8 | Lo Berani Bayar Berapa?

11.1K 2.7K 431
                                    

"Kak Val! Sorry, sorry, telat."

Kenan buru-buru menarik kursi di sebelah gadis cantik yang sedang duduk. Valerie Christiadjie, pemegang medali perak International Chemistry Olympiad (IChO) tahun lalu, tersenyum manis. Melirik rambut adik kelasnya yang masih setengah basah.

"Abis latihan, Ken?"

"Iya, Kak. Tadi mandinya ngantri sama anak futsal. Mau nggak mandi, tapi ntar kasian Kakak bau keringet."

Val tertawa kecil. "Sibuk yaaa. By the way, selamat. KSATRIA masuk kualifikasi, kan?"

Kenan memasang cengiran. "Makasih, Kak."

"Sebenernya gue juga mau say sorry, sih, Ken. Gue nggak bisa lama hari ini. Disuruh Papi nyobain tempat bimbel UN baru, deket sini."

"Oh, iya, gapapa, Kak! Santai, santai."

"Palingan ini aja, Ken, kemarin gue udah koreksi latihan soal yang lo kerjain. Udah gue point out juga lo salah hitung di mana. Sama rumus yang waktu itu lo bilang belum paham? Gue dulu belajar pake buku ini, sih. Gampang ngertinya."

Kenan melihat-lihat setumpuk kertas dan buku yang Val sodorkan. "Makasih banyak ya, Kak Val. Gue nggak tahu deh, gimana kalau nggak ada lo. Pak Gum kasih kabarnya dadakan banget. Mana bisa gue belajar sendiri kalo olimp-nya dua minggu lagi?"

"Kalo Kenan Aditya, sih, gue yakin nggak belajar juga pasti dapet medali." Val tertawa kecil, menyentuh bahu Kenan sembari berdiri. "Gue tinggal sekarang, gapapa?"

Kenan menatap jemari Val di bahunya, kemudian mata gadis itu. "Mau gue anterin ke tempat bimbel lo, Kak?"

Val balik menatap adik kelasnya dua detik sebelum tersenyum kecil. "Gue dianterin cowok gue."

Ingatkan Kenan untuk menghajar Leo nanti.

***

Pembunuh bayaran.

Ada sesuatu tentang dua kata itu yang membuat senyum Bas tidak bisa hilang. Mungkin, di lingkungan super elit tempat Ale tumbuh besar, kematian bukan hal yang familiar. Di gang rumah Bas, berita orang mati dipukuli setidaknya terdengar tiga hari sekali.

"Lo nggak bisa bunuh orang di sini." Gadis itu terdengar lebih syok daripada kemauannya.

Bas mengangkat bahu ringan. "Gue nggak bakal bunuh orang." Lalu karena prospek menggoda Ale terlihat sangat menggiurkan, laki-laki itu iseng menambahkan, "Bayaran gue kurang kalau buat itu."

Tujuan Bas tercapai karena wajah Ale makin memucat. Laki-laki itu tertawa.

"Bercanda, buset. Tegang amat lo. Biasa lah, ada anak orang kaya yang nggak terima temennya meninggal pas tawuran. Si Re Dirgantara ini juga makan korban, kalo lo lupa. Dua orang," cerita Bas. "Menurut gue, wajar kalo ada yang mau nih bocah seenggaknya dihajar."

"Cuma dihajar?" tanya Ale memastikan.

"Bonus gue ditambah kalo dia masuk RS."

"Bas!"

Bas mengerjap. Dia tidak pernah menyangka namanya akan keluar dari mulut Ale. "Iya, kenapa, Ale?"

"Lo nggak bisa mukulin orang di sini," titah gadis itu galak. "Gue bakal panggil satpam."

Bas mengangkat bahu. "Gue bisa balik besok. Bos-bos gue ini nggak kasih deadline, yang penting Re mampus."

Ale terdiam. Gadis itu sedang memikirkan sesuatu yang tidak bisa Bas tebak apa. Masalahnya, Bas cukup yakin Ale bukan tipikal pahlawan kesiangan yang rela berkorban demi menyelamatkan semua orang. Perempuan rambut merah ini jelas punya keterkaitan spesial terhadap Re Dirgantara. Mungkin... pacarnya?

Bas memiringkan kepala sedikit, mengembus asap dari mulut.

Ale dan Re cocok. Kalau diperhatikan, mereka bisa jadi pasangan kriminal dari sekolah elit macam Bina Indonesia.

"Lo ceweknya Re?"

Ale mengerjap. Gadis itu menggertak gigi. "Bukan. Tapi gue nggak akan biarin lo nyelakain dia."

"Karena?"

"Karena gue punya empati?" Ale mengangkat alis seolah Bas menanyakan pertanyaan paling bodoh sedunia. "Karena gue tahu yang mau lo lakuin itu salah? Karena banyak hal!"

"Yah, sayangnya ngelakuin hal yang bener nggak ngejamin besok gue bisa makan."

"Emangnya lo dibayar berapa?"

Kalimat tanya itu dilempar sedikit terlalu cepat. Seolah Ale sudah menyimpannya sejak tadi.

Bas tersenyum. "Kenapa? Lo tertarik jadi pembunuh bayaran juga?"

"Gue bisa bayar lo lebih," gertak Ale. "Asal lo janji nggak bakal nyentuh Re. Atau deket-deket sekolah gue lagi."

Bas menjepit rokok di mulut dengan dua jari dan menurunkannya. Kali ini sepenuhnya tertarik.

"Lo berani bayar berapa?"

Ale tidak sedetik pun mengalihkan pandang. "Dua kali lipat."

Bas refleks bersiul. Kalau mereka dalam kartun animasi, matanya sudah berubah jadi lambang dolar.

"Deal?" Tangannya terulur tanpa basa-basi.

Ale menatap uluran tangan itu seperti dia akan keracunan kalau menyentuh Bas. "Gue mau tahu nominalnya dulu. Gue nggak mau lo tipu."

Bas berdecak dan meraih ponselnya. "Kan, gue udah pernah bilang, gue bukan penipu."

Laki-laki itu menunjukkan pesan yang berisi permintaan dari pelanggannya. Ale meneguk ludah sekali dan mengangguk.

"Oke. Deal."

Bas mengulurkan tangan lagi tapi Ale hanya menatapnya tajam. Laki-laki itu tertawa kecil.

"Nggak ada deal kalo nggak jabat tangan, Ale. Gue pikir lo tahu gimana cara transaksi yang sah."

Bas jelas mengarang, tapi baginya ini terasa menyenangkan. Ale ternyata menyimpan kejutan.

Gadis itu menjabat tangan Bas setengah hati. Bas mematikan rokoknya dan menggosok-gosok kedua tangan dengan antusias.

"Oke, lo mau bayar pake cash?"

Ale menimbang sebentar. "Gue bakal bayar dua kali lipat dari nominal tadi, dengan syarat lo nggak nyentuh Re dan deket-deket sekolah gue lagi."

"Iya, gue udah denger—"

"Sekarang gue bakal bayar lima puluh persen dulu," lanjut Ale mengabaikan interupsi Bas. "Dan lo bakal dapet lima puluh persennya lagi setelah lo ngelakuin satu pekerjaan buat gue."

Bas mengerutkan kening. Detail itu tidak ada dalam kesepakatan mereka sebelumnya, tapi rasa penasaran mengalahkan profesionalitasnya.

"Pekerjaan apa?"

Ale menatap Bas dengan sebuah keyakinan yang entah dari mana berasal. "Gue mau lo ngajarin gue."

Bas mengulang bodoh, "Ngajarin lo... ngapain?"

"Fighting."

bersambung

Kita Butuh Kapasitas SemestaWhere stories live. Discover now