||Part 14||

1.2K 105 1
                                    

Lheo mengendarai motornya meninggalkan teman-temannya diarena balapan begitu saja. Entah kemana motor itu melaju Lheo tidak peduli.

"Shitt!" umpat Lheo ketika bayangan seseorang muncul dikepalanya.

Lheo memelankan laju motornya ketika lampu lalu lintas itu berganti merah. Mata tajam Lheo melirik kesekeliling, melihat beberapa pedagang kaki lima yang masih buka walau jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.

Lampu kembali berubah hijau, dengan cekatan Lheo kembali melajukan motornya, membela jalanan Jakarta yang tampak terang oleh lampu jalan berbagai warna.

Motor sport itu berhenti tepat disebuah danau alami, tidak banyak orang yang tau tempat itu sehingga areanya masih terjaga. Rumput-rumput sekitar danau tampak tinggi karena memang hampir tidak ada yang pernah berkunjung kesana.

Lheo berjalan ketepi danau, melihat ketengah danau tersebut yang menampilkan bayangan bulan berbentuk sabit dengan indah. Air danau itu tampak tenang, beberapa kunang-kunang juga bertebangan disekitar danau membuat suasana tempat itu kian indah dan tenang. Suara jangkrik juga menjadi melodi indah yang Lheo dengar malam itu.

"Nara..." Lheo bergumam. Kakinya menekuk memilih duduk ditepian danau. Kenangan Lheo terhadap sesosok gadis didalam ingatannya. Entah mengapa, melihat senyuman Mikell membuat Lheo tiba-tiba mengingat sesosok gadis didalam mimpinya. Gadis itu terus bergumam Nara dan Nara. Membuat Lheo terus teringat akan mimpinya itu.

"Siapa lo? Dan kenapa lo terus muncul dimimpi gue, hm?" Lheo bertanya kepada dirinya sendiri. Pemuda tampan itu melamun hingga dering ponsel memecah lamunan Lheo kala itu.

"Halo?" Lheo berujar menjawab panggilan telepon diseberang sana.

"lo kemana Yo? Kita nyariin lo woi!"

Suara nyaring Dion menggema diseberang sana. Lheo menjauhkan telepon itu dari kupingnya. Menghela nafas perlahan sebelum kembali menjawab pertanyaan sahabatnya itu.

"Gue udah pulang" jawab Lheo.

"Serius? Gue sama anak-anak udah khawatir lo entah pergi kemana. Lo enak-enakan pulang ya, njir"

Dion kembali berujar, jelas sekali cowok itu kesal.

"lo bilang apa?" Lheo bertanya alisnya menekuk tajam mendengar umpatan Dion diakhir kalimatnya.

"hehe, sorry Yo! Gue matiin dulu ya. Bye Lheo"

Dion buru-buru mematikan panggilan teleponnya, takut mendapatkan amukan Lheo.

Setelah panggilan itu berakhir. Lheo kembali menyimpan ponselnya didalam saku jaket Black Prince. Kembali berkutat dengan pikirannya.

"Nara... Gue harus selidiki siapa cewek yang ada dimimpi gue itu" Lheo berucap sembari berdiri meninggalkan danau yang kian sepi karena suara jangkrik itu mulai hilang.

Lheo menghampiri motornya yang terpakir tidak jauh dari danau. Ketua geng motor Black Prince itu segera melajukan motornya pulang kerumahnya.

¤•¤

Mikell menutup pintu utama dengan perlahan. Orang tuanya pasti sudah tertidur di jam segini, apalagi lampu utama sudah dimatikan. Berbekal cahaya senter dari ponselnya, Mikell menaiki anak tangga menuju lantai dua arah kamarnya.

Ketika mencapai anak tangga terakhir. Suara bariton Bagas membuat Mikell terkejut bahkan hampir menjatuhkan ponsel mahalnya.

"Dari mana, Sell?" tanya Bagas memanggil nama asli putrinya.

"Dari luar pa" jawab Mikell a.k.a Misell menetralkan detak jantungnya.

Alis Bagas bertaut, aneh dengan sikap putri semata wayangnya yang tidak seperti biasanya tersebut. "Tumben kamu keluar malam sampai jam segini, Misell" Bagas mendekat, memperhatikan penampilan putrinya dari atas sampai bawah. "Ada apa?" tanya Bagas lagi.

"Misell main keluar bareng teman Misell pa" jawab Misell. Dia tidak memberitahu papanya soal dirinya yang ikut tantangan Black Prince.

"Papa senang kamu mulai membuka diri dengan orang lain. Tapi ingat juga mama kamu, dia khawatir karena kamu belum juga pulang walau sudah semalam ini. Jangan buat mama kamu kembali sakit sayang" Bagas menasehati. Mengelus kepala putri satu-satunya itu dengan sayang.

"Maaf, pa" cicit Misell merasa bersalah. Memang Misell pulang lebih larut dari sebelum-sebelumnya. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.

"Tidak apa, asal kamu selamat dan pulang dalam keadaan baik-baik saja itu sudah cukup" ujar Bagas. Pria itu kemudian turun kelantai bawah karena memang tujuannya ingin mengambil minum, kebetulan Ia bertemu Misell yang mengendap-ngendap tersebut.

"Pa..." Misell berbalik memanggil papanya yang sudah berada ditengah-tengah tangga.

"Iya?" sang papa bertanya menatap wajah gugup putrinya.

"Mungkin beberapa hari ini, Misell bakal sering keluar dan pulang malam. Misell ada urusan penting pa" Misell menjelaskan kepada papanya, berharap Bagas dapat mengerti.

Bagas terdiam sejenak. Kemudian pria itu tersenyum dan mengangguk perlahan kepada sang anak.

"Baiklah, tapi ingat kamu harus jaga keselamatan. Kami hanya punya kamu satu-satunya Misell, kami tidak ingin kehilangan lagi" ucapan Bagas membuat hati Misell terenyuh.

"Iya pa, Misell janji" jawab Misell, kemudian pergi menuju kamarnya.

Misell menutup pintu kamarnya, kemudian menghela nafas berat. Ucapan terakhir papanya membuat Misell teringat sesuatu.

Kami hanya punya kamu satu-satunya Misell, kami tidak ingin kehilangan lagi.

Ucapan Bagas membuat Misell menitikkan air mata. Iris mata hitam itu melirik bingkai foto diatas nakas sebelah tempat tidur. Misell mendekati bingkai foto itu, melihat dua orang tengah tersenyum lebar kearah kamera.

"Kak Ikell..." isak Misell memeluk bingkai foto yang berisi foto dirinya dan almarhum sang kakak. Ucapan sang papa, membuat Misell kembali teringat akan sosok Mikell yang sebenarnya.

"Sakit kak, Misell rindu sama kakak" adu Misell mengelus wajah Mikell kecil difoto tersebut. Air mata Misell menetes membasahi foto yang terlapisi kaca bening itu.

"Kakak kangen Misell nggak sih? Kalau kangen kenapa nggak pernah mampir ke mimpi Misell?" Misell mengobrol sendirian. Berharap sang kakak dapat mendengarkan kerinduannya.

"Janji kakak sama Misell itu banyak, tapi kakak ingkari semuanya" lanjut Misell lagi, mengeluarkan semua perasaannya. Tertekan dan kerinduan datang secara bersamaan membuat Misell lupa. Lupa jika dia dan Mikell itu dua orang yang berbeda.

"Kakak tau, alasan Misell nyamar jadi kakak selama ini karena Misell nggak pernah ikhlas kakak pergi" Misell terdiam sebentar sebelum kembali berucap dengan sendu.

"Mungkin mama sakit kehilangan kakak sebagai anaknya. Tapi Misell jauh lebih sakit kak, kehilangan saudara, kakak, teman dan orang yang selalu disisi Misell sejak lahir" lanjut Misell.

"Bohong kalau Misell bilang Misell nggak sakit kakak tinggalin. Apalagi kakak pergi tepat didepan mata Misell" Misell terus bicara, badannya Ia rebahkan kekasur miliknya.

Mata Misell menatap loteng kamarnya yang berwarna putih. Menghela nafas beberapa kali. Tangan Misell kembali terangkat menatap bingkai foto yang penuh kenangan tersebut.

"Tolong kak, sekali aja datang kemimpi Misell. Kita ngobrol dan tertawa bareng lagi, walau itu cuma mimpi, Misell pasti bahagia banget" ujar Misell lagi memeluk bingkai foto itu, sebelum jatuh tertidur karena kelelahan.

TBC

The Pretty Boy Is My Love (On Going)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant