12 | Palang Kereta Api

12K 2.7K 848
                                    

"Aw!"

Bas terkesiap ketika Ale mundur dari posisi fight, menyentuh pipinya yang berdarah. Kuku ibu jari Bas tanpa sengaja menggores kulitnya.

"Al! Sumpah, maaf, maaf! Gue nggak—" Laki-laki itu memeriksa luka di wajah Ale, sebelum akhirnya menatap mata gadis itu. "Gue nggak sengaja."

Ale meringis. "Santai. Kegores doang."

Gadis itu memerhatikan Bas yang sekarang merogoh saku, mencari uang yang terselip.

"Gue beliin plester dulu."

"Eh, nggak usah." Ale menahan lengan Bas. Lengan itu terasa terlalu besar untuk telapak tangan mungil Ale. Gadis itu melepasnya seketika. "Nggak sakit. Jangan lebay."

Bas pun mengangguk. "Istirahat dulu, deh."

Mereka berdua akhirnya duduk di matras. Saling menghela napas lelah.

"Lo lagi ada masalah, ya?"

Bas menoleh, tersenyum sedikit. "Kelihatan banget?"

Ale mengedikkan bahu. "Gue Leo."

"Jadi?"

"Peka."

Bas tertawa. "Si paling zodiak tuh."

Ale balas tersenyum kecil. "Lo apa?"

"Januari akhir, apa?" Laki-laki itu balik bertanya.

"Aquarius, pantes," angguk Ale.

"Kenapa tuh?"

"Kalo ada masalah dipendem sendiri."

Bas tertawa lagi. "Nggak juga. Gue bisa cerita."

Tatapnya bertemu dengan Ale yang seolah menanti, dan Bas menarik napas panjang sebelum membaringkan tubuh ke matras. Memandangi langit-langit reyot.

"Teh Wulan itu harapan keluarga."

Laki-laki itu menggumam.

"Dia beda dari Bapak, Ibu, gue. Dia beda dari semua orang di gang sampah ini. Buat gue, dia genius. Gue yakin dia bisa masuk sekolah lo seandainya keluarga kita punya duit buat biayain dia."

Laki-laki itu bangkit dan menatap Ale sungguh-sungguh seolah meminta persetujuan. "Nggak adil, kan? Bayangin, ada orang yang seharusnya bisa pergi dari sini. Ada orang yang seharusnya bisa bebas dari lingkungan ini. Teteh itu calon orang hebat. Semua orang tahu, Al. Cuma dia yang ditanyain tetangga mau kuliah di mana waktu lulus SMA."

Raut wajah Bas mengeras.

"Tololnya, dia malah jatuh cinta. Sama anak pensiunan tentara yang bapaknya punya pangkat di pemerintah. Hamil lah, ditinggal kabur ke luar pulau lah. Tahu-tahu, gang ini mau dijadiin stasiun. Kontrakan mau digusur." Bas mengacak rambutnya kasar. "Tolol, bangsat!"

Ale menelan ludah. Diam mengamati Bas hati-hati. Laki-laki itu tampak tenggelam dalam emosi.

"Gue..." Bas menghela napas lagi. "Gue marah, iya. Sedih, iya. Takut... banget. Takut kehilangan rumah gue. Takut Teh Wulan nggak bisa kuliah. Takut Ganis tumbuh besar dan nanya siapa bapaknya, bapaknya di mana, kenapa bapaknya segitu pengennya dia lenyap sampai harus gusur rumah orang satu gang? Fuck, lah."

Bas menoleh karena Ale diam saja.

"Eh, sorry, sorry." Laki-laki itu refleks menggaruk tengkuk dengan kikuk. "Jadi berat banget yak, bahasannya? Lo pasti nggak relate sama masalah orang miskin gini."

"Ganis... nama anak Teh Wulan?" Ale bertanya pelan.

"Bapak yang kasih nama." Bas mengangguk. "Rengganis. Artinya putri jelita dari Gunung Argapura. Kampung Ibu."

Kita Butuh Kapasitas SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang