17 | Pulang Ke Mana?

13.2K 2.5K 505
                                    

Jantung Bas rasanya hampir copot waktu dia berhenti di teras kontrakan. Seluruh tubuhnya basah digempur hujan. Otot kakinya kaku karena dipaksa berlari tanpa henti. Bas tidak mau berpikir. Tidak sekarang. Tidak setelah dia melakukan hal paling tolol sepanjang hidupnya— apa yang ada di otaknya? Bagaimana bisa dia— Bas bahkan tidak berani menyebut kata itu.

Sebut saja ciuman bukan hal sakral-sakral amat, tapi yang barusan itu Ale. Adinda Aletheia. Bukan sembarang orang yang bisa Bas cium lalu lupakan. Bukan sembarang gadis yang tidak akan menetap di dalam otaknya sampai berbulan-bulan— bertahun-tahun ke depan.

Ale yang hadir bak badai hari ini dan Bas percayai akan pergi tak lama karena insting kurang ajarnya tadi.

Dan apa yang dia lakukan? Kabur? Pulang dulu ambil payung?

Bas mengerang frustasi dan mengacak rambut. "Gobloookkkk!"

Bas tidak pernah tahu segila apa presisi momen bisa mendorong seseorang melakukan sesuatu, tapi dia rasa persisnya itu lah yang baru saja terjadi. Mungkin hujan cuma membantu mengosongkan kepala Bas agar laki-laki itu menyadari apa yang selama ini mendiami otaknya. Ya, Ale.

Ale yang setiap akhir pekan, kini nyaris dua hari sekali, mampir untuk saling pukul. Untuk kuah soto dan makian-makian pada hidup. Untuk berbagi rahasia dan rasa sakit.

Bas menarik napas panjang dan mengembuskannya. Laki-laki itu menoleh ketika sadar sudah tidak ada suara air menumbuk tanah. Hanya aliran di gorong-gorong dan sesekali kuak katak.

Bas menengadahkan kepala. Langit sudah berhenti mengamuk. Abu-abu gelap tiba-tiba saja disibak biru muda. Matahari tidak malu bersinar.

Dada Bas sekali lagi mencelos menyaksikan tujuh warna berbeda di kejauhan.

"Oke, oke. Jadi, 'warna' itu kan, interpretasi otak manusia terhadap variasi jumlah energi dari cahaya tampak— cahaya yang bisa dideteksi pake mata kita. Nah, 'mejikuhibiniu' itu sebenernya cahaya, cuma jumlah energinya beda-beda. Itu yang bikin kita ngelihat cahaya-cahaya itu sebagai spektrum warna yang beda. Merah punya jumlah energi paling rendah, dan ungu yang paling tinggi."

"Jadi... merah itu warna paling lemah?"

"Cahaya paling lemah di spektrum."

"Lah? Terus kenapa lo malah pilih warna paling lemah?"

"Karena nggak ada yang tahu."

Gue tahu, Bas ingin berteriak. Bas tahu selemah dan sekuat apa Ale. Bas tahu gadis itu tidak perlu dilindungi tapi dia butuh seseorang yang bisa diandalkan. Bas tahu apa yang Ale cemaskan, takutkan, rahasiakan. Bas tahu Ale.

Laki-laki itu kembali berlari ke arah sebelumnya. Tanpa payung. Tanpa apa pun. Hanya gejolak di dasar dadanya. Dentum tak beraturan di pusat jantungnya. Sebuah pengakuan.

Karena sekarang Bas tahu apa yang ada di otaknya waktu dia berusaha mencium Ale. Tidak ada apa-apa di sana— karena apa yang Bas rasakan ada di hatinya.

Karena dia jatuh cinta.

***

"Bro."

Leo menutup pintu lokernya bersamaan dengan kemunculan Kenan. Laki-laki itu masih mengenakan jersey di atas kaos putih. Sebuah handuk melintang di sekeliling lehernya. Ada sesuatu dalam raut wajah Kenan yang memberitahu Leo kalau shooting guard-nya itu sedang marah. Entah pada siapa.

"Oi." Leo menepuk bahu Kenan, berusaha nyengir seperti biasa. "Congrats. Selangkah lagi kita jadi juara."

Kenan tersenyum tipis. Meneguk ludah sekali. Seolah mengumpulkan niat untuk menyampaikan apa pun yang ingin dia sampaikan.

"Kalau gue nggak ikut final, gimana?"

Cengiran Leo perlahan memudar. Laki-laki itu diam sebentar. Leo tahu alasan Kenan tiba-tiba menanyakan itu. Kalau kemarin-kemarin pemain andalannya bilang ingin mundur dari final, mungkin dia akan meledak. Tapi setelah pertandingan hari ini, Leo menyadari sesuatu yang selama ini tidak pernah dia sadari.

"Gue percaya sama lo, Ken."

"Nggak gitu—"

"Lo main tanpa istirahat yang proper hari ini, wajar kalau—"

"Gue struggling."

Leo bungkam.

Kenan tidak menatap kaptennya. Dia menatap sepatu basket yang ikatan talinya lepas sebelah. "Gue—"

Laki-laki itu tampak kesulitan merangkai kata. Leo menunggu dengan jantung berdebar.

"Kalau tembakan gue sampai meleset kayak tadi lagi, gue bakal bikin kecewa semua orang."

Ada setidaknya semenit penuh yang Leo habiskan untuk memikirkan jawaban paling tepat. Kenan mungkin tidak pernah secara langsung mengatakannya, tapi Leo tahu mengecewakan orang-orang adalah ketakutan terbesar laki-laki itu.

"Ken." Leo meletakkan telapak tangannya di atas bahu Kenan. "Lo shooting guard terbaik KSATRIA. Tapi lo juga sahabat gue. Sebagai kapten, gue butuh lo main di final supaya tim kita punya chance lebih besar buat menang. Tapi sebagai sahabat lo, gue mau lo dengerin kata hati lo. Gue percaya pilihan apa pun yang lo ambil—main atau nggak main—itu yang terbaik."

Sepeninggal Leo dari ruang loker, kepalan tangan Kenan menghantam keras pintu besi. Tremornya belum berhenti.

***

Bas kehabisan napas.

Laki-laki itu terengah, memegangi kedua lututnya. Bekas hujan masih menitik dari atap seng pos ronda. Tapi tidak ada tanda-tanda seseorang di sana.

"Al?"

Bas memanggil, menoleh ke sekeliling.

"Ale!"

Tidak ada jawaban. Laki-laki itu buru-buru merogoh ponselnya ketika melihat pesan masuk.

2 new messages

hujannya udh reda

gue pulang

Bas memejamkan mata. Sial, sial, sial! Laki-laki itu memacu langkah menuju gapura gang, mengabaikan cipratan air dari genangan yang diinjak tak tentu arah. Hanya ada satu nama yang memenuhi pikiran Bas. Satu nama yang harus tahu kebenarannya. Perasaannya.

Langkah kaki Bas terhenti di pinggir jalan raya yang kosong. Kepalannya mengerat. Laki-laki itu membuka pesan terakhir Ale dengan hati berdenyut nyeri. gue pulang.

Pulang ke mana, Al? Ingin Bas bertanya. Karena bukankah Ale sendiri yang bilang gang ini rumahnya?

Laki-laki itu menghapus sebaris kalimat yang sudah dia ketik atas dasar putus asa.

Bukannya lo sendiri yang bilang gue rumah lo?

bersambung

Kita Butuh Kapasitas SemestaWhere stories live. Discover now