidak akan pernah seluruhnya.

Bas mencomot korek dan menutup laci. Dari luar jendela kontrakan, terbit matahari.

bersambung

Kita Butuh Kapasitas SemestaWhere stories live. Discover now