44. Take Time

26.5K 1.3K 93
                                    

Seharusnya pake bahasa Belanda ya kalo di Belanda, tapi aku tahunya "ik hou van jou" sama "Hoi" doang. Wkwkwk

Sorry, yes, aku nggak multilingual. 🤭

Selamat membaca aja, deh.

EP. 44. Take Time

********

Musim panas yang terik di Belanda, tapi hati Reina terasa dingin. Dia duduk di depan kanvas tanpa seulas senyum pun di wajahnya.

Dia tampak seperti bunga layu yang tak terjangkau cahaya matahari sehingga kehilangan dayanya untuk terus merekah.

Hampir setengah hari dia duduk termenung dengan pandangan kosong di studio lukisnya. Ruangan itu nampak sedikit berantakan di mana kanvas dengan lukisan abstrak berceceran di lantai, serta percikan cat akrilik mengenai dinding dan juga lantai.

Tidak ada yang bisa menghiburnya meski berusaha sekuat tenaga. Reina yang ceria, yang selalu menghangatkan suasana di tengah keluarga kecilnya, kini seakan kehangatan itu dicabut paksa dalam sekejap––membuat hati kedua orang tuanya pedih.

Tangan mungil Reina menyapukan kuas dengan cat warna merah ke atas kanvas. Hanya setitik, tapi membuat seperti hatinya tercabik-cabik.

Reina memandangi titik warna merah itu selama beberapa saat, dan hal tersebut menggiring ingatannya pada kejadian pagi itu. Sebuah peristiwa yang menjadi mimpi terburuknya.

Matanya terpejam erat saat teringat darah segar mengalir di sisi pahanya, lalu menetes ke lantai.

Buah hatinya yang luruh. . . .

"Errgh. . . ." Reina menggeleng cepat, berusaha menepis bayang-bayang buruk yang membuat kepalanya terasa penuh hingga rasanya pusing sekali seperti akan pecah.

Hatinya sangat sakit, dadanya sesak luar biasa.

Reina ingin marah, ingin menangis, tapi mendadak sulit dilakukan hingga tenggorokannya sakit akibat amarah yang tak terluapkan.

Menjilat bibirnya yang terasa kering, Reina lantas mengangkat tangannya kembali setelah merasa sedikit lebih tenang. Namun, gemuruh di hatinya tak terbendung, Reina mengusap kasar cat warna merah itu secara melingkar, terus dia lakukan berulang-ulang hingga tercipta lingkaran besar berwarna merah, tangannya terus bergerak penuh emosi.

Bukan membuat perasaannya lebih baik, apa yang dilakukannya justru membuat ingatan buruk lainnya muncul.

Darah yang merembes di seprai ketika Nathan merenggut paksa mahkotanya. . . .

. . . , bagaimana Nathan menyetubuhinya dengan paksa. . . .

"Tetap semangat, ya."

Hingga ucapan dokter setelah Reina mendengar kabar keguguran kandungannya dan vonis kemungkinan terjadi infertilitas, semua itu terngiang-ngiang membuat telinganya berdenging keras.

"Arrgh. . . ." Reina menggeram tertahan seraya menyentak keras kanvas di hadapannya hingga jatuh ke lantai.

Demi apapun Reina ingin sekali berteriak, tapi tenggorokannya tercekat seolah ada sesuatu yang menghalanginya––kesedihan. Seakan semua hal baik yang pernah terjadi dalam hidupnya membeku dalam sekejap.

Menyesakkan. Kenyataan ini benar-benar menyesakkan sampai rasanya Reina sulit untuk bernapas. Tidak hanya itu, Reina juga terus bermimpi buruk tentang kejadian itu hingga dia takut untuk tertidur.

Peristiwa menyesakkan itu terus terbayang-bayang meski dia tidak memikirkannya. Reina ingin enyah saja dari dunia ini agar dia bisa melupakan segalanya.

Menjadi Dia [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang