ALTEZZA [ 52 ]

Mulai dari awal
                                    

Divanya menghembuskan nafasnya berat. "Sebenarnya ini suatu hal yang ku inginkan sejak dulu, bisa lepas dari Altezza. Namun, kenapa saat Cika hendak memiliki Altezza, rasanya aku tak terima." jelasnya dengan menerawang keatas, menatap langit yang berwarna biru bersih nan begitu cerah.

"Itu namanya cinta, Nona Diva..." balas Vania lembut.

"Cinta?" beo Divanya. Apa dia sudah mulai menaruh hati pada laki-laki asing yang dengan segala sifat misterius-nya?

"Benar Nona, apa Nona ragu dengan hal ini?" Vania menoleh pada Divanya yang berjongkok dibawah pohon mangga yang melindunginya dari sinar terik matahari langsung.

Sang empu yang ditanya seperti itu malah mengedikkan bahunya tak tahu menatap Vania.

Vania, pelayan itu ikut berteduh sebentar. Berjongkok tak jauh dari majikannya, calon Nyonya Altezza.

"Maaf jika saya lancang. Tapi akhir-akhir ini, Tuan sudah tidak memperlakukan Nona dengan kasar lagi bukan? Tuan malah seakan memanjakan Nona di mension ini. Apa yang membuat ragu anda Nona? Bahkan kami, para pekerja begitu setuju memiliki Nona seperti Anda," jelas Vania dan tersenyum tipis, dengan tatapan menyakinkan untuk sang Nona Divanya yang sedang ragu dengan perasaannya.

Divanya tertegun dengan ucapan Vania. Apa yang diucapkan Vania, benar adanya. Lantas mengapa dirinya masih ragu? Seberapa banyak pun orang meyakinkan dirinya, rasanya dirinya belum puas dengan apa yang terjadi saat ini dengan Altezza.

"Baiklah, terimakasih Vania sudah mendengarkan keluh kesahku. Dan...meyakinkan ku, walau sepenuhnya aku belum bisa yakin dengan semuanya." Divanya tersenyum. 

Vania tersenyum dan mengangguk.

"Okedeh, ayo buang sampah ini." ucap Divanya dan beranjak dari duduknya tadi yang langsung menyambar salah satu kantong plastik didepannya.

"Eh! Ikut," teriak Vania ikut menyambar kantong sampah didekatnya dan menyusul Nona-nya.

Divanya membuang sampah lewat pintu yang dijaga oleh dua pria berbadan tagap. Mansion ini begitu ketat penjagaannya, Divanya akui itu. Ia jadi teringat hal dulu tentang dirinya hendak kabur. Rasanya dejavu melihat tembok pagar menjulang tinggi ini.

Salah satu laki-laki bertubuh tegap itu keluar membawa kedua kantong sampah yang dibawa Vania dan Divanya. Namun, langkah kedua wanita itu harus terhenti ketika ada yang memanggil salah satunya.

"DIVANYA!"

"SIAPA KALIAN?!"

Vania dan Divanya yang berbalik melihat kericuhan itu lantas membola. Vania yang sigap langsung menarik tangan Divanya untuk pergi dari sini.

"Nona! Ayo kita la--

Dor!

"AKHH!!" terdengar erangan kesakitan Vania yang bebarengan dengan suara tembakan.

Divanya panik. Melihat dua bodyguard tadi sudah bersimbah darah. Begitu juga dengan Vania, hanya saja perempuan itu masih sadar walau kakinya terkena peluru dan darah mengucur keluar.

"La-larii Nona!!" teriak Vania sebelum suara tembakan saling bersahut-sahutan. Kini banyak laki-laki berbaju hitam dari kubu Altezza melindunginya.

Dengan tubuh gemetar dan hati yang selalu merapalkan doa agar dirinya selamat. Divanya berusaha untuk menyeimbangkan tubuhnya yang bergetar itu untuk lari. Na'as, sepertinya Tuhan berkehendak lain.

Tangan Divanya sudah dicengkeram kuat oleh laki-laki berbaju hitam dan bertopeng itu, yakni lawan dari kubu Altezza. Mereka semua mengenakan topeng. Sekali sentak, laki-laki itu menarik pergelangan tangan Divanya untuk ikut dengan mereka. Semakin Divanya berusaha memberontak ditengah-tengah hujan peluru itu, maka semakin dipaksanya Divanya hingga merasakan tangannya yang seakan ingin putus.

ALTEZZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang