11 | Matahari dan Bulan

12.5K 2.6K 553
                                    

Ale lahir persis 30 hari sebelum Kenan. Mungkin itu yang membuat alam bawah sadarnya berpikir dia lebih besar dan lebih kuat.

Waktu masih balita, Ale pernah mencengkeram tangan mungil Kenan sampai warna kulitnya berubah biru. Kia, kembaran Kenan, berteriak memanggil ayah-bundanya, lalu satu perumahan heboh. Kenan tidak menangis, tidak mengeluh, hanya cengengesan. Entah karena rasanya memang tidak sakit, atau karena dia berpikir Ale tidak akan pernah menyakitinya.

Untuk ukuran balita, Kenan punya rasa percaya yang besar pada balita lain. Apalagi balita brutal macam Ale.

Dari awal jatah cuti melahirkan habis sampai Nada jadi lawyer andalan firmanya, rumah seberang jalan selalu jadi tempat tujuan Ale. Sarapan, bermain siang-malam, lalu dijemput untuk pulang. Kadang, kalau Nada lembur, Ale menginap. Kenan dan Kia punya tempat tidur tingkat. Jadi kalau ada Ale, dia selalu tidur di kasur atas. Kenan di bawah, sedangkan Kia tidur di kamar Om Alan dan Tante Laras.

Ale dan Kenan tidak pernah bisa tidur cepat. Jadi setengah malam akan dihabiskan dengan mengobrol, mengoceh, bertengkar, apa saja. Besok beli permen biru yang waktu itu kita lihat, yuk? Rencana-rencana konyol tentang bagaimana hari mereka akan dihabiskan. Mangga yang di rumah pojok itu kayaknya bisa dicolong, deh. Perdebatan-perdebatan sepele. Ah, ntar Kia lapor Bunda. Persekongkolan khas anak-anak. Yaudah, nggak usah ajak Kia.

Ale tahu mungkin ada yang salah dengan dirinya. Sejak pertama kali diperkenalkan dengan rumah boneka dan alat masak-masakan Kia, Ale sudah tidak tertarik. Dia biasanya cabut untuk menonton Kenan menyusun arena balapan hot wheels atau mengekor bocah laki-laki itu ke teras, mengejar-ngejar bola oranye mini.

Segala sesuatu di sekitar Kenan terasa begitu menyenangkan untuk Ale, dan baru belakangan dia sadar mungkin semua itu tidak ada kaitannya dengan permainan-permainan yang Kenan punya. Karena waktu rapor kelas empat Kenan jeblok dan semua mainannya disita, Ale ikut duduk di sebelah laki-laki itu di pelataran rumah. Ale tidak suka Kenan menangis sendirian, jadi dia ikut menangis. Padahal hari itu Ale dapat ranking dua. Ranking satunya Kia.

Kia memang spesies berbeda, kalau menurut Ale. Dia juga tidak yakin bagaimana bisa Kenan dan Kia lahir sebagai saudara kembar. Kenan paling rewel kalau sudah disuruh membuka buku pelajaran, sedangkan Kia selalu jadi yang paling betah menghafal catatan. Keduanya jarang akur, dan kadang Ale ingin jadi penengah yang biasanya ada di buku paket Kewarganegaraan. Kalau ada teman yang bertengkar, kita harus apa? Jawabannya selalu mendamaikan.

Tapi Ale pikir, dia tidak punya bakat itu. Dia tidak punya kata-kata bijak untuk dituturkan. Dia cuma bisa duduk diam dan berharap keberadaannya cukup. Dunia Kia selalu terasa jauh, jadi Ale memilih Kenan. Kenan terasa dekat. Terlalu dekat.

Semakin mereka tumbuh besar, Ale sadar duduk diam saja mungkin tidak cukup. Ale sudah bilang, dia selalu berpikir dia lebih besar dan lebih kuat daripada Kenan. Jadi waktu ada bocah sok jagoan yang iseng menyembunyikan kacamata Kenan, Ale tidak duduk diam, dia berdiri. Kali ini Nada dipanggil ke sekolah untuk mengganti biaya pintu loker yang semuanya jebol Ale tendang.

Di antara mereka berdua, Ale selalu jadi yang lebih berani. Dia menghabiskan tahun-tahun berikutnya menjaga Kenan dari preman-preman sekolah. Kemudian mereka masuk SMP. Kenan belajar main gitar dan telinga Ale dipaksa mendengar nada-nada sumbang. Laki-laki itu nekat mendaftar ekskul band, lalu namanya mulai benar-benar dikenal sejak pensi 17 Agustus-an.

Kenan Aditya? Yang anak band itu? Yang gitaris, kan? Oh, yang ganteng?

Ale bahkan punya template jawaban untuk geng kakak kelas centil yang suka mencegatnya di kantin. Nggak, Kak, saya bukan pacarnya Kenan. Saya ini tetangganya, makanya suka pulang bareng. Saya juga nggak suka sama dia. Kalau mau minta nomer langsung ke orangnya aja.

Kita Butuh Kapasitas SemestaWhere stories live. Discover now