16 | Spektrum

11.4K 2.4K 795
                                    

Bas tidak ada kegiatan sore itu, jadi dia pikir tidak ada salahnya mengantar Ale pulang sampai depan gapura. Jelas ada salahnya, setelah dipikir dua kali. Bas merasa Ale tidak harusnya pulang sendirian. Entah sejak kapan. Padahal Bas tahu benar Ale tidak butuh perlindungan.

Mungkin gara-gara soto buatan Ibu tadi siang. Tapi rasanya itu juga bukan salah si soto.

"Baskara artinya matahari, kan?"

"Iya."

"Aditya juga."

Bas sedikit meneguk ludah. Laki-laki itu tidak tahu kenapa percakapan singkat nan tidak penting bisa begitu lama mendiam di belahan otaknya, terputar ulang setiap lima menit sekali. Dia bahkan masih bisa mendengar suara Ale waktu gadis itu bilang—

"Kadang gue ngerasa lo lebih 'rumah' dari rumah gue."

"Bas!"

"HAH?"

Masih gadis yang sama yang bicara, tapi kali ini alis Ale ditekuk kesal. "Ngelamunin apa sih, anjing? Dipanggil nggak nengok-nengok!"

Bas menggaruk tengkuk. "Sorry, sorry. Apaan?"

Ale mengedikkan kepala ke arah langit. "Kayaknya mau hujan."

Bas ikut mendongak. Ale ternyata benar. Angkasa sudah semi abu-abu gelap. Angin berembus sedikit lebih kencang. Gemuruh terdengar di kejauhan. Satu rintik jatuh ke kening Bas.

"Waduh. Apa mau balik ke kontrakan dulu?"

Ale belum sempat menjawab ketika gerimis tiba-tiba jatuh saling menyusul. Butir air besar-besar mendadak menderas. Gadis itu mendecak seiring Bas refleks menggenggam jemarinya dan menarik Ale berlari kembali menuju kontrakan. Belum setengah jalan, baju mereka sudah separuh kuyup.

"Eh, neduh dulu lah!" teriak Ale mengalahkan guntur.

Bas mengusap wajahnya yang diterpa hujan. "Di pos aja!"

Pos yang laki-laki itu maksud sebenarnya bangunan persegi kecil dengan tembok biru mentereng dan atap seng. Lokasinya memang strategis di tengah-tengah gang. Ale biasanya melihat satu-dua preman nongkrong di sini, tapi sore itu sunyi. Tidak ada anak-anak kecil bermain sejak cerita Bas soal rentenir. Hanya ada asbak penuh abu rokok di tengah-tengah lapisan keramik yang jadi tempat duduk.

Deras hujan menubruk seng di atas kepala mereka dengan berisik.

"Basah, ya?"

"Menurut lo?" omel Ale, menyeka rambut yang lepek ke belakang kepala.

Bas terkekeh. Kaos hitam tanpa lengannya menempel sempurna di tubuh karena air hujan. "Sorry, sorry. Gue kira tadi bakal keburu kalau kita lari ke kontrakan."

Ale masih cemberut, meski lama-lama kerucut di bibirnya hilang. Gadis itu menatap tirai air yang mengalir dari atap pos, jatuh meresap ke sela-sela paving.

"Ngeri, nih, kalau banjir."

Gadis itu menoleh pada Bas. Ale jarang mendengar keluhan itu. Mungkin karena setiap kali hujan turun dan dia memandanginya dari balik jendela kamar, Ale tidak pernah berpikir apa-apa. Suhu AC bisa diatur, jadi gadis itu tidak akan pernah merasa kedinginan. Apalagi bertanya-tanya soal bagaimana kalau rumahnya kebanjiran.

Bas menyisiri rambut gondrongnya yang basah dengan jemari.

Selama ini, Ale pikir, dia sudah hafal seluruh isi Jakarta sampai rasanya memuakkan. Deretan bangunan serupa di perumahan, minimarket dua puluh empat jam, klakson di setiap lampu merah, bordiran lencana seragam sekolah elit. Tapi sisi lain ibu kota yang ini, yang Bas bawa masuk ke dunia Ale begitu saja, bersamaan dengan hujan, aroma tidak sedap, dan ketakutan-ketakutan baru tentang hidup, membuatnya berpikir— mungkin Jakarta tidak seburuk itu.

Kita Butuh Kapasitas SemestaWhere stories live. Discover now