40. Jerk

25.5K 1.3K 71
                                    

EP. 40. Jerk

********

BRENGSEK.

Mungkin satu kata itu yang mampu menggambarkan diri Nathan saat ini. Dia sama sekali tidak bermaksud mendorong Reina, apalagi sampai melukai fisiknya. Hanya saja, emosi sudah membutakan hingga setengah akal sehatnya hilang entah ke mana.

Kemarahan itu hanya sementara. Berganti dengan perasaan menyesal yang sangat mengganggu hatinya hampir setengah hari ini.

Bahkan ketika sedang berada di ruang operasi, hampir saja Nathan kehilangan konsentrasi karena terbayang-bayang perbuatannya pada Reina tadi pagi. Beruntung Nathan tidak melakukan kesalahan dan operasi berjalan dengan baik.

Nathan sadar, dia sudah sangat keterlaluan.

Reina adalah seseorang yang selalu ingin dilindunginya sejak dulu. Tapi, siapa sangka malah dirinyalah orang yang paling menyakiti perempuan itu.

Nathan terpekur. Pandangannya kosong menatap langit-langit ruangan. Sementara ingatannya melayang pada kejadian malam itu, saat dia mabuk dan nyaris tak sadarkan diri.

Namun, sekuat apapun Nathan berusaha, dia tetap tidak bisa mengingat apapun hingga akhirnya Nathan tetap pada spekulasinya sendiri, meski hatinya mulai bimbang.

Reina mungkin memang melakukan kesalahan malam itu. Nathan sadar seharusnya dia lebih dewasa menghadapinya, bukan malah bersikap keterlaluan dan berakhir melukai Reina.

"Kenapa kamu giniin aku?"

"Mau kamu apa, sih?"

Nathan menyugar rambutnya frustrasi ketika pertanyaan Reina mendadak berdenging keras hingga membuat kepalanya pening. Nathan pun tidak tahu pasti apa yang benar-benar dia inginkan dengan bersikap keterlaluan seperti ini pada Reina .

"Lepasin aku. . . ."

"SHIT." Erang Nathan seraya menyentak benda apapun yang ada di atas meja kerjanya hingga berhamburan ke lantai.

Tak pernah Nathan merasa sebrengsek ini dalam hidupnya. Perasaannya benar-benar kacau hingga berdampak pada kendali dirinya yang menjadi berantakan.

"Kenapa lo?"

Jessi datang dengan cup holder berisi tiga cangkir kopi dingin di tangannya, disusul Vano di belakangnya. Keduanya lantas duduk di sofa yang tak jauh dari meja kerja Nathan.

"Ya elah, lo kayak nggak tahu aja tuh monyet satu agak kurang waras." Sahut Vano mengedik ke arah Nathan yang sedang berjalan untuk ikut duduk di sofa. Tanpa izin, Nathan kemudian menyambar kopi yang Jessi bawa dan meminumnya tak sabaran.

Jessi berdecak geli dengan gelengan kepala pelan. "Lo kenapa lagi, sih, Nate?"

"Pasti Reina lagi, Jess. Bawahnya dia kepengin, tapi gengsi buat minta." Vano kembali menimpali.

"Heeh!" Nathan mendelik sebal.

Vano mengedik tak acuh. "Emang iya, kan? Tck, gue bilang juga apa. Ujung-ujungnya lo yang kesiksa. Udah deh, yang akur aja lo sama Reina mulai sekarang. Toh, dia juga udah lo jebolin, kan?"

Nathan mendengus keras. Laki-laki berperawakan jangkung yang masih mengenakan baju scrubnya itu menghempaskan lehernya ke sandaran sofa dan memijat keningnya.

"Gue pusing banget." Ujar Nathan diiringi hembusan napas berat.

"Nggak disalurin, ya pasti pusing." Cibir Vano, kemudian menyesap kopi dinginnya.

Nathan kembali menegakkan tubuh dan menatap sebal Vano. "Di kepala lo itu mulu ya, Van. Cabul banget."

Vano setengah tertawa, memilih tak menanggapi ucapan Nathan. Untuk sesaat ketiganya sibuk menikmati kopi masing-masing hingga tercipta keheningan.

Menjadi Dia [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now