19

58 11 1
                                    

Kerutan terlihat jelas di dahi Panacea setelah mendengar perkataan dari perempuan berisik yang berdiri di depannya. Siapa namanya? Panacea berusaha mengingat namun naasnya dia pelupa.

"Sama-sama gak ada yang nganter, dong."

"Emang!" balas Musfira cepat. "Gue gak sudi besti gue dianter sama lo!"

"Kenapa?"

Musfira terdiam. Kenapa, ya?

"Intinya lo gak boleh anter Lakuna! Jangan deket-deket juga!"

"Kenapa?" tanya Panacea heran.

Musfira berdecak. "Banyak tanya!" Dia bergerak mendorong Panacea. "Udah sono! Hus hus hus."

Walaupun terdorong beberapa langkah ke belakang, Panacea tetap memaksa mendekat membuat Musfira kewalahan karena perbandingan tenaga.

"Jaga jarak! Lagi pandemi!" Musfira menyerah mendorong laki-laki itu dan memilih memeluk erat Lakuna.

"Terus kamu peluk ...."

"Kami muhrim," balas Musfira melotot.

Lakuna yang menjadi korban dari mereka berdua hanya pasrah dengan mimik datar. Dia terdiam tak tahu harus bereaksi apa.

"Lepas! Saya mau pulang." Dengan sekali hentakan, Lakuna melepas pelukan Musfira kemudian berbalik dan pergi menyeberangi jalan.

Panacea yang melihat itu berlari kecil mengikuti Lakuna dari belakang menghiraukan Musfira yang sudah siap menerkam, mengigit, dan mencabiknya.

Aaaauuuuu!

Suara lolongan serigala keluar dari mulut Musfira. Dia menatap tajam Panacea dan berlari mengejar laki-laki itu. Saat sudah sampai, dengan kasar dia menarik rambut Panacea membuat sang pemilik meringis dan hampir terjungkal.

"Gue udah bilang jangan deket sama sahabat gue, monyet!!!" teriaknya.

Panacea yang merasa tak terima diperlakukan seperti itu, ikut menarik rambut Musfira dengan kuat. Jadilah mereka berdua saling jambak-jambakan.

"Cowok kok kasar banget!"

"Kesetaraan gender," balas Panacea sesekali menarik rambut Musfira dan meringis kesakitan.

"Bajingan!"

Sedangkan diseberang jalan, Lakuna menatap lurus ke depan berjalan pulang ke rumahnya. Saat melewati warung, sang pemilik warung itu tiba-tiba memanggil Lakuna.

"Neng," panggil pemilik warung.

Lakuna menoleh. "Iya, Pak?"

Pemilik warung menunjuk ke arah belakang Lakuna.
"Itu ... gak diberhentiin, Neng?"

Lakuna berbalik dan mengikuti arah tunjuk pemilik warung itu dan dia dengan cepat menggelengkan kepala melihat penampakan yang ada di depannya. Lebih tepatnya, di tengah jalan. Telapak tangan kanannya mengusap wajahnya kasar. Dia benar-benar lelah.

Lihatlah di sana. Dua orang gila beda kelamin sedang adu ke-letoy an.

Lakuna menatap pemilik warung. "Pasien dari Rumah Sakit Jiwa mana itu, Pak?" tanyanya.

"Saya tidak tahu, Neng. Bukanya itu teman Neng, ya?"

Lakuna sontak menggeleng. Dia mana mungkin punya teman seperti itu.

"Pak, saya boleh minta tolong?"

"Boleh. Mau minta tolong apa, Neng?"

Lakuna sedikit menyeringai.

"Tolong Bapak hubungi pihak RSJ terdekat, terus tanya mereka, apakah ada pasien milik mereka yang kabur?"

Pemilik warung terdiam sedikit lama sebelum kemudian tangannya merogoh ponsel di saku celananya.

Ruang KosongWhere stories live. Discover now