9 | Perguruan Jalanan

10.6K 2.6K 402
                                    

"Jadi, apa tujuan lo?"

Ale menoleh. Kedua sikunya bertumpu pada palang tepi sungai, sementara sol sepatunya mencipta jejak kaki di atas tanah yang setengah basah. Jumat kemarin hujan. Sabtu pagi ini, aroma besi beroksidasi dari gapura gang tercium ke udara.

"Tujuan gue?"

Ditanya balik, Bas hanya mengangguk. Laki-laki itu mengenakan kaus hitam lusuh dan celana pendek, sama seperti tampilan biasanya. Yang baru Ale perhatikan adalah gelang hitam dan cincin abu-abu di tangan kanannya.

"Cuma ada dua tujuan orang mau belajar fighting. Satu, lo mau ngelindungin diri sendiri. Dua, lo mau nyakitin orang lain." Bas ikut menyandarkan punggungnya ke palang besi. "Lo yang mana?"

Ale mengedikkan bahu. "Lo harus tahu?"

Bas tertawa kecil. "Nggak juga, sih. Cuman gue heran aja. Dengan nominal yang lo bayar, seenggaknya lo bisa sewa trainer pribadi yang punya sertifikat buat ngajarin lo berantem."

"Kalo gue nyewa trainer, gue nggak bisa nyetop lo dari mukulin orang di sekolah gue," dengus Ale.

"Oh, jadi lo baru kepikiran belajar fighting gara-gara gue mau mukulin Re?"

Ale menghela napas. Gadis itu sadar dia tidak akan bisa lepas dari pertanyaan-pertanyaan cowok ini. Jemarinya bergerak menyisipkan helai merah elektrik yang lolos ke belakang telinga. "Gue udah lama pengen belajar. Cuma baru ketemu momennya aja."

Bas angguk-angguk sebagai tanggapan.

"Gue mau ngerasa kuat." Ale tiba-tiba melanjutkan, mengerling laki-laki itu. "Tujuan gue. Gue mau ngerasa kuat."

"Jadi sekarang lo lemah?"

"Gue nggak bilang gitu."

Bas tersenyum kecil, mundur dari palang besi. "Lo mau tahu satu-satunya cara ngerasa kuat? Terima kalo diri lo lemah."

Ale memutar mata. "Gue nggak bayar lo buat kasih kata-kata motivasi."

Bas tertawa sedikit, sebelum meluruskan lengan dan menggerakkan leher ke kanan-kiri. "Pukul gue."

Ale menegakkan tubuh. "Apa?"

"Ayo." Bas menggerakkan telapak tangannya seolah meminta Ale mendekat. "Pukul."

Ale melayangkan kepalannya ke wajah Bas tapi laki-laki itu menghindar.

"Gitu doang?"

"Gue nggak—"

"Pukul gue, Ale!"

Ale memukul sekali lagi, lebih keras— lagi-lagi Bas menghindar. Gadis itu menggeram, maju selangkah, dan kembali menghantamkan buku-buku jarinya. Bas menangkap pukulan Ale dan menarik lengan gadis itu ke belakang tubuhnya, membuat Ale mengerang.

"Aw!"

Bas melepaskannya. "Pukulan lo lemah. Tapi tangkas. Lo bisa menang kalau gerak duluan."

Ale memegangi lengannya hati-hati seolah Bas baru saja mematahkannya. Rasanya seperti itu.

"Jangan mukul di tempat yang sama, tapi," senyum laki-laki itu. "Ketebak banget."

"Gue—" Ale refleks mundur ketika Bas tiba-tiba mengayunkan lengan ke arahnya. "ANJING, LO NGAPAIN?"

"Refleks lo bagus," siul Bas, mengamati postur siaga Ale dari atas ke bawah. "Tapi—"

Ale menonjok sisi kiri Bas geram, mencelos menyaksikan laki-laki itu menghindar. Ale berteriak keras ketika buku jarinya menubruk tembok gang.

"Tapi lo terlalu marah."

Bas melanjutkan kalimatnya yang sempat terputus, melirik tangan Ale dengan santai. Kulitnya memerah, tapi selain ngilu di tulang, harusnya gadis itu akan baik-baik saja.

"Lo nggak boleh marah," cetusnya kalem.

Ale menatap Bas emosi. "Gue nggak boleh marah? Lo bikin gue luka-luka dan gue nggak boleh marah?"

"Lo bikin diri lo sendiri luka-luka," ralat Bas. "Dan satu lagi yang kurang dari lo. Lo nggak takut."

"Takut?" decih Ale, sarkasme di ubun-ubunnya. "Lo nggak semenakutkan itu, Bas Kara. Lagian, buat apa gue takut sama lawan gue? Bukannya itu justru ngehambat fight?"

Bas tersenyum kecil. "Kalo lo mau menang fight, lo harus bisa nyeimbangin dua emosi itu. Marah dan takut. Marah lo terlalu dominan, dan itu bikin lo nggak ngerasa takut. Lo nggak bisa lihat dari mana datangnya serangan karena yang ada di pikiran lo cuma gimana caranya nyerang. Lo buta pertahanan. Fight lo satu arah. Lemah."

Ale meneguk ludah. Dia merasa baru saja di-roasting habis-habisan oleh berandalan ini.

"Jadi?" gerutunya. "Lo cuma bakal ngatain gue lemah seharian?"

Bas nyengir. "Nggak. Kita bakal latihan."

Laki-laki itu memimpin langkah memasuki gang. Ale mengikutinya dengan bimbang. Tanpa menghentikan langkah, Bas berbalik, menatap jaket bomber hitam yang membalut tubuh Ale. "Lo pake tank top, kan? Buka aja jaket lo."

Wah. Ale tidak tahu bagaimana menggambarkan keinginannya mencekik cowok sialan ini.

"Eh, cowok brengsek! Lo sadar gue masih bisa lapor polisi kalo lo ngelecehin gue secara verbal, kan?"

"Siapa yang—" Kerut di kening Bas terbit sempurna. "Kalau lo buka jaket, bakal ada seenggaknya satu gerombolan mata keranjang yang tertarik buat datengin lo. Lo mau latihan, kan?"

"Lo mau jadiin gue umpan? Lo pikir gue objek?"

"Kalo lo mancing mereka buat lo hajar, bukannya mereka objek-nya?"

Ale memijit pelipis. Laki-laki setan ini membuat kepalanya pening. "Emangnya nggak ada metode lain? Lo nggak mau ngajarin gue yang dasar-dasar dulu?"

Bas tertawa. "Gue bukan perguruan silat. Kalo lo mau belajar sama gue, ya belajar di jalanan."

"Terus kalo gue mati dikeroyok mereka?"

Bas kali ini berhenti melangkah. Senyumnya hilang. Laki-laki itu memasukkan kedua tangannya ke saku dan menatap Ale sungguh-sungguh.

"Lo percaya sama gue, kan?"

Enggak sama sekali, ingin Ale menyembur. Tapi gadis itu sadar satu-satunya cara selamat dari metode guru gila ini adalah mempercayainya.

"Percaya."

"Selama lo percaya sama gue, nggak akan ada satu pun yang bisa nyakitin lo."

Ale tertegun. Untuk beberapa detik yang aneh, gadis itu merasa aman. Seolah Bas akan benar-benar menjadi tameng dari segala hal yang menyakitinya.

Sebagian dari dirinya bertanya-tanya apa perlindungan itu hanya berlaku dari preman jalanan atau hal-hal lain juga. Hal-hal lain yang membuatnya kabur ke gang kumuh ini di hari Sabtu pagi, misalnya.

Ale menurunkan restleting dan melepas jaketnya dari atas pundak, menyisakan tank top hitam yang membalut tubuhnya sempurna. Bas bersiul meledek, membuat Ale membalasnya dengan acungan jari tengah.

Belum genap tiga langkah, sesuatu bergetar di saku jeans Ale. Panggilan telepon masuk dari k.

Gadis itu meringis. Kenan sudah punya terlalu banyak urusan. Sahabatnya itu tidak perlu dipusingkan dengan kesepakatan impulsifnya bersama seorang kriminal.

Sembari berseru agar Bas menunggu, Ale menolak panggilan Kenan.

bersambung

Kita Butuh Kapasitas Semestaजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें