18 | Palang Melintang

9.5K 2.3K 445
                                    

Jalanan masih ramai waktu Ale keluar stasiun dan menyusur trotoar. Kereta terakhir berdengung pergi sementara derum mesin kendaraan dan sesekali klakson tidak sabar bersahutan di aspal. Jakarta tidak kenal larut malam. Bulan cuma berarti serangkaian lembur atau jatah istirahat sejenak sebelum esok pagi mengulang rutinitas serupa.

Transjakarta melintas. Ale menarik napas.

Setelah ganti-ganti kereta hanya agar dia tidak segera sampai di rumah, kini gadis itu merasa tidak punya energi untuk sama sekali berjalan. Badai sepintas tadi sore seolah merenggut sisa kemampuan Ale untuk membawa diri. Sekarang dia kehilangan arah. Kehilangan pegangan. Kehilangan rasa percaya pada seseorang.

Ale marah. Untuk sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan, lebih dari sekedar impulsivitas atau kekurangajaran.

Bas tidak membalas pesan pamitnya. Tentu saja tidak. Apa yang mau laki-laki itu katakan? Apa yang bisa laki-laki itu katakan?

Tidak ada.

Tidak ada karena apa pun yang terjadi tadi bukan bagian dari kesepakatan mereka.

Ale sadar dia naif kalau beranggapan hubungan mereka sebatas transaksional. Sebatas masalah uang. Tadinya mungkin memang begitu, tapi selama tiga bulan terakhir, gadis itu sadar mereka lebih.

Ale merasa dia bisa menceritakan seisi dunianya pada Bas dan laki-laki itu tidak akan membocorkan rahasia tercacatnya sekali pun pada siapa-siapa. Bas hanya duduk di sana, mendengar dan sekali-kali mencaci maki. Ale tidak buta, gadis itu tahu dia merasa aman di dekat Bas. Yang tidak dia sadari mungkin sama seperti Ale yang membiarkan Bas berdiri di lingkaran tersempit dalam dunianya, Bas juga membiarkan Ale masuk. Bas juga menumpahkan hal-hal yang tidak dia pahami tentang semesta dan menunggu Ale ikut marah-marah bersamanya.

Tapi apa yang sebenarnya laki-laki itu coba lakukan sore tadi?

Ale mengibaskan tangan di depan wajah, melawan asap membumbung dari tenda sate ayam. Gadis itu menoleh ketika mendengar jerit anak kecil berkejaran sementara ayah-ibunya menyantap makan malam, di sebelah pasangan ABG yang sibuk suap-suapan. Kemudian pandangannya kembali beralih pada jalan raya empat lajur dan kompleks perkantoran di seberang.

Jakarta entah kenapa terlihat lebih mega di malam hari. Seolah jajaran gedung pencakar langit itu hidup dengan cahayanya sendiri-sendiri. Ale merasa kecil. Ale merasa ada begitu banyak hal yang bisa terjadi di luar kendali.

Gadis itu menendang kerikil di trotoar. Semarah apa pun, Ale tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Bas. Dia tahu apa risiko yang dia hadapi semenjak menawarkan kesepakatan di gerbang belakang sekolah. Ale kenal Bas. Laki-laki itu tidak pernah bergantung pada kompas moral. Ale tidak bisa menyalahkan kalau Bas memutuskan untuk mengikuti instingnya. Ale tidak bisa menyalahkan kalau ternyata Bas bukan pecundang yang memilih menyembunyikan perasaan dalam-dalam. Ale tidak bisa menyalahkan, karena itu Bas.

"Ale!"

Gadis itu berhenti melangkah. Ale tidak sadar dia sudah mencapai gapura perumahan. Tatapannya jatuh pada seseorang yang berlari dari ujung jalan.

"Lo ke mana aja, sih?!" Kenan tidak bisa menutupi rasa paniknya. "Bisa nggak kalau gue call diangkat? Atau minimal kasih kabar, lah. Gue cek absensi, lo bolos tiga jam pelajaran. Gue ke perpus kota, lo nggak ada di sana. Terus—"

"Ken, udah lah."

"Gue khawatir, Le!"

"Khawatir apa?"

"Khawatir lo—" Ucapan Kenan terhenti. Laki-laki itu menelan kalimatnya ke dasar tenggorokan. "Lain kali kasih gue kabar. Gue nggak bisa kalau nggak tahu lo lagi ada di mana, ngapain, sama siapa. Gue nggak bisa kalau—"

"Nggak semua hal di dunia ini tanggung jawab lo."

"Tapi lo iya!" Kenan mengguncang pundak Ale keras kepala. "Lo tanggung jawab gue, Ale. Lo sahabat gue."

Ale menatap laki-laki itu tanpa kata. Kadang, di saat Ale pikir dunianya tidak bisa lebih kacau lagi, di sana lah Kenan berdiri. Menjadi palang melintang di antara tubuhnya dan kenyataan. Di antara kakinya dan ujung tebing yang akan dia loncati kalau saja Ale tidak takut tinggi.

Kenan akan setengah mati menjaganya, memintanya diam saja, menjanjikan segalanya akan baik-baik saja.

Mungkin karena itu juga, di saat yang sama, Kenan justru mengingatkan betapa Ale tidak baik-baik saja. Betapa dia butuh diselamatkan seperti korban dari kesalahan-kesalahan orang lain ataupun kesalahan-kesalahannya sendiri.

Tapi seperti apa kata Bas, Ale tidak senaif itu untuk percaya. Seperti apa yang Bas mengerti, Ale tidak suka dilindungi. Seperti apa yang Bas ajarkan, Ale lebih memilih bertarung. Bertarung selemah apa pun dan seberantakan apa pun.

"Jadi sahabat gue nggak berarti lo bertanggung jawab atas gue."

"Terus gue harus jadi apa biar boleh peduli sama lo?"

Jadi apa?

"Gue mau tidur."

Jadi apa, katanya?

"Emangnya salah kalau sebagai sahabat, gue nggak mau lo kenapa—"

"Gue tahu!" Ale menggertak. Napasnya tidak teratur. Sesuatu berkumpul jadi satu dan berpusat di dadanya. Sesuatu yang membuatnya mundur dari ciuman Bas sore tadi dan sesuatu yang membuatnya mengepalkan jemari malam ini.

"Gue tahu... gue tahu lo sahabat gue. Oke?"

Ale tidak tahu kenapa dia merasa begitu sesak. Lagi.

"Terus kenapa? Kenapa lo ngehindar dari gue? Kenapa lo ngejauh? Kenapa lo nggak bisa cerita hal-hal yang ganggu pikiran lo? Kenapa lo harus—" Kenan menarik napas frustasi. "Kenapa lo harus nyakitin diri sendiri?"

Ale menggeleng. Betapa konyol, karena Kenan sama sekali tidak terpikir bahwa hal-hal yang menganggu pikiran Ale adalah dirinya. Bahwa gadis itu tidak bisa membagi rasa sakitnya begitu saja, karena kalau ada satu doa yang boleh Ale panjatkan dan pasti dikabulkan, dia akan meminta agar tidak satu pun hal di seluruh semesta menyakiti Kenan.

"Le..."

Kenan menutup jarak dan menyelisipkan kedua telapak tangan di perpotongan rahang dan leher sahabatnya, menarik wajah gadis itu mendekat. Jemarinya mengusap lembut pipi Ale, sesekali mengesampingkan anak rambut hitam kemerahan yang menghalangi. Netranya menatap lurus ke dalam mata Ale, seolah berharap luka apa pun yang ada mengering dan sembuh segera.

"Kenapa nggak sakit bareng gue aja?"

Ale mendongak untuk membalas tatap Kenan, dan selama sepersekian detik, jawabannya begitu jelas. Begitu jelas kenapa gadis itu mundur, marah, setelah berhasil singgah. Kenapa tidak peduli sejauh apa pun dia kabur, langkahnya akan selalu berakhir pulang ke rumah yang sama.

Karena ketika tatap Ale beralih dari mata sahabatnya dan pada akhirnya jatuh pada bibir yang begitu dekat dari miliknya sendiri, gadis itu tahu siapa yang seharusnya jadi pencuri ciuman pertamanya.

"Karena gue nggak mau nyakitin sahabat gue."

Karena lo nggak pernah jadi sekadar sahabat buat gue.

Karena kalau Kenan Aditya yang menciumnya sekarang, Ale tidak akan memintanya berhenti.

Tapi Kenan tidak akan pernah mencium sahabatnya sendiri, kan?

"Karena itu, Ken."

Karena itu.

bersambung

Kita Butuh Kapasitas SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang