37

49 7 3
                                    

Suara hujan masih terdengar dengan matahari yang perlahan tenggelam. Udara dingin semakin menusuk kulit membuat Lakuna yang terdiam di depan pintu rumahnya akhirnya berbalik kemudian berjalan memasuki rumah setelah menutup pintu.

Sepi. Satu kata untuk menyambut kedatangan Lakuna. Kening perempuan itu berkerut, merasa heran karena tak menemukan sosok orang tuanya. Wajahnya menoleh ke kanan lalu ke kiri tapi nihil, tak ia temukan siapapun.

"Bu? Pak?" Lakuna berteriak memanggil kedua orang tuanya.

Tak ada jawaban.

Di pikiran Lakuna timbul rentetan pertanyaan. Kemana orang tuanya? Pergi kemana mereka? Mengapa rumah sepi? Dan, kemana Riski?

Netra Lakuna berkeliaran, menatap setiap sudut ruangan rumahnya. Hatinya tiba - tiba merasa kosong. Sebuah kekosongan yang tak bisa dijelaskan dengan mudah melihat keadaan disekitarnya yang seolah tak memiliki kehidupan. Walau begitu banyak perabotan rumah, tapi di mata Lakuna hanya ada ruang kosong dengan suasana hampa yang menyesakkan. Seolah tak pernah disentuh kebahagiaan, seolah tak pernah tertoreh tinta - tinta berwarna, hanya dibiarkan begitu saja, menghilang bersamaan waktu.

Walau sering merasakan perasaan hampa, Lakuna sulit untuk terbiasa. Perasaan dimana kakinya seperti tak berpijak, dunianya hampa seperti kertas kosong, dan separuh jiwanya telah tiada.

Memikirkannya saja tanpa sadar membuat kedua telapak tangan Lakuna mengepal. Daripada dia semakin melamun apalagi perasaan yang sangat ia tidak sukai terlalu lama di hatinya, perempuan itu berjalan. Bukan ke kamarnya tapi ke kamar sang adik untuk menanyakan dimana keberadaan orang tuanya.

Saat sudah berdiri di depan pintu kamar sang adik, Lakuna mengetuk dengan pelan. Satu menit dua menit, pintu tak kunjung terbuka. Tentu saja Lakuna kesal lalu dengan keras memukul pintu. Tak lama kemudian, pintu terbuka menampilkan sosok Riski dengan mimik wajah emosi.

"Lo bisa nggak sih jangan ganggu gue!?" bentak Riski dengan rahang mengeras.

Lakuna tidak takut. Dia dengan tak peduli, bertanya, "Bapak Ibu, kemana?"

Kedua alis Riski tertarik ke bawah dan mendekat, matanya menatap tajam. "Lo mukul pintu kamar gue dengan keras cuma buat pertanyaan itu??"

"Lo lama bukanya, anjing! Mati lo di dalam?" balas Lakuna disertai tatapan menghunus darinya.

Mendengar balasan dari sang kakak, Riski langsung memukul pintunya sehingga menimbulkan suara yang begitu keras.

"Jaga ucapan lo, bangsat!" ujar Laki - laki itu geram, "Jangan sampai gue robek mulut lo!" sambungnya menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya

Sesaat, hati Lakuna bergetar ketakutan. Namun, dengan cepat ia tepis perasaan itu kemudian mendengus.

"Jawab pertanyaan gue! Lo kebanyakan basa - basi!" pekik Lakuna ingin segera pergi ke kamarnya.

Riski berdecak keras. "Bapak Ibu pergi ke rumah nenek. Bentar lagi mereka pulang. Udah 'kan?" jelas ia.

Kali ini, Lakuna mendengus. "Kenapa gak daritadi."

"Sekarang, lo pergi dari depan kamar gue. Lo ganggu tahu nggak," usir Riski.

Tanpa mengucapkan beberapa kata, Lakuna langsung pergi. Namun, baru satu langkah, dia berhenti ketika matanya menangkap sesuatu yang berserakan di lantai kamar adiknya. Perempuan itu kembali menatap Riski.

"Lo ngerokok??" tanya Lakuna tak percaya dengan apa yang ia lihat.

Seperkian detik, Riski tampak menampilkan ekspresi panik dan tak berlangsung lama, mimik laki - laki itu kembali ke semula. Dan, Lakuna menyadari itu.

Ruang KosongWhere stories live. Discover now