40

51 4 7
                                    

Jangan lupa putar musik di atas↑

^

"Ramai ...."

Atsa tertawa kecil mendengar perkataan Lakuna. "Kantin memang selalu ramai. Kalau nggak ramai, ya, kuburan."

Terdengar decakan dari perempuan yang sampai detik ini masih ia rangkul. Mereka berdua berdiri di tengah pintu sambil menatap kondisi kantin yang begitu ramai. Kaki kanan terangkat dan disusul kaki kiri, mereka melangkah memasuki kantin dengan pelan.

Tidak menjadi pusat perhatian, keduanya mendekati penjual makanan tanpa hambatan. Suara candaan dan tawa, teriakan akibat usilan satu sama lain, sorakan menggoda, dan nyanyian saling bersahutan di kantin tersebut. Sedikit pun tak terdengar hinaan dan makian atau perkelahian antara satu sama lain. Tak seperti kantin dari Gedung lain, yang saling adu siapa yang paling berada di atas langit, di kantin ini, mereka semua setara. Mereka ke kantin ini untuk makan dan menambah kawan, bukan saling baku hantam. Bahkan tak jarang, pelajar dari Gedung lain, memilih ke kantin ini daripada berada di kantin di Gedung mereka sendiri. Menurut mereka, di kantin ini sangat damai tak seperti kantin lain yang selalu panas. Ya, begitulah penjelasan kantin dari Gedung Kelas Bawah. Berharap saja tak ada drama menjengkelkan hari ini. Sama seperti sebelumnya.

"Mau makan apa?" Atsa bertanya.

Lakuna terdiam sambil menoleh kanan kiri. Ia bingung harus makan apa. Atsa yang melihat reaksi Lakuna, tersenyum.

"Atau mau makan semuanya?"

"Hm?" Lakuna bergumam penuh tanya.

Rangkulan Atsa lepas, berganti mengusap pelan pucuk kepala perempuan itu. "Biar kamu gak bingung mau makan apa," jawabnya.

Lakuna berdecak. "Serakah."

Laki - laki yang tangan kirinya masih setia bertengger di atas kepala Lakuna, terkikik geli. "Gak apa - apa. Saya kan punya banyak uang."

"Sombong!"

Atsa menyengir. "Bukan sombong tapi fakta."

Lakuna memutar matanya malas. Kebiasaan laki - laki di sampingnya ini tak pernah berubah sejak dulu.

"Jadi, mau makan apa? Pilih atau saya belikan semuanya terus saya suruh kamu habiskan sendirian. Nanti perut kamu sakit, abis itu muntah - muntah."

Syok, Lakuna tak tahu harus berkata apa lagi. Perempuan itu bahkan sekarang sudah berbalik dan menatap Atsa dengan mulut sedikit terbuka. Penjual makanan yang berada di depannya atau pelajar yang masih berdiri di dekat mereka, kompak menatap Atsa.

Atsa yang ditatap, bingung. "Kenapa?"

Kenapa? Kenapa kamu bilang?? Dengan santai dan tak berdosanya dirimu bertanya kenapa?? Gemas. Mereka gemas terhadap reaksi Atsa. Ingin sekali mereka memukul kepala Atsa. Kedua tangan Lakuna sudah gatal ingin menampar bibir laki - laki itu.

"Bro, lo nyumpahin anak orang?"

Atsa menoleh lalu cengengesan. "Cuma bercanda, bro!" katanya kemudian kembali berkata kepada laki - laki di dekatnya. "Ya kali nyumpahin dia. Cewek kesayangan, nih!" bisiknya yang hanya didengar oleh mereka berdua.

Laki - laki yang bertanya itu, ber-oh saja. Sebelum pergi, dia memberikan sebuah jempol untuk Atsa. "Semangat, bro!"

Atsa membalasnya dengan sebuah jempol juga. "Makasih, bro!"

Laki - laki itu kemudian menatap Lakuna yang masih setia menatapnya. Senyum lebar tercetak di bibir laki - laki itu.

"Hehehe, maaf, beb!"

Ruang Kosongजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें