30

60 13 8
                                    

Hidup itu memang sebuah proses. Seseorang akan terus berlari tanpa berhenti. Orang-orang akan terus mencari dan saat sudah menemukan, ia tetap tak berhenti. Dia hanya sejenak menikmati kemudian beranjak mencari yang lainnya lagi. Pada kenyataannya, manusia tidak akan pernah puas atas apa yang dimiliki. Ketika mereka telah memiliki, bukanya bersyukur tapi malah mengeluh. Mengeluh karena merasa tak cukup.

Suasana sunyi menyertai setiap langkah Lakuna menuju kelasnya. Kedua matanya menoleh kanan kiri, mengamati setiap bangunan yang berdiri kokoh di sekolah SMA OKTAVIO.

Perempuan itu menghela napas. Untuk sesaat, Lakuna bersyukur jantungnya masih berdetak sampai detik ini. Bukan berarti sebelumnya dia tidak bersyukur, hanya saja kadang-kadang akan ada waktu dimana rasanya begitu berbeda. Keadaan seperti dimana kamu duduk di tengah padang rumput, sendirian, merenungkan bahwa tidak ada salahnya memilih untuk tetap bernafas. Memilih untuk tetap menjalani hidup. Berfikir bahwa cobaan yang terus memukul tubuh adalah sebuah konsekuensi ketika manusia memilih untuk bernafas.

"Yang memiliki hari yang buruk bukan hanya kamu, Lakuna," gumam perempuan itu pada dirinya sendiri. "Yang memiliki masalah bukan hanya kamu, Lakuna."

Angin tenang berembus pelan, menerbangkan helai rambut Lakuna. Lantas, perlahan dia menutup mata kemudian membukanya kembali setelah beberapa detik. Menghirup udara yang begitu sejuk pada hari ini. Tak lama, sebuah senyum tipis terbit di bibir Lakuna.

Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang menjengkelkan hari ini.

"Lo dari mana, rakyat jelata?"

Kenyataannya berbanding terbalik. Sekarang, Lakuna sudah dihadang oleh tiga orang. Dua laki-laki, satu perempuan. Langkah Lakuna berhenti tepat di depan mereka bertiga dengan jarak hanya beberapa senti.

"Bukan urusan kalian."

Jawaban datar dari Lakuna, mengundang suara kekehan dari orang di depannya. Lakuna memilih untuk tetap diam karena melawan akan memperpanjang masalah.

"Sombong banget, ya. Modalan nyali doang, udah se belagu ini?" Suara itu berasal dari laki-laki yang berdiri di depan dengan dua orang berdiri di sisi kanan-kiri.

"Jangan kayak gitu. Ntar nangis dia." Yang ini dari perempuan. Suaranya melengking mampu merusak indra pendengaran Lakuna.

Sedangkan laki-laki satunya, dia memilih diam. Tatapannya begitu tajam seperti laser yang akan menembus tubuh Lakuna. Mulutnya terkatup rapat menandakan tak ingin ikut campur. Yang membuat Lakuna merasa aneh, terkadang laki-laki itu melirik orang di depannya.

"Kok diam? Gak punya mulut? Dimana mulut lo yang sebelumnya nantangin kami?"

Ah, penghuni bangunan kelas atas. Bukanya menjawab, Lakuna melangkah melewati perempuan yang sejak tadi menatapnya penuh permusuhan.

Belum dua langkah, pergerakan Lakuna kembali terhenti oleh tangan yang kini menggenggam erat bahu kirinya.

"Jangan belagu, sialan! Lo cuma orang miskin. Sadari tempat lo!"

Dengan kasar, Lakuna menepis tangan itu. Dia ikut menatap tajam lawan bicaranya.

"Saya sudah sadar tempat. Itulah sebabnya, saya tidak mau cari masalah sama kalian."

Ucapan Lakuna memancing emosi dari dua orang. Tak cukup lima detik, suara tamparan cukup keras menggema di lorong tersebut. Lakuna terjatuh ke lantai. Perempuan itu terdiam merasakan rasa sakit dari pipinya.

"Gak tau diri, anjing! Padahal dari awal lo yang duluan nyari masalah. Kenapa sekarang lo bilang gak mau nyari masalah?!"

Suara bentakan menyadarkan Lakuna dari keterdiaman. Dia mendongak. Beberapa helai hitam kini menutupi wajah bulat lonjongnya.

Ruang KosongWhere stories live. Discover now