"Aku bener-bener minta maaf, Rei." Ucap Nathan lirih, tak ada kalimat perlawanan untuk ucapan Reina. "Aku mohon, tolong kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya."

"Kamu mau memperbaiki apa?" Sambar Reina menohok. "Semuanya udah hancur."

Nathan terdiam sejenak, menatap Reina sendu. Ucapan Reina benar-benar menusuk ke dalam relung hatinya.

"Ayo kita mulai semuanya dari awal, Rei. Please, kasih aku kesempatan untuk bikin kamu tersenyum lagi."

"Kamu pikir aku mau hidup sama orang yang selalu mengandalkan emosi dan instingnya sendiri?"

"Aku janji akan berubah, Rei. Tolong percaya sama aku." Bujuk Nathan penuh permohonan.

Reina menghela napas panjang disertai pejaman mata erat, lalu berkata dengan nada lelah. "Tolong pergi dari sini, aku nggak mau lihat muka kamu lagi."

Reina begitu dingin, membuat hati Nathan serasa diremas kuat. Lantas, perlahan dia memerosotkan tubuhnya dan berlutut di hadapan Reina.

"Aku bener-bener udah jahat sama kamu, aku minta maaf. Kamu boleh marah, kamu boleh benci aku, kamu boleh pukulin aku semau kamu. Aku berhak menerima itu. Tapi, tolong jangan pernah bilang mau pergi dari aku. . . ." Ratap Nathan dengan mata berlinang-linang.

"Aku bisa gila kalau kamu ninggalin aku." Sambungnya dengan suara tercekat.

Reina yang melihat itu hanya bisa mendengus kasar, sementara kedua tangannya mengepal erat di sisi pahanya.

"Kenapa manusia seegois kamu harus ada di dunia ini, sih?" Umpatnya dingin, namun penuh amarah. "Nathan, kamu bener-bener lebih dari jahat."

Reina benar-benar kecewa. Dia sudah tidak memiliki tenaga untuk kembali mempercayai Nathan.

"Kenapa, sih, kamu nggak ngebiarin aku aja? Kenapa, sih, kamu malah bikin aku tambah gila?" Tanya Reina lelah sembari memukul keras bahu Nathan.

"Aku mohon, maafin aku. . . ." Hanya kalimat itu yang bisa Nathan lontarkan atas semua kelakuan buruknya.

"Kenapa, sih? Kenapa harus anak aku?" Reina mendorong bahu Nathan hingga tubuh laki-laki itu terjerembab ke lantai.

"Kenapa bukan kamu aja yang mati dan nyusulin Shanna? Bukannya itu yang kamu mau, HAH?" Jerit Reina histeris. Setelah sekian lama, akhirnya dia bisa meluapkan emosinya pada Nathan.

Matanya mulai terasa panas, dan cairan bening itu meluncur bebas di kedua pipi Reina, namun tak menghilangkan amarah dalam sorot mata biji almond itu.

Nathan bangkit dan berusaha mendekap tubuh Reina yang ringkih, tapi perempuan itu menolaknya. "Rei–"

"Kamu tahu? Seandainya anak aku hidup, aku nggak akan lagi ngalamin cinta sepihak, karena dia akan balas mencintai aku. Nggak kayak kamu." Reina mengatakan itu dengan sangat pilu, membuat dada Nathan sesak dan ikut menangis.

Ya Tuhan. Betapa dia sangat tidak bersyukur sudah mengabaikan cinta yang Reina berikan untuknya.

"Tapi sekarang apa? Kamu udah ngancurin harapan dan masa depan aku."

Tak mampu berkata-kata, Nathan dengan cepat mendekap tubuh sang istri, memeluknya erat-erat meski Reina terus memberontak.

"Maaf, Rei. Maafin aku." Katanya sambil terisak dan semakin mengeratkan pelukannya. "Aku janji, mulai sekarang aku akan ngasih seluruh cinta aku buat kamu. Aku nggak akan pernah mengabaikan kamu lagi."

Sumpah. Reina tidak ingin mendengar hal itu sekarang. Dia hanya ingin laki-laki ini pergi dari hadapannya.

"Maaf aku udah jahat banget sama kamu."

Menjadi Dia [SUDAH TERBIT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora