Approval To Close The Case

23.7K 1.6K 44
                                    

Entah separah apa kondisi Amaris, namun yang jelas keadaanya terlihat mengkhawatirkan. Dari luar kaca ruang ICU, Sean memandangi gadis itu yang terbaring kaku dengan segala macam alat penopang hidup yang terpasang di tubuhnya.

Ia kemudian beralih menatap beberapa anggota keluarga Amaris yang duduk di kursi tunggu. Ini pasti sulit bagi mereka. Mereka melepas Amaris dalam keadaan baik-baik saja kemarin, namun sekarang justru harus melihatnya berada di ambang hidup dan mati.

Sean kemudian menghampiri Ayudia, Mama Amaris. Wanita Anggun itu terlihat menangis sesenggukan dalam pelukan suami dan putra sulungnya.

"Halo Tante, perkenalkan saya Sean temennya Amaris." Ujar Sean memperkenalkan diri.

"Bisa bicara sebentar, Tante? Empat mata?" Tanya Sean kemudian, sambil melirik beberapa anggota keluarga lain yang ada di sana.

Ia bisa saja mengajak Papanya Amaris untuk berbicara, namun sepertinya tidak akan efektif. Sekarang ini ketidakstabilan emosi dari Mama Amaris yang akan sangat berguna bagi Sean.

Meski sempat bingung, Ayudia akhirnya mengangguk mengiyakan. Ia mengikuti Sean untuk beranjak dari sana. Mereka memutuskan mengobrol di kafetaria rumah sakit yang saat itu terlihat lebih senggang.

"Saya ikut sedih untuk apa yang menimpa Amaris, semoga Tante dan Amaris sama-sama diberi kekuatan," ujar Sean berbelasungkawa.

Ayudia kemudian mengangguk sambil menyeka sisa air matanya dengan tisu, "terimakasih banyak,"

"Saya tau biaya pengobatan Amaris ini bakal menguras uang yang gak sedikit. Kalo Tante mau, saya bisa minta Ayah saya buat ngecover semua biaya perawatan Amaris," Sean menjeda sambil menyerahkan beberapa lembar kertas ke hadapan wanita anggun itu. "Dengan syarat, Tante harus menandatangani surat pencabutan laporan ke komite sekolah sebagai wali yang mewakilkan Amaris."

Ada keheningan sesaat sebelum raut muka lawan bicaranya berubah seketika, "kamu salah satu pelaku yang bully anak saya?" Wanita itu menatapnya heran sekaligus nyalang.

Sean menipiskan bibir seolah tengah menimang. "Let's just say that I am."

"Kurang ajar! Di saat kaya gini berani-beraninya kamu datang kesini tanpa rasa malu?" Ia menatap Sean penuh permusuhan.

"Bahkan sampai saya mati pun saya gak akan pernah maafin manusia-manusia sampah yang udah bikin anak saya kaya gini." Wanita itu berdecih penuh rasa tak sudi.

Ia lantas bangkit berniat pergi. Namun baru beberapa saat melangkah, ucapan dari Sean berhasil menghentikannya.

"Kalo Tante gak mau saya bakal sebar video syur Amaris dan skandal perselingkuhan dia sama produser yang udah berkeluarga itu."

Telak. Ucapannya berhasil membuat Ayudia berbalik.

"Saya mungkin bakal kena UU ITE dan dipenjara paling lama 1 tahun, bisa jadi beberapa bulan kalo Ayah saya nyewa lawyer yang bagus. Tapi Amaris, karir dia bakal hancur untuk selamanya. Inget Tante, jejak digital itu gak akan pernah ilang. Bahkan saat Amaris mati pun, video dia saat ngedesah masih bisa diputar dunia secara bebas." Ujar Sean.

Ayudia seketika mengepalkan tangannya erat sebelum melayangkan satu tamparan. Suaranya terdengar cukup keras hingga wajah laki-laki itu terhempas ke samping. Sedangkan Sean kini mendorong lidah ke sisi kulit pipi dalamnya yang terasa kebas. Ia kemudian mendongak, menatap wajah wanita itu dengan ekspresi datar.

"Tante bisa nampar saya sepuasnya setelah tanda tangan surat ini. Saya gak kasih banyak waktu, ya atau tidak. Kalo Tante gak mau saya akan langsung upload video itu saat ini juga."

Ayudia masih berdiri dengan nafas menderu. Tangannya terkepal kuat menahan amarah sebelum ia menyambar bolpoin di atas meja.

"Dasar manusia iblis! Bahkan saat anak saya sekarat pun bisa-bisanya kamu ngancam kaya gini. Tuhan pasti akan balas manusia jahat kaya kamu dengan rasa sakit berkali-kali lipat!" Cerocos Mama Amaris, mengeluarkan sumpah serapah saat membubuhkan tanda tangan di atas kertas itu.

HierarkiWhere stories live. Discover now