4 | Peron Stasiun

16.4K 3.2K 319
                                    

"Apa sih motivasi lo ngikutin gue kayak gini?"

Kadang Ale ingin sekali menggetok kepala Kenan keras-keras. Laki-laki itu menjulang persis di hadapan bangku yang Ale duduki, tangan kanan mengait pegangan kereta, tangan kiri dalam saku jaket. Ale baru saja menyilangkan kaki dan berimajinasi kalau Kenan lepas pegangannya, dia bisa jatuh berguling di lantai dan Ale akan dengan senang hati meninggalkannya.

"Bahaya. Yang lagi lo kejar ini kriminal."

Atas dasar apa laki-laki itu menyimpulkan Ale bodoh kalau urusan kriminal, gadis itu tidak tahu. Dia cuma tahu itu membuat kepalanya semi berasap.

"Gue bisa berantem."

Mungkin bagian paling menyebalkannya, selain Kenan berhasil menyusul Ale persis sebelum gadis itu kabur naik KRL, adalah laki-laki itu menganggapnya spesimen tak berbahaya yang tidak bakal berefek apa-apa kalau bertarung versus maling barang elektronik. Dia tidak tahu saja Ale sudah siap mematahkan leher si pencuri. Oke, yang itu hiperbola.

"Gue nggak bilang lo nggak bisa berantem."

Maksud Ale, baru kali ini dia bolos dengan alasan yang lebih darurat dari bosan atau malas. Memburu bajingan yang mencuri ponselnya. Ha! Alasan apa yang lebih bagus dari itu? Tidak ada.

Kalau Ale bertemu bocah sialan itu sekarang, rasa-rasanya ingin langsung dia tendang. Ale tidak masalah kalau si pencuri mau menjual ponselnya (sebenarnya masalah juga sih), tapi dia lebih tidak terima lagi karena data-datanya ada di sana. Ponsel Ale memang diproteksi passcode, tapi bagaimana kalau cowok kurang ajar ini entah bagaimana bisa meretasnya?

Ale mungkin tidak punya koleksi pornografi, tapi ada sesuatu lain yang gadis itu tidak ingin siapapun lihat.

Intinya, Ale sudah kelewat geram sampai-sampai dia bisa menelan hidup-hidup si pencuri. Dia tidak butuh Kenan dan perlindungan ala-ala pahlawan supernya.

"Bukannya hari ini lo ada sparing?" sindir Ale. "Rapat OSIS? Ulangan Kimia?"

Kenan menulikan telinga. "Kita turun di mana, sih?"

Ale memutar mata. Jelas sahabat tercinta-nya ini akan meninggalkan setumpuk tanggungan demi menemaninya ke ujung dunia, kemudian begadang dua hari untuk mengejar ketertinggalan. Kata orang, Virgo memang perfeksionis, tapi Ale rasa Kenan lebih ke arah masokis. Itu... hiperbola lagi, sorry.

Untungnya dumelan Ale soal Kenan tidak perlu berlanjut karena pengeras suara sudah mendengung. Menyebut stasiun tujuan mereka. Dari mana Ale tahu ke mana dia harus pergi? Dari ponsel si pencuri yang kini ada di dalam saku jaketnya, jelas. Senjata makan tuan, mampus.

Gadis itu bangkit dan mencangklong ranselnya di satu pundak, mendesak Kenan sedikit ke belakang. Jemari Ale meraih lengan Kenan yang menganggur dan menariknya beringsut merapat ke arah pintu geser. Keduanya menyelip di antara kerumunan mendesak sisi-sisi gerbong.

"Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Kenan sambil lalu. "Tangan lo dingin."

Cerewet. Ale memilih tidak menjawab. Mereka melipir ke pinggir peron begitu turun di stasiun. Ale melepas tangan Kenan, meraih cutter lipat dari dalam ransel, dan menyelipkannya ke celah antara seragam dengan rok. Kenan menarik ujung jaket denim di belakang punggung Ale yang tadinya sedikit terangkat.

Gadis itu menarik lepas simpul dasi Kenan dan dasinya sendiri. Masuk wilayah musuh dengan atribut mentereng cuma bagus kalau mereka mau dikeroyok massa. Apalagi nama Bina Indonesia sekarang sedang sensitif. Seisi sekolah menanggung malu dan bahaya cuma gara-gara orang gila macam Re Dirgantara.

Ale dan Kenan punya sejarah sendiri dengan berandalan sinting itu, meski mereka berdua memilih untuk tidak pernah membicarakannya lagi. Tidak jadi masalah juga, toh Re yang memutuskan untuk menuang jarak. Ale rasa itu bukan tanggung jawabnya menyadarkan Re betapa tololnya usaha memicu tawuran raksasa kemarin. Meski Ale sedikit merasa bersalah, untuk alasan yang sepenuhnya lain.

Kita Butuh Kapasitas SemestaOnde histórias criam vida. Descubra agora