21

62 11 0
                                    

Es Krim yang sejak tadi mereka makan, sudah habis tidak tersisa. Sekarang, kedua perempuan itu duduk di bawah teduhnya pohon sembari menatap jalan. Terik matahari semakin panas. Keduanya berbincang-bincang sebelum saling berpisah pulang ke rumah masing-masing.

"Dia bilang 'uang bukan segalanya', mungkin bagi mereka 'orang kaya' itu tidak harganya. Tapi bagi orang miskin yang ekonominya sulit, diberi uang biru saja sudah membuat mereka sujud syukur."

Musfira mengangguk menyetujui ucapan Lakuna.

"Kenapa, ya, orang kaya kayak gitu?"

Lakuna mengangkat kedua bahunya acuh. "Saya gak tahu. Saya kan bukan orang kaya."

Musfira mengulun bibirnya ke dalam. Dia merasa gemas dengan sahabatnya itu. Suasana menjadi sunyi kembali. Karena bosan, Musfira merogoh sakunya mengambil ponsel lalu memainkan.

"Kayaknya lagi viral banget, orang kaya pamer harta kekayaan," cetus Musfira setelah memasuki salah satu aplikasi. Yang pertama kali dia lihat adalah sebuah video yang berisi seseorang sedang menggenggam begitu banyak uang merah.

Dia menatap Lakuna. "Kalau kita, pamer apa, Na?"

"Kemiskinan."

Pppfftt!

Musfira menghela napas berat. "Miris banget gue dengernya."

"Memang begitu kenyatannya."

Sabar! Musfira harus sabar dengan mulut Lakuna yang terlalu realistis ketika berbicara.

"Kita gak bersyukur banget, ya." Musfira tersenyum kecut kembali menatap layar ponselnya.

"Ekonomi sulit kok harus disyukuri."

Sudahlah!

"Lo masih ingat lagu yang pernah gue kirim? Gue gak paham maksudnya dibagian lirik 'Kau terlalu berharga untuk luka'," Musfira masih sibuk dengan kegiatannya. "Tapi kan selama ini gue sering terluka."

"Itu artinya ... kamu gak berharga."

Sontak, Musfira berdecih. Untung saja dia tidak baperan. Ucapan Lakuna itu ibaratkan air garam yang dituang di atas luka. Perih!

Musfira menyimpan ponselnya di atas rumput lalu berbalik menghadap sahabatnya dengan tatapan kesal yang dibalas kerutan dahi oleh Lakuna.

"Bentar lagi kita bakal lulus, tapi gue belum ngerasain apa itu pacaran. Kenapa, ya?"

"Saya jomblo," balas Lakuna jujur.

Musfira menggeleng. "Nggak! Bukan gitu maksud gue. Maksudnya tuh, gue kurang apa coba? Gue cantik. Tubuh gue seksi. Gue 5% pintar. Gue baik. Gue juga goodlooking. Gue kurang apa?!"

"Kurang waras, mungkin?"

Kurang ajar kau, Lakuna! Musfira tetap berbicara tanpa memperdulikan balasan Lakuna.

"Kek susah banget ketemu sama jodoh. Atau, jangan-jangan memang belum waktunya gue ketemu sama jodoh gue?" Musfira berseru.

"Bukan belum waktunya ketemu. Tapi, emang gak ada yang mau sama kamu."

Tangan kiri Musfira terangkat.

"Gue tabok lo!" katanya jengkel.

Lakuna terkekeh karena berhasil mengerjai sahabatnya. Sekali-kali mereka harus seperti ini, 'kan? Duduk berdua, menikmati suasana, bercerita sampai lupa waktu.

"Kalau gak ada yang mau sama gue, gue sama siapa, anjir?!" Musfira memikirkan perkataan Lakuna yang menurutnya ada benarnya juga.

"Sama cowok fiksi kamu, aja."

Ruang KosongWhere stories live. Discover now